Apalagi jika amendemen itu juga meliputi dikembalikannya kewenangan MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden. Maka, dengan kekuatan yang sedemikian kuat itu koalisi partai yang menguasai MPR akan leluasa untuk menentukan siapa calon presiden mereka, dan bila perlu memilihnya terus sampai tiga periode.
Kekuasaan itu seperti air laut. Semakin diminum, semakin haus. Diminum terus, bisa mati.
Berkat kekuatan kharisma dan politiknya, Presiden Soekarno, Â pada 18 Mei 1963 ditetapkan sebagai Presiden Seumur Hidup dengan Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 Tahun 1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.
Pasca peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh Jenderal oleh PKI, terjadi gejolak dan kekacauan politik yang luar biasa. Pada 11 Maret 1966, Presiden Soekarno terpaksa menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar), yang berisi perintah kepada Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Kekuatan politik bergeser ke Soeharto, yang memanfaatkan Super Semar itu untuk bukan hanya memulihkan kemanan dan politik nasional, tetapi secara perlahan mengambilalih kepimpinan nasional. Didukung MPRS, yang baru tiga tahun sebelumnya mengangkat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.
Pidato pertanggungjawaban Soekarno ditolak MPRS. MPRS menyatakan Supersemar mengikat semua orang, dan dengan TAP MPRS Nomor IX Tahun 1966, 21 Juni 1966, MPRS memberhentikan Soekarno sebagai Presiden. Soeharto ditetapkan sebagai pengemban tugas Supersemar.
Pada 7 -- 12 Maret 1967 diadakan Sidang Istimewa MPRS. Menghasilkan empat Ketetapan, salah satunya Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno. MPRS berpendapat Soekarno ikut bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Tuduhan kepada Soekarno itu tidak pernah terbukti. Itu hanya intrik politik Soeharto dan MPRS memanfaatkan gejolak politik yang sangat panas ketika itu untuk menyingkirkan Soekarno, diganti Soeharto (kudeta terselubung).
Pada 2 November 2012, Presiden SBY menetapkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno-Hatta. Hal tersebut dinilai hanya sebuah penegasan saja, karena Soekarno-Hatta sudah sejak awal merupakan dua Pahlawan Proklamator yang berarti juga pahlawan nasional.
Isi TAP MPRS Nomor XXXII/1967 tersebut antara lain: 1. Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno; 2. Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD 1945; 3. Mengangkat pengemban TAP Nomor IX/MPRS/1966 tentang Supersemar itu sebagai pejabat Presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum.