"Mafia minyak goreng tidak ada, yang ada itu kesalahan membuat kebijakan. Namanya pengusaha, ingin cari untung. Melihat ada celah peraturan yang salah, lengah, dia masuk," kata Gobel. Karena itu, dia meminta Kementerian Perdagangan tidak mudah mengecap pihak lain sebagai mafia, dan sebaliknya mengevaluasi peraturan-peraturan yang diterbitkan.Â
Rachmat Gobel benar. Siapapun kalau berdagang pasti tidak mau rugi, apalagi rugi dalam jumlah yang besar. Dalam tempo entah sampai kapan. Â Kebijakan Menteri Perdagangan yang salah secara berulang-ulang sebagaimana disebut di atas itu sangat berpotensi membuat produsen dan pengusaha minyak goreng mengalami kerugian dalam jumlah yang sangat besar.
Lagipula apakah yang dimaksud dengan "mafia minyak goreng"?
Kalau mafia itu artinya kejahatan tersebut bukan hanya dilakukan oleh satu pihak saja, tetapi melibatkan beberapa pihak secara terorganisir. Dalam hal jika benar ada "mafia minyak goreng", maka itu  melibatkan secara bersama dan terintegrasi, bisa saja dari pihak produsen CPO, produsen minyak goreng sampai dengan pihak distributor. Apakah indikasi seperti itu? Â
Kalau polisi menemukan ada orang yang melakukan penimbunan minyak goreng beberapa ratus karton, atau bahkan ribuan karton, itu bukan ulah mafia, tetapi lebih tepat ulah spekulan yang hanya aji mumpung mau mencari keuntungan di dalam kesempitan.
Saat harga minyak goreng terus mengalami kenaikan di November 2021, sebetulnya Kementerian Perdagangan, dalam hal ini Direktur Jenderal Perdagangan Oke Nirwan sendiri pernah menyebutkan beberapa penyebab kenaikan harga minyak goreng, yaitu:
- Kenaikan harga minyak goreng lebih dikarenakan harga CPO internasional yang naik tajam.
- Turunnya panen sawit pada semester kedua. Sehingga, suplai CPO menjadi terbatas dan menyebabkan gangguan pada rantai distribusi (supply chain) industri minyak goreng.
- Terjadi kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30.
- Gangguan logistik selama pandemi Covid-19, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal.
Program B30 yang disebut di atas adalah program pemerintah untuk mewajibkan pencampuran 30 persen diesel dengan 70 persen bahan bakar minyak jenis solar. Pengusaha CPO diwajibkan untuk memenuhi market produksi biodiesel sebesar 30 persen itu. CPO yang seharusnya untuk memproduksi minyak goreng konsumsi sebagian dialihkan untuk pemenuhan program B30 tersebut.
CPO untuk dalam negeri semakin berkurang ketika harga CPO di pasaran internasional semakin lama semakin tinggi. Memicu para produsen CPO lebih banyak ekspor daripada menjualnya di dalam negeri. Mengakibatkan pabrik minyak goreng kekurangan bahan baku. Produksi berkurang. Berlakulah hukum ekonomi. Saat permintaan lebih besar daripada persediaan, maka harga produk pasti naik.
Sayangnya hal itu disikapi oleh menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dengan cara yang salah. Salahnya sampai enam kali berturut-turut dalam tempo hanya dua bulan. (dht).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H