Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Antara Rekonstruksi Polisi dan Rekomendasi Komnas HAM

12 Maret 2021   23:33 Diperbarui: 12 Maret 2021   23:41 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesimpulan, dan rekomendasi Komnas HAM dari hasil penyelidikan terhadap kasus tewasnya enam laskar FPI pada 6-7 Desember 2020 lalu diumumkan pada 8 Januari 2021 di Gedung Komnas HAM, Jakarta.

Ketua Tim Investigasi Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menjelaskan ada dua konteks yang berbeda dalam kasus tersebut.  

Konteks yang pertama, tewasnya dua anggota laskar FPI pengawal Rizieq Shihab.

Dua orang ini tewas karena melawan mobil polisi yang sedang melakukan pengintaian. Mereka menghalang-halangi laju mobil polisi yang sedang mengintai konvoi mobil Rizieq Shihab dalam perjalanan dari Bogor menuju ke Karawang, Jawa Barat.

Aksi mereka itu mencapai eskalasinya ketika berlanjut pada aksi saling kejar-mengejar, saling serempet mobil, dan baku tembak dengan tiga unit mobil sipil anggota kepolisian, di Jalan Internasional Karawang, sampai di Km-49 Tol Cikampek.  Akibatnya dua orang laskar FPI itu tertembak dan tewas di dalam mobil.

Konteks yang kedua, tewasnya empat orang laskar FPI lainnya. Kejadiannya di rest area Km50.

Setelah polisi berhasil mengatasi perlawanan para laskar FPI tersebut.  Mobil mereka ditembak bannya hingga gembos dan berhenti. Lalu empat orang yang berada di dalamnya dipaksa keluar di bawa todongan pistol para polisi.

Menurut Komnas HAM, berdasarkan kesaksian saksi, polisi melakukan kekerasan terhadap empat orang itu, diperintah jongkok dan tiarap.

"Terlihat petugas melakukan kekerasan terhadap empat orang masih hidup, memerintahkan jongkok dan tiarap."

Dalam keadaan masih hidup dan tidak diborgol mereka dimasukkan ke dalam mobil polisi. Dikawal tiga orang polisi untuk dibawa ke Polda Metro Jaya. Di perjalanan empat orang itu ditembak sampai mati oleh dua dari tiga polisi tersebut.

Kondisi inilah yang membuat Komnas HAM berkesimpulan telah terjadi unlawfull killing, pembunuhan di luar hukum. Karena keempat orang itu sedang dalam penguasaan aparat negara, lalu ditembak mati dalam waktu hampir bersamaan. Tanpa ada upaya lain untuk menghindari jatuhnya korban jiwa lagi.  Dengan demikian perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana pembunuhan yang merupakan pelanggaran HAM.

"Penembakan sekaligus terhadap empat orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain yang dilakukan untuk menghindari semakin banyaknya jatuh korban jiwa, mengindikasikan adanya unlawfull killing terhadap empat orang laskar FPI."

Atas berbagai temuan itu, Komnas HAM memberi sejumlah rekomendasi kepada Polri. Komnas HAM merekomendasikan peristiwa pelanggaran HAM ini diselesaikan melalui mekanisme pengadilan pidana.

"Komnas HAM merekomendasikan kasus ini harus dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan keadilan."

Komnas HAM merekomendasi tiga orang polisi itu diadili di pengadilan pidana biasa, karena dugaan tindak pidana yang mereka lakukan itu tergolong tindak pidana pembunuhan biasa, atau pelanggaran HAM biasa, bukan pelanggaran HAM berat.

Kalau pelanggaran HAM berat, maka itu harus diadili di pengadilan HAM, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Pelanggaran HAM berat yang tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan harus memenuhi tiga unsur, yaitu harus dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif (lihat Pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26 Tahun 2000).

Ketiga polisi itu mengaku mereka menembak empat laskar FPI itu karena di dalam perjalanan melakukan perlawanan hendak merampas senjata petugas. Tetapi menurut Komnas HAM pengakuan tersebut sepihak. Tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Tidak ada saksi-saksi pembanding atau bukti lain yang bisa memperkuat pengakuan tersebut.

Jika kita merekonstruksi  kejadian polisi vs laskar FPI pada peristiwa tersebut, kita dapat membayangkan begitu tingginya tensi bentrokan di antara kedua belah pihak ketika itu.  

Polisi-polisi yang sedang mengintai itu tidak menyangka akan mendapat perlawanan yang sedemikian berani. Mereka tidak menyangka akan ditembak dengan niatan dibunuh. Ketika terjadi tembak-menembak risiko yang ada adalah membunuh atau terbunuh.

Dengan pengalaman dan kemahiran menembaknya sebagai polisi wajar jika mereka unggul. Mereka berhasil menembak mati dua orang. Ini yang disebut Komnas HAM dengan konteks pertama.

Pada konteks kedua, sebagaimana terlihat pada saat rekonstruksi.

Tentu dalam kondisi yang masih sangat panas, tegang dan waspada tinggi, polisi berhasil menghentikan mobil lawannya. Memaksa empat orang yang ada di dalamnya keluar. Begitu keluar, mereka diperintahkan jongkok dan tiarap di jalan dengan kedua tangan di belakang kepala, di bawah todongan pistol polisi. Setelah polisi yakin mereka tidak membawa senjata. Mereka ditangkap dan dimasukkan ke dalam mobil polisi.

Komnas HAM mengatakan, empat orang itu sempat mendapat tindakan kekerasan dari aparat saat ditangkap. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "tindakan kekerasan" itu? Apakah tindak kekerasan itu termasuk tindakan melanggar HAM yang tidak diperbolehkan?

Bukankah wajar demikianlah cara polisi menangkap para pelaku kejahatan yang berbahaya?

Baru saja terjadi tembak-menembak dengan kawan-kawannya. Polisi tidak tahu apakah empat orang itu juga membawa senjata. Wajar jika saat keluar polisi melakukan kekerasan tertentu, seperti menendang, memukul, atau mendorong untuk meminimalkan kemungkinan terjadi perlawanan.

Kenapa mereka tidak diborgol?

Polisi menerangkan empat orang itu tidak diborgol saat ditangkap dan dibawa dengan mobil karena saat itu mereka tidak membawa borgol. Sebab mereka bukan tim penangkapan, tetapi hanya tim surveilans (pengintai) sehingga tidak dilengkapi dengan borgol saat bertugas.  

Sementara itu diperlukan tindakan tegas dan segera untuk membawa mereka ke Polda Metro Jaya. Kalau berlama-lama ada risiko teman-teman mereka akan menyusul untuk melakukan membebaskan mereka, dengan risiko yang mengancam jiwa para polisi itu.

"Memang dia tidak diborgol karena memang tim yang mengikuti (menguntit) ini bukan tim untuk menangkap, tim surveilans untuk mengamati. Mereka tidak dipersiapkan untuk menangkap, tetapi apabila menerima serangan, mereka siap," jelas  Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Andi Rian S Djajadi (14/12/2020).

Hal tersebut membuat anggota laskar FPI mampu berupaya merebut senjata milik polisi saat berada di mobil untuk dibawa ke Mapolda Metro Jaya.

Posisi duduk mereka sebagai berikut; tiga laskar FPI duduk di jok belakang, satu di jok tengah didampingi satu polisi di sampingnya. Satu polisi sebagai pengemudi, satu lagi duduk di sampingnya.

Di dalam perjalanan ke Polda Metro Jaya, dua pelaku, dibantu dua temannya, mencoba melawan dan merampas senjata polisi.  Yang satu mencekik polisi yang duduk di tengah dari belakang, yang di sampingnya berusaha merebut senjata.

Dalam kondisi begitu genting, dengan risiko senjata berhasil direbut sehingga membahaya jiwa ketiga polisi,  dua polisi lainnya segera bertindak tegas dengan menembak empat orang laskar FPI itu.

Demikian gambaran dari rekonstruksi peristiwa bentrokan polisi melawan laskar FPI yang berujung tewasnya enam laskar FPI itu. Rekonstruksi dilakukan pada 14 Desember 2020 dini hari, berdasarkan pengakuan polisi yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Rekonstruksi tentang tewasnya empat laskar FPI itu yang berbeda dengan temuan Komnas HAM.

Komnas HAM beranggapan bahwa pengakuan tiga polisi itu hanya sepihak. Tidak bisa dikonfirmasikan. Tidak ada bukti dan indikasi yang mendukung.

Komnas HAM berkesimpulan bahwa dengan kondisi empat orang laskar FPI itu sudah berada di bawah pengawasan aparat kepolisian itu, maka seharusnya mereka bisa dikendalikan. Sehingga demikian tidak terjadi jatuh korban jiwa lagi.  Tetapi, mengapa justru dalam keadaan demikian mereka berempat ditembak mati polisi?

Penembakan keempatnya di dalam waktu yang hampir bersamaan menimbulkan dugaan Komnas HAM bahwa mereka ditembak tanpa alasan yang kuat yang diizinkan hukum, atau disebut juga unlawfull killing.

Komnas HAM tidak melihat ada indikasi yang bisa memperkuat kebenaran pengakuan polisi bahwa penembakan itu dilakukan karena keadaan memaksa yang membahayakan jiwa mereka. Dengan kata lain, Komnas HAM meragukan kebenaran pengakuan tiga polisi tersebut.

Padahal, seandainya benar peristiwa di dalam mobil itu seperti pengakuan polisi, maka seharusnya Komnas HAM tidak mempersalahkan mereka dengan dugaan telah melakukan pembunuhan di luar hukum.

Karena jika terjadi upaya perlawanan dan perampasan senjata di dalam ruang sesempit mobil yang sedang berjalan itu, polisi hanya mempunyai waktu mengambil keputusan dalam hitungan sepersekian detik. Pikiran yang ada adalah lumpuhkan segera mereka. Tak ada lagi waktu untuk berpikir, harus dilumpuhkan tanpa menembak, atau menembak yang tidak mematikan, atau cara lainnya.

Kondisi panas, tegang, dan waspada penuh pasti masih ada pada para polisi itu. Jika dalam kondisi sedemikian tiba-tiba jiwa mereka terancam karena senjata mereka mau dirampas tawanananya, tentu tidak ada pilihan lain selain menembak. Menembak sampai beberapakali karena kepanikan bisa saja terjadi.

Masalahnya, seperti yang dikatakan Komnas HAM tidak ada bukti, saksi, atau indikasi yang bisa memperkuat pengakuan ketiga polisi itu.

Sangat disayangkan bahwa polisi tidak mempunyai rekaman kejadian-kejadian tersebut. Ke depan seharusnya polisi mempunyai CCTV mobil yang bisa merekam kejadian-kejadian di sekitar mobil, maupun di dalam mobil. Seandainya saja ada rekaman seperti itu, dan pengakuan polisi itu benar, tentu rekaman itu akan menjadi bukti tak terbantahkan.

Berdasarkan keterangan para polisi yang terlibat, bukti, indikasi, kesaksian orang yang melihat kejadian itu, dan kesaksian dokter forensik,  Komnas HAM mengambil keputusan bahwa terhadap penembakan empat laskar FPI itu telah terjadi pembunuhan di luar hukum (unlawfull killing). Telah terjadi pelanggaran HAM.

Apakah memang benar kesimpulan Komnas Ham tersebut? Atau pengakuan polisi itu yang benar?

Untuk memperoleh kebenaran materiilnya, memang cara terbaik adalah sebagaimana rekomendasi Komnas HAM. Yaitu, harus dibawa sampai ke pengadilan. Di pengadilan lah akan ditemukan kebenaran dan kosekuensi hukumnya. (dht).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun