Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menduga-duga Vonis Majelis Hakim kepada Ferdy Sambo Cs dan Richard Eliezer

11 Februari 2023   20:46 Diperbarui: 12 Februari 2023   08:50 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (hukumonline)

"Kalau tidak ada keterangan Richard yang hari ini terdengar, maka, sidang yang saat ini kita saksikan adalah sidang dalam skenario FS (Ferdy Sambo)," kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi dalam acara Gaspo Kompas.com yang ditayangkan pada Rabu  malam, 8/2/2023.

Ya, seandainya Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) tidak berani dan tidak membongkar rekayasa skenario Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, maka sidang pengadilan yang kita saksikan sekarang adalah persidangan yang hanya mengadili satu terdakwa, yaitu Richard Eliezer sebagai penembak Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), dalam aksi tembak-menembak di antara keduanya. Sesuai dengan skenario palsu Ferdy Sambo. Bila terjadi, itu adalah peradilan tang teramat sangat ironis dan konyol karena menyidangkan kasus fiktif yang menyembunyikan kejahatan besar di baliknya.

Andai Richard tidak membongkar peristiwa yang sebenarnya itu. Bukan tidak mungkin bahkan tak ada sidang pengadilan. Mengikuti skenario Ferdy Sambo; yang terjadi adalah dari hasil penyelidikan polisi tidak ditemukan unsur pidana dalam peristiwa "tembak-menembak" itu. Karena pelakunya (Richard) hanya membela diri. Kasus ditutup (SP3). Selesai.  

Kalau tetap ada sidang pengadilan, maka yang terjadi adalah skenario plan B. Yang menjadi terdakwa hanya Richard. Yang lainya; Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'aruf hanya sebagai saksi. Saksi-saksi yang membenarkan telah terjadi tembak-menembak antara Richard dengan Yosua. Dalam pembelaan dirinya, Richard berhasil menembak mati Yosua. Maka vonis majelis hakim adalah membebaskan Richard. Kasus selesai. Kejahatan besar berhasil disembunyikan.

Tidak ada sidang obstruction of justtice. Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, dan lainnya tak tersentuh hukum. Ferdy Sambo akan meneruskan kariernya sampai ke puncak tertingginya, yang bukan tak mungkin menjadi Kapolri! Betapa mengerikan membayangkan seorang otak pembunuh berencana menjadi Kapolri!

Seperti diketahui atas perannya membongkar skenario jahat Ferdy Sambo, sejak sebelum persidangan kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua itu dimulai Richard sudah ditetapkan sebagai justice collaborator (pelaku yang bekerjasama membongkar suatu tindak pidana) oleh LPSK. Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan statusnya itu Richard seharusnya mendapat vonis yang lebih ringan daripada terdakwa lainnya. Dengan statusnya itu Richard Eliezer diadili di PN Jakarta Selatan sebagai pelaku pembunuhan Yosua Hutabarat.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada PN Jakarta Selatan dalam pembacaan tuntutannya  mengakui peran  Richard sebagai justice collaborator  (JC) tersebut. "Terdakwa merupakan saksi pelaku yang bekerja sama untuk membongkar kejahatan ini. ...". Demikian yang dibaca JPU dalam tuntutannya itu.

Tetapi JPU inkonsistensi dengan pengakuannya itu, sebab malah menuntut Richard dengan hukuman yang berat, yaitu 12 tahun penjara. Lebih berat daripada para terdakwa Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'aruf.

Bahkan jauh lebih berat daripada Putri Candrawathi yang di dalam tuntutan kepadanya JPU justru menyebut dia ikut berperan bersama suaminya, Ferdy Sambo, merancang pembunuhan tersebut, yang berarti juga bagian dari otak dari pembunuhan berencana tersebut. Tetapi hanya dituntut 8 tahun penjara. Tuntutan terhadap Richard hanya lebih ringan daripada tuntutan terhadap Ferdy Sambo, yang dituntut dengan hukuman penjara seumur hidup.

JPU berdalih tuntutan itu sudah mempertimbangkan peran Richard sebagai saksi pelaku yang membongkar kasus tersebut. Dengan pertimbangan itu, katanya, Richard dituntut lebih ringan daripada seharusnya.  Ancaman pembunuhan terhadap pembunuhan berencana adalah maksimal 20 tahun penjara, penjara seumur hidup, atau hukuman mati.

Dalih tersebut tetap tidak bisa diterima. Dengan tuntutan itu perannya sebagai JC menjadi tak berarti. Karena justru jauh lebih berat daripada pelaku lainnya. Terutama dibandingkan dengan Putri yang hanya dituntut 8 tahun penjara. Padahal jelas-jelas JPU sendiri menyatakan dalam tuntutannya kepada Putri bahwa hal-hal yang memberatkannya  karena Putri turut serta bersama Ferdy Sambo merancang pembunuhan tersebut.

Tuntutan JPU kepada Richard itu menimbulkan tanda tanya dan kebingungan bukan hanya bagi masyarakat tetapi bagi para pakar hukum. Mereka bingung dengan inkonsistensi JPU. Di satu sisi JPU mengakui Richard sebagai saksi pelaku yang berjasa membongkar kejahatan itu, tetapi di sisi lain mereka mengatakan Richard adalah eksekutor sehingga ia adalah pelaku utama dalam kejahatan tersebut oleh karena itu ia tak bisa menjadi saksi pelaku (JC) untuk dituntut lebih ringan daripada para pelaku lain selain Ferdy Sambo.

Menjawab keberatan masyarakat atas tuntutan terhadap Richard yang jauh lebih berat terhadap Putri Candrawathi, Ricky Rizal dan Kuat Ma'aruf, terutama sekali dibandingkan dengan Putri Candrawathi, Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum (Jampidum) pada Kejaksaan Agung Fadil Zumhana, yang adalah atasan dari JPU, bilang, dalam kasus pembunuhan berencana tidak dikenal saksi pelaku atau justice collaborator (JC). 

Apalagi, katanya,  Richard adalah dader, pelaku pembunuhan itu karena ia eksekutornya. Oleh karena itu, katanya,  Richard tidak dapat dituntut lebih ringan daripada para pelaku lainnya selain Ferdy Sambo. Richard tidak memenuhi syarat sebagai seorang JC.

Tapi, seperti yang sudah disebut di atas, dalam pembacaan tuntutannya itu, JPU sendiri mengakui Richard adalah saksi pelaku yang berjasa membongkar kejahatan tersebut. Itu adalah kata lain dari peran seorang JC. Jadi, di dalam pembacaan tuntutannya sendiri terjadi saling kontradiksi. Penjelasan Jaspidum Fadi Zumhana menambah lagi kontradiksi tersebut.

Lagipula bila memang menurut pihak Kejaksaan, Richard Eliezer tidak memenuhi syarat sebagai JC, kenapa hal itu tidak dikemukakan sejak semula? Tetapi baru diucapkan setelah tuntutan mereka kepada Richard muncul reaksi penolakan dari masyarat luas?

Ini, seperti yang dikatakan Rosi di Kompas TV, seolah-olah JPU sengaja membuat "prank" kepada Richard Eliezer dan keluarganya. Juga kepada kita semua. Setelah Ferdy Sambo membuat "prank" dengan skenario palsu tembak-menembak antara Richard vs Yosua. JPU tak mau kalah dengan membuat "prank justice collaborator"

Kepada media Jaspidum Fadil Zumhana juga membantah bahwa Richard Elizer-lah yang membongkar kejahatan kasus pembunuhan terhadap Yosua itu. Dia bilang, bukan Richard pengungkapnya, tetapi keluarga Yosua-lah yang mengungkapkan kejahatan Ferdy Sambo cs tersebut.

Pernyataan Fadil ini sama saja dengan membantah pernyataan JPU sendiri saat membaca hal-hal yang meringankan bagi Richard.  "Terdakwa merupakan saksi pelaku yang bekerja sama untuk membongkar kejahatan ini. ...", demikian yang dibacakan Paris Manalu, salah satu anggota JPU.

Memang benar keluarga Yosua yang diwakili oleh pengacara mereka, Kamaruddin Simanjuntak, yang tidak terima dengan skenario tembak-menembak sebagai penyebab kematian Yosua. Mereka yakin Yosua mati dibunuh. Mereka menuntut polisi untuk melakukan autopsi ulang teradap jenazah Yosua, dan melakukan penyelidikan ulang kasus tersebut.

Meskipun demikian karena saat itu polisi masih belum menemukan fakta dan bukti lain mereka masih tetap berpegang pada skenario tembak-menembak itu.

Saat itu semua orang yang berada di TKP di rumah Duren Tiga, yaitu Richard Eliezer, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal dan Kuat Ma'aruf masih bersiteguh bahwa Yosua memang mati tertembak saat terjadi tembak-menembak dengan Richard. Setelah sebelumnya diduga Yosua melakukan pelecehan seksual terhadap Putri di kamarnya. Richard yang bertanya kepada Yosua, ada apa, justru disambut dengan tembakan dari Yosua. Richard membela diri dengan balas menembak. Terjadilah tembak-menembak itu. Yosua tertembak dan meninggal dunia.

Andaikata Richard tetap berpegang teguh dengan skenario itu, kemungkinan besar polisi tidak akan melakukan penyelidikan ulang. Apalagi hasil autopsi ulang juga tidak menemukan keganjilan. Tuduhan Kamaruddin Simanjuntak bahwa sebelum mati Yosua disiksa juga tidak terbukti pada hasil autopsi ulang.

Andaikata Richard tidak mengakui perbuatannya yang sebenarnya. Polisi akan tetap berpegang pada skenario tembak-menembak itu. Kasus kejahatan pembunuhan berencana terhadap Yosua itu akan menjadi dark number yang tidak akan pernah terungkap. Para pelakunya dapat melanjutkan kehidupannya seperti biasa. Ferdy Sambo bisa melanjutkan kariernya di Polri sampai ke puncak tertinggi; bukan tak mungkin menjadi Kapolri!

Richard Eliezer yang sangat menyesali perbuatannya. Apalagi setelah bertemu kedua orangtuanya yang membujuknya agar berani mengakui kejadian yang sebenarnya, yang kemudian memberanikan diri melawan Ferdy Sambo dengan mengakui kepada penyidik bahwa skenario tembak-menembak itu tidak benar. Hanya rekayasa Ferdy Sambo. Yang benar adalah dia diperintahkan Ferdy Sambo menembak mati Yosua.

Dari pengakuan Richard itulah terbongkar kejahatan tersebut. Tim penyidik khusus kasus tersebut yang dibentuk oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun melakukan penyelidikan ulang secara lebih intensif. Terungkaplah kejahatan besar itu.  

Bukan hanya itu saja terungkap pula Ferdy Sambo juga sebagai otak dari tindak pidana obstructon of justice. Ia dengan menyalahgunakan wewenangnya sebagai Kadiv Propam Polri, melibatkan dan mengorbankan hampir 100 polisi anak buahnya, tepatnya 97 orang, demi menutupi kejahatannya yang sebenarnya itu.  Enam belas orang di antaranya ikut diadili sebagai terdakwa obstruction of justice. Masa depan mereka pun ikut hancur karena ulah Ferdy Sambo.

Dari fakta-fakta tersebut, tidak benar pernyataan  Jaspidum Fadil Zumhana yang mengatakan bahwa bukan Richard yang mengungkapkan kejahatan itu, tetapi keluarga Yosua.

***

Dalih JPU menuntut hukuman yang berat (12 tahun penjara) kepada Richard adalah bahwa karena Richard adalah pelaku penembakan terhadap Yosua. Ia adalah eksekutor yang menjalankan perintah terdakwa Ferdy Sambo. Padahal meskipun Ferdy Sambo adalah atasannya, seharusnya ia bisa menolak perintah tersebut. Seperti halnya yang dilakukan oleh Ricky Rizal yang menolak perintah Ferdy Sambo itu.

JPU lupa mempertimbangkan perbedaan senior - junior antara Ricky dengan Richard. Secara kepangkatan Ricky berada di dalam jajaran Bintara dengan pangkat Brigadir Kepala (Bripka) dengan tanda kepangkatan 4 balok panah warna perak. Sedangkan Richard masih Tamtama paling dasar, pangkat paling rendah, tak ada lagi yang lebih rendah, yaitu Bhayangkara Dua (Bharada), dengan tanda kepangkatan 1 balok miring warna merah. Pangkat Ricky lima tingkat di atas Richard.

Dengan perbedaan level itu Ricky lebih berpengalaman dan matang dalam cara berpikir sebagai polisi. Sehingga ia bisa berani secara halus menolak perintah atasannya yang dianggap tak sesuai dengan suara hatinya. Sedangkan Richard belum lama jadi polisi. Pengalamannya masih kurang mempengaruhi cara berpikirnya saat menerima perintah atasan. Ia baru memulai tugasnya sebagai seorang polisi pemula pada Maret 2020. Kasarnya polisi yang masih sangat hijau.

Mendapat perintah dari seorang Perwira Tinggi berpangkat Jenderal Bintang Dua, yang delapan belas tingkat di atasnya. Yang ada dalam pikirannya adalah apapun perintah atasan harus dipatuhi. Tanpa boleh bertanya, apalagi menolak. Apalagi perintah itu diberikan dalam keadaan sang atasan sedang marah besar.

Belakangan setelah itu barulah ia dapat berpikir lebih jernih. Barulah ia menyadari kesalahannya. Sadar bahwa ia hanya diperalat oleh atasannya untuk melakukan suatu kejahatan pembunuhan karena dendam pribadinya. Ia benar-benar sangat menyesal. Dengan alasan itu pula Richard akhirnya memberanikan diri melawan atasannya itu dengan mengungkapkan kejahatan tersebut.

Dalam pledoinya yang ditulis dengan tulisan tangannya yang diberi judul "Apakah Harga kejujuran Harus Dibayar 12 Tahun Penjara", yang dibacakan di persidangan pada 25 Januari 2023, Richard berkata:

"... Saya tidak pernah menduga apalagi mengharapkan atas peristiwa yang sekarang menimpa diri saya, dimasa awal -- awal pengabdian saya atas kecintaan saya terhadap Negara, dan kesetiaan kepada Polri khususnya Korps Brimob, saya di pilih menjadi ajudan yang dimana tugas saya menjaga dan mengawal atasan. 

Di usia saya ini, tidak pernah terpikirkan ternyata oleh atasan dimana saya bekerja memberikan pengabdian, kepada seorang Jenderal berpangkat bintang dua yang sangat saya percaya dan hormati, dimana saya yang hanya seorang prajurit rendah berpangkat Bharada yang harus mematuhi perkataan dan perintahnya, ternyata saya diperalat, dibohongi dan disia-siakan, bahkan kejujuran yang saya sampaikan tidak dihargai malahan saya dimusuhi. Begitu hancurnya perasaan saya dan goyahnya mental saya, sangat tidak menyangka akan mengalami peristiwa menyakitkan seperti ini dalam hidup saya namun saya berusaha tegar.

Saya di ajarkan dalam kesatuan saya untuk; Tak pernah berkhianat, korbankan jiwa raga untuk Negara, Hanya berserah pada kehendak Tuhan, "Nugraha Caknati Yana Utama, Setia pada Ibu Pertiwi.

Bahwa ikrar dan janji setia terhadap Negara dan pimpinan akan terus terpatri dalam hati saya, atas apa yang terjadi pada diri saya saat ini menjadi suatu pembelajaran penting dalam kehidupan saya, dalam pendewasaan diri. Kiranya Tuhan menolong saya. ..."

***

Sama-sama kontradikirif, tetapi tuntutan JPU kepada Putri Candrawathi berbanding terbalik dengan tuntutan terhadap Richard.

Terhadap Richard. JPU dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Richard jujur, tidak berbelit-belit, kooperatif, dan berjasa membongkar kejahatan tersebut, tetapi ujungnya  JPU malah menuntut Richard dengan hukuman berat,  12 tahun penjara. Sebaliknya, terhadap Putri. dalam pertimbangannya JPU menyebut Putri tidak jujur, berbelit-belit, tidak kooperatif, dan terbukti bersama dengan terdakwa Ferdy Sambo turut merancang pembunuhan terhadap Yosua. Bahkan sejak di Magelang. Tetapi di ujungnya malah menuntut Putri jauh lebih ringan daripada Richard, hanya 8 tahun penjara.

Jampidum Fadil Zumhana membela tuntutan JPU itu. Kepada media dia bilang, Putri tidak berperan dalam eksekusi Yosua, meski ia mengetahui rencana tersebut.

Kata dia, "Saya jelaskan dalam teori hukum pidana. Ada kesamaan kehendak dan niat antara para terdakwa ini, tapi perannya beda. Ibu Putri Candrawathi itu ada di dalam kamar, dia tidak ikut melakukan apa-apa, tapi mengetahui tentang cerita rencana pembunuhan itu."

Fadil menyebut jaksa meyakini Putri Candrawathi sama dengan Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal yang berada di lokasi penembakan tersebut tidak dapat berbuat apa-apa, tetapi mengetahui adanya rencana pembunuhan.

Padahal JPU dalam tuntutannya jelas menyatakan Putri turut serta ikut merancang pembunuhan bersama dengan Ferdy sambo. Yang berarti Putri juga merupakan bagian dari perancang atau otak pembunuhan terhadap Yosua.

"... Terdakwa Putri dengan sengaja memuluskan rencananya bersama Saudara Ferdy Sambo dengan cara mengajak Kuat Ma'aruf naik ke lantai 3 untuk menemui Ferdy Sambo. Dan hal tersebut menguatkan bahwa saksi Kuat Ma'aruf mengetahui kehendak dan rencana terdakwa Putri merampas nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat  ..." demikian antara lain yang dibacakan JPU.

Meskipun Putri Candrawathi tidak ikut aktif saat Yosua diekeskusi, tetapi bukankah sesuai dengan yang dinyatakan JPU bahwa ia juga merancang pembunuhan tersebut? Perancang pembunuhan adalah otak pembunuhan. Ia tidak perlu ikut turun tangan langsung untuk melakukan pembunuhan. Tidak ada otak pembunuhan, maka tidak akan ada pembunuhan itu.

Peran Putri tidak sama dengan Ricky Rizal dan Kuat Ma'aruf. Juga memang tak sama dengan Richard yang berperan sebagai eksekutor. Putri lebih jahat daripada Richard, karena ia bersama dengan suaminya ikut merancang pembunuhan tersebut.

Apalagi JPU juga menyatakan bahwa pengakuan Putri bahwa ia telah dilecehkan dan diperkosa Yosua hanya ilusi saja. Tidak ada pelecehan dan pemerkosaan itu, yang ada adalah perselingkuhan antara Putri dengan Yosua. Menurut JPU.

Karena Putri takut dan malu mengakui hal tersebut, maka ia membuat karangan cerita dengan menfitnah Yosua telah memerkosanya.

Itu artinya Putri-lah pemicu utama kasus pembunuhan tersebut. Ia telah menipu suaminya dengan pengaduan palsu, karangan ceritanya yang tidak pernah terjadi. Mendengar laporan  istrinya itu, Ferdy Sambo sangat marah. Ferdy Sambo termakan fitnah Putri terhadap Yosua. Ia tidak dapat mengendalikan emosinya hingga terjadilah pembunuhan berencana tersebut.

Maka dari itu seharusnya JPU jutru menuntut Putri jauh lebih berat daripada Richard Eliezer.  Bukan sebaliknya.

Lalu, kenapa terjadi kontradiktif-kontradiktif dalam tuntutan JPU tersebut? Juga pada penjelasan jaspidum pada Kejaksaan Agung tersebut di atas?

Jika kita cermati, saat menjelang pembacaan tuntutan hukuman kepada Richard Eliezer, Jaksa Paris Manalu yang membaca tuntutan tersebut seperti menahan tangis. Ia sempat terdiam, mengatur nafasnya sejenak sebelum melanjutkan. Jaksa Sugeng Hariadi yang duduk di sebelahnya duduk dengan gelisah. Ia juga sepertinya menahan tangisnya. Ia menepuk-nepuk bahu Paris manalu seolah-olah untuk memberi kekuatan kepada rekannya itu untuk membaca tuntutan 12 tahun penjara kepada Richard itu.

Apakah kejadian itu merupakan indikasi adanya kontradiski antara pertimbangan dengan tuntutan kepada Richard, demikian pula kepada Putri tersebut di atas itu karena ada intervensi kepada JPU?

Apakah kontradiksi itu terjadi karena di waktu-waktu terakhir (deadline) ada perintah dari atasan untuk mengganti angka jumlah tuntutan penjara itu? Yang mengakibatkan terjadinya kontradiksi tersebut?

Masa depan JC pun berpotensi suram. Karena ke depan bila ada pelaku tindak pidana yang berpotensi menjadi JC akan merasa percuma ia menjadi JC. Sebab toh seperti hanya masuk jebakan saja. Diiming-imingi dengan hukuman yang ringan atau bahkan bebas jika mau membongkar kasus

***

Minggu depan persidangan pembunuhan berencana terhadap Yosua Hutabarat itu memasuki babak final, yaitu pembacaan vonis kelima terdakwa oleh majelis hakim yang diketuai oleh Wakil Ketua PN Jakarta Selatan Wahyu Imam Santoso.

Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi akan divonis pada Senin, 13 Februari 2023. Menyusul keesokan harinya pembacaan vonis untuk Ricky Rizal dan Kuat Ma'aruf. Terakhir, pada 15 Februari, pembacaan vonis kepada Richard Eliezer.

Kita menunggu dengan berdebar seberapa berat vonis yang akan dijatuhkan majelis hakim kepada kelima terdakwa itu? Apakah sesuai dengan tuntutan JPU, lebih ringan, atau lebih berat?

Melihat gelagat dari majelis hakim yang sepertinya kurang atau tidak bersimpatik kepada Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'aruf, terutama kepada Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, karena selama persidangan ditenggarai keduanya terus berbohong. Tidak tulus menyesali perbuatannya, bahkan memposisikan diri mereka seolah-olah sama sekali tidak bersalah.  Terus menumpahkan kesalahan kepada Richard dan almarhum Yosua, maka prediksi saya vonis kepada mereka akan lebih berat daripada tuntutan JPU. Kecuali mungkin kepada Ferdy Sambo vonisnya akan sesuai dengan tuntutan JPU, yaitu penjara seumur hidup. Meskipun vonis mati pun pantas diterimanya.

Sedangkan kepada Putri Candrawathi kemungkinan vonisnya 20 tahun penjara. Ricky dan Kuat bisa saja tetap masing-masing 8 tahun penjara, atau lebih berat menjadi 10 tahun penjara. Vonis lebih ringan kecil kemungkinannya.

Salah satu hal yang diduga membuat majelis hakim yakin bahwa Ferdy Sambo memang sejak semula sudah berencana membunuh Yosua dengan meminjam tangan semula Ricky yang menolak, dan kemudian Richard yang bersedia, adalah keterangan Ferdy Sambo sendiri.

Ia mengaku meminta Richard untuk meng-back-up-nya jika Yosua melawan saat diminta klarifikasi telah melakukan pelecehan seksual kepada istrinya. Tetapi untuk meng-back-up itu kenapa sampai harus mempersenjatai Richard dengan pistol yang berpeluru penuh? Padahal saat itu semua senjata Yosua sudah dilucuti. Saat itu Yosua juga tidak bersenjata.

Masa iya, jika Yosua melawan secara fisik, Ferdy Sambol sendiri, Ricky Rizal, Richard Eliezer dan Kuat Ma'aruf tak cukup kuat melawan dengan tangan kosong? 

Ia mengaku ia tidak memerintahkan Richard menembak Yosua, tetapi hanya berteriak kepada Richard untuk menghajar Yosua, "Hajar, Chard!". Bukan seperti versi Richard: "Woi, kau tembak, cepat kau tembak!"

Tetapi dengan ia memberi pistol kepada Richard. Seandainya pun yang benar yang ia perintahkan kepada Richard dengan teriakan "Hajar, Chard!" Dengan pistol siap tembak di tangannya, mendengar perintah "Hajar, Chard!" itu, spontan Richard pasti akan langsung mengartikannya dengan menembak.

Setelah penembakan itu juga, kenapa Ferdy Sambo justru menjanjikan hadiah uang Rp 1 miliar kepada Richard, dan masing-masing Rp. 500 juta kepada Ricky dan Kuat. Pemberian itu meski masih sebatas janji akan diberi jika kasus tersebut sudah ditutup, membuktikan Ferdy Sambo memang semula berniat membunuh Yosua.

Saya menduga, salah satu pengakuan Putri yang membuat majelis hakim yakin dia pembohong adalah pengakuannya bahwa saat Yosua dieksekusi ia sama sekali tidak tahu. Padahal saat itu ia berada di dalam kamar yang sangat dekat dengan tempat kejadian. Ia mengaku mendengar ribut-ribut di luar kamar. Ia mengaku mendengar beberapa kali suara letusan. Tetapi ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Padahal sebelumnya ia baru saja melaporkan perbuatan Yosua yang memerkosanya kepada suaminya. Dan ia tahu Ricky dan Rizal dipanggil suaminya yang meminta di-back-up jika Yosua melawan. Ia tahu Kuat diperintahkan suaminya untuk memanggil Yosua untuk diminta klarifikasi. Sesaat sebelum Yosua dipanggil, Ferdy Sambo memintanya masuk kamar.

Tak lama kemudian terdengar keributan dan beberapakali suara letusan. Sangat tidak logis jika Putri tidak langsung berpikir keributan dan suara letusan-letusan itu pasti berhubungan dengan Yosua. Saat itu ia pasti menduga Yosua sudah ditembak.  

Juga setelah itu, saat ia dijemput Ferdy Sambo, ia mengaku suaminya itu tidak memberitahu kepadanya. Ia juga sama sekali tidak bertanya kepada suaminya itu, ada kejadian apa. Ia mengaku sama sekali tidak menduga baru saja Yosua ditembak. Baru keesokan harinya ia tahu, ketika Ferdy Sambo memberitahukannya.  

Sambo dan Putri mengaku saat Sambo membawa Putri keluar dari kamarnya, Putri dipeluk, wajahnya ditutup dengan cara didekap ke dada Sambo (supaya tidak melihat sesuatu). Tidak masuk akal dengan cara suaminya membawanya keluar seperti itu sedikitpun ia tidak menduga Yosua sudah ditembak, minimal membuatnya penasaran kenapa seperti itu. Orang normal pasti akan bertanya, ada apa? 

Ketika itu majelis hakim terheran-heran tidak percaya dengan pengakuan janggalnya itu. Bagaimana bisa ada orang minimal tidak penasaran dan bertanya ketika mendengar suara ribut-ribut. Salah satu hakim sampai mengatakan, kalau pak hakim mendengar suara seperti itu, Pak hakim pasti cepat-cepat keluar dan bertanya kepada orang-orang, 'Ada apa itu? Ada apa itu?'

Pembohongan Putri yang didukung dengan kesaksian suaminya itu tentu dimaksud untuk meyakinkan majelis hakim bahwa ia sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan Yosua itu. Tetapi karena tidak logis, yang terjadi sebaliknya; majelis hakim pasti yakin Putri berbohong untuk menutupi perannya.

Putri yang terus-menerus menangis saat membaca pledoinya, dan terus-menerus menyebutkan dirinya sendiri sebagai korban kekerasan seksual secara begitu lancar, bisa jadi oleh majelis hakim dianggap hanya sandiwara saja sebagai upaya untuk menarik simpatik mereka. Maka bukan simpatik yang diperoleh Putri, melainkan antipati yang justru semakin meyakinkan majelis hakim untuk memvonisnya dengan hukuman yang berat.

Sedangkan kepada Richard Eliezer, saya melihat majelis hakim percaya terhadap kesaksian-kesaksiannya, ia dianggap jujur, diakui sebagai JC. Ia dilihat sebagai seorang polisi berpangkat terendah yang diperalat untuk melakukan suatu pembunuhan yang diinginkan atasannya.

Apakah dengan demikian majelis hakim akan memvonis Richard dengan vonis bebas? Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tetapi rasanya jika Richard divonis bebas itu terlalu ektrem. Bagaimana pun ia tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.

Dengan mempertimbangkan statusnya sebagai JC dan hal-hal meringankan lainnya, selaku eksekutor pembunuhan, meskipun itu karena diperintah atasannya, vonis terhadap Richard yang layak adalah antara 2- 5 tahun penjara.(dht).


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun