Di dalam perjalanan ke Polda Metro Jaya, dua pelaku, dibantu dua temannya, mencoba melawan dan merampas senjata polisi. Â Yang satu mencekik polisi yang duduk di tengah dari belakang, yang di sampingnya berusaha merebut senjata.
Dalam kondisi begitu genting, dengan risiko senjata berhasil direbut sehingga membahaya jiwa ketiga polisi, Â dua polisi lainnya segera bertindak tegas dengan menembak empat orang laskar FPI itu.
Demikian gambaran dari rekonstruksi peristiwa bentrokan polisi melawan laskar FPI yang berujung tewasnya enam laskar FPI itu. Rekonstruksi dilakukan pada 14 Desember 2020 dini hari, berdasarkan pengakuan polisi yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Rekonstruksi tentang tewasnya empat laskar FPI itu yang berbeda dengan temuan Komnas HAM.
Komnas HAM beranggapan bahwa pengakuan tiga polisi itu hanya sepihak. Tidak bisa dikonfirmasikan. Tidak ada bukti dan indikasi yang mendukung.
Komnas HAM berkesimpulan bahwa dengan kondisi empat orang laskar FPI itu sudah berada di bawah pengawasan aparat kepolisian itu, maka seharusnya mereka bisa dikendalikan. Sehingga demikian tidak terjadi jatuh korban jiwa lagi. Â Tetapi, mengapa justru dalam keadaan demikian mereka berempat ditembak mati polisi?
Penembakan keempatnya di dalam waktu yang hampir bersamaan menimbulkan dugaan Komnas HAM bahwa mereka ditembak tanpa alasan yang kuat yang diizinkan hukum, atau disebut juga unlawfull killing.
Komnas HAM tidak melihat ada indikasi yang bisa memperkuat kebenaran pengakuan polisi bahwa penembakan itu dilakukan karena keadaan memaksa yang membahayakan jiwa mereka. Dengan kata lain, Komnas HAM meragukan kebenaran pengakuan tiga polisi tersebut.
Padahal, seandainya benar peristiwa di dalam mobil itu seperti pengakuan polisi, maka seharusnya Komnas HAM tidak mempersalahkan mereka dengan dugaan telah melakukan pembunuhan di luar hukum.
Karena jika terjadi upaya perlawanan dan perampasan senjata di dalam ruang sesempit mobil yang sedang berjalan itu, polisi hanya mempunyai waktu mengambil keputusan dalam hitungan sepersekian detik. Pikiran yang ada adalah lumpuhkan segera mereka. Tak ada lagi waktu untuk berpikir, harus dilumpuhkan tanpa menembak, atau menembak yang tidak mematikan, atau cara lainnya.
Kondisi panas, tegang, dan waspada penuh pasti masih ada pada para polisi itu. Jika dalam kondisi sedemikian tiba-tiba jiwa mereka terancam karena senjata mereka mau dirampas tawanananya, tentu tidak ada pilihan lain selain menembak. Menembak sampai beberapakali karena kepanikan bisa saja terjadi.