Pemilihan Umum dimaksud tidak pernah dilaksanakan. Sebaliknya, pada 27 Maret 1968, dalam Sidang MPRS, Soeharto dilantik oleh Ketua MPRS Abdul Haris Nasution sebagai Presiden ke-2 Republik Indonesia. Dimulailah era pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto selama 32 tahun, yang secara perlahan namun pasti berubah menjadi pimpinan tirani, otoriter, dan diktator. Sekaligus rezim yang korup dari anak-anak sampai ke cucu-cucunya.
UUD 1945 asli menetapkan masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah lima tahun, setelah itu dapat dipilih kembali. Tanpa batasan.
Dengan dasar itu Soeharto dengan segala kharisma dan kekuatan politiknya, bersama Golkar yang menguasai DPR dan MPR, dan dengan dukungan penuh ABRI (sekarang TNI), dipilih oleh MPR sebagai Presiden sampai tujuh periode.
Para Penjilat Pencari Muka
Sampai tahun 1997, saat krisis ekonomi dan moneter mulai menghantam Indonesia, sebenarnya Soeharto sudah menyatakan niatnya untuk tidak mau lagi dipilih sebagai presiden. Tetapi beberapa orang dekatnya yang dia percaya selama bertahun-tahun, terutama sekali Menteri Penerangan Harmoko terus membujuknya agar bersedia lagi dipilih sebagai presiden.
Harmoko kepada Soeharto mengatakan bahwa berdasarkan hasil safari Golkar keliling Indonesia, rakyat masih menghendaki dia menjadi presiden lagi. Maka pada 11 Maret 1998 MPR memilih dan melantik Soeharto sebagai presiden untuk periode ketujuh, dengan BJ Habibie sebagai Wakil Presiden. Sedangkan Harmoko dipercaya Soeharto sebagai Ketua MPR.
Ketika itu Harmoko paling dikenal sebagai tukang cari muka dan penjilat utama Presiden Soeharto. Setiap keterangan pers yang ia berikan, selalu diawali dengan kalimat: "Menurut petunjuk Bapak Presiden ..."
Hanya dua bulan kemudian, bersamaan dengan perekonomian Indonesia semakin hancur akibat krisis ekonomi dan moneter, mengakibatnya terjadinya krisis sosial dan politik, ribuan mahasiswa melakukan unjuk rasa di hampir seluruh Indonesia dengan tuntutan Soeharto harus mengundurkan diri atau diturunkan secara paksa. Orang-orang kepercayaan Soeharto, yang selama ini menjilatnya, pun mulai menjauh darinya. Termasuk Harmoko, bahkan yang pertama kali mengkhianatinya.
Pada 18 Mei 1998, Gedung MPR-DPR diduduki massa mahasiswa. Harmoko yang sebelumnya mendorong Soeharto agar bersedia dipilih lagi sebagai Presiden, dalam kedudukannya sebagai Ketua MPR berseru kepada Soeharto, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar segera mengundurkan diri. Rakyat tidak lagi menghendaki dia sebagai Presiden!
Harmoko pun mengancam, jika Soeharto tidak mau mundur secara sukarela, maka ia akan memimpin Sidang Istimewa untuk mencabut mandat MPR darinya sebagai Presiden.
Posisi Soeharto semakin lemah ketika 14 Menterinya dipelopori oleh Ginandjar Kartasasmita yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri dan juga Kepala Bappenas, menyatakan mundur.