Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapa sang "Madam"? Percuma Mem-bully Tempo

28 Januari 2021   12:55 Diperbarui: 28 Januari 2021   13:36 2702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi Koran Tempo, 18 Januari 2021: "Tiga Penguasa Bansos" )

Dari hasil pemeriksaan intensif terhadap mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang telah ditahan KPK karena terlibat korupsi bantuan sosial penanganan Covid-19, KPK berhasil mengembangkan kasus itu dengan menemukan ada lagi beberapa tokoh  yang terindikasi kuat terlibat. Peran mereka bahkan lebih krusial daripada Juliari.

Mereka adalah Herman Hery dan Ihsan Yunus, yang seperti Juliari juga adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Status dua petinggi PDIP itu menambah keprihatinan pada kasus korupsi "tak berperikemanusiaan" itu. Mereka adalah Herman Hery yang adalah Ketua Komisi III (Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan)  DPR RI, yang seharusnya mengawal penegakan hukum; dan Ihsan Yunus yang adalah Wakil Ketua Komisi VIII (Agama dan Sosial) DPR RI, yang seharusnya mengawal setiap bansos dapat tersalur kepada orang-orang yang tepat secara utuh dan benar.

Disebut korupsi itu "tidak berperikemanusiaan" , karena mereka para pelaku korupsi itu berstatus sosial yang tinggi di masyarakat, dan secara materi berkecukupan bahkan berlebihan, tetapi tega-teganya mengkorupsi dana bantuan sosial untuk fakir miskin. Tidak tanggung-tanggung yang dikorupsi itu lebih dari separoh anggaran.

Pada tahun 2020, saat pandemi Covid-19 mulai berdampak pada banyak orang, terutama sekali kepada keluarga miskin, yang semakin berkesusahan. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, pemerintah pusat menganggarkan bantuan sosial untuk orang miskin yang diambil dari APBN.

Khusus untuk di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, anggarannya Rp. 6,46 triliun untuk 22,8 juta paket bahan pokok. Dibagi dalam 12 tahapan, per tahap 1,9 juta paket.

Majalah Tempo dan Koran Tempo sebagai media investigasi di beberapa edisinya secara beruntun menulis secara intens kasus tersebut. Menguraikan secara lengkap hasil investigasi mereka tentang  dugaan keterlibatan, modus dan bagaimana pembagian jatah korupsi bantuan sosial untuk Juliari Batubara,  Herman Hery,  Ihsan Yunus, dan  beberapa pengusaha penyelia paket bantuan sosial itu. Hasil investigasi tersebut, kemudian mengarah kepada atasan ketiga penguasa bantuan sosial itu.

Herman Hery mendapat jatah 7,6 juta paket senilai Rp. 2,1 triliun dan Ihsan Yunis mendapat 4,6 juta paket senilai 1,4 triliun.

Siapakah sang "Madam"?

Koran Tempo edisi 19 Januari 2021 ("Putar-Putar Duit Bansos"), di bawah judul artikel "Jatah Madam Bebas Potongan", menulis KPK menemukan mantan Menteri Sosial Juniari  Batubara diduga menerima suap sebesar Rp 17 miliar dari para pengusaha penyelia paket bantuan sosial yang dipinjam namanya oleh Herman Hery dan Ihsan Yusnus. Uang tersebut disinyalir berasal dari potongan Rp. 10 ribu per paket.

Tempo menyebut dari beberapa sumber mereka, diketahui tidak semua  bansos dikutip fee oleh Juliari. Dari total 1,9 juta paket dalam satu periode distribusi, lewat anak buahnya, Juliari diduga hanya mengutip fee untuk 600 ribu paket. Separoh dari paket itu diperuntukkan bagi "bina lingkungan".  Setengahnya lagi kuota buat Juliari

Sebanyak 1,3 juta paket lainnya disebut merupakan jatah Herman Hery dan Ihsan Yunus.  Dari jumlah tersebut, perusahaan yang terafiliasi dengan Herman mendapat kuota paling banyak, mencapai 1 juta paket. Sisanya menjadi jatah perusahaan yang terafiliasi dengan Ihsan.

Bantuan sosial untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi didistribusi sebanyak 12 kali, selama April sampai dengan Desember lalu. Total santunan sebanyak 22,8 juta paket, dengan anggaran Rp.6,8 triliun. Setiap periode disalurkan 1,9 juta paket bantuan sosial. "Jatah buat Herman dan Ihsan tidak dipotong fee Rp. 10 ribu per paket" .

Jatah Herman dan Hery tidak dipotong karena itu bagian dari "Madam". Sebutan ini mengacu ke seorang petinggi elite PDIP. "Cara mereka mengambil keuntungan berbeda dengan Juliari", tulis Tempo mengutip kesaksian sumbernya.

Tempo mengaku telah meminta konfirmasi kepada Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, ia  membantah partainya terlibat dalam kasus korupsi.

Demikian juga dengan Herman Hery dan Ihsan Yunus. Mereka membantah mendapat jatah dari korupsi bantuan sosial tersebut.

Siapakah "Madam" tersebut?

Meskipun Tempo tidak menulis siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan "Madam" itu, namun dari artikel lain di Koran Tempo edisi yang sama, berjudul "Jatah Satu Fraksi di partai Banteng", kita bisa menduga siapakah sang "Madam" tersebut.

Koran Tempo menyebutkan bahwa Sekretaris PDIP Hasto Kristiyanto juga pernah meminta jatah proyek pengadaan bantuan sosial itu melalui seorang staf Kementerian Sosial. Permintaan tersebut bahkan diajukan secara tertulis dan ditandatangani.

Permintaan Hasto itu ditolak dengan alasan slot telah habis diambil Herman Hery dan Ihsan Yunus. Tetapi alasan sebenarnya adalah karena Hasto beda kubu dengan dengan Herman dan Ihsan Yunus.

Tempo menulis pengakuan sumbernya bahwa di lingkup internal PDIP ada dua faksi yang kerap berseberangan, yaitu faksi Puan Maharani dan faksi Muhammad Prananda Prabowo. Keduanya anak Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, juga sama-sama menjadi Ketua Dewan Pimpinan (DPP) PDIP.

Dari pengungkapan Tempo tersebut kita dapat menduga bahwa yang dimaksud dengan "Madam" oleh sumber Tempo tersebut bisa jadi adalah Puan Maharani! Sebab bukankah trio penguasa bantuan sosial penanganan Covid-19 itu, Juliari, Herman, dan Ihsan merupakan bagian dari faksi Puan Maharani?   Hanya "Madam" dari faksi ini yang bisa mendapat bagian seperti itu. Lagi pula ada berapa "Madam" yang punya kuasa sedemikian tinggi di atas Herman dan Ihsan?

Kalau Megawati sendiri mungkin terlalu jauh untuk sebagai "Madam"-nya, karena indikasi keterkaitannya belum atau tidak ada.

Apakah KPK Berani?

Membaca nama Hastyo Kristiyanto disebut-sebut dalam kasus bantuan sosial ini, kita teringat kembali dengan gagalnya penyidik KPK menangkapnya karena diduga terlibat dalam kasus suap untuk komisoner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan.

Ketika itu, 8 Januari 2020, tim penindakan KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. Dia diduga menerima suap berkaitan dengan pergantian antarwaktu caleg DPR dari PDIP Harun Masiku. KPK mengendus peran Hasto di dalam kasus suap tersebut, keberadaannya di sekitar lokasi, dan memburunya. 

Hasto diduga melarikan diri ke kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), di Jalan Tirtayasa, Jakarta. Ketika tim penyidik KPK sampai ke kompleks itu, mereka malah dihalang-halangi polisi, ditahan sampai tujuh jam, hingga ditest urinenya dengan alasan diduga sebagai pengguna narkoba.

Ketika itu para pimpinan KPK pun tidak berani menetapkan Hasto sebagai tersangka, padahal konon KPK sudah mempunyai dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka. 

Ruang kerja Hasto di DPP PDIP pun gagal digeledah tim penyidik KPK, padahal mereka sudah mendatangi kantor Hasto itu, tetapi dihalang-halangi petugas kemanan di sana dengan alasan harus ada izin dari atasannya. Pimpinan KPK pun tidak mendukung tim penyidik KPK itu. misalnya, dengan perintah upaya paksa penggeledahan. Tim penyidik KPK itu malah diminta kembali ke kantornya. Pimpinan KPK mengatakan, ada kesalahpahaman, dan pasti akan dilakukan penggeledahan itu. Padahal penggeladahan harus dilakukan sesegara mungkin untuk menghindari penghilangan barang bukti. Sampai sekarang penggeladahan di kantor Hasto itu tak kunjung dilakukan.

Yang juga masih misteri adalah keberadaan Harun Masiku, yang hilang bak ditelan bumi, sampai sekarang. Padahal peran ia sangat penting untuk membongkar habis kaus tersebut.

Bagaimana dengan kasus korupsi bansos sekarang? Kalau dengan Hasto saja KPK tidak berani, apalagi dengan sang "Madam," yang kedudukannya pasti lebih tinggi daripada Hasto di PDIP.  Kemungkinan paling jauh hanya Herman Hery dan Ihsan Yunus saja yang akan dijadikan "tumbal".

Tempo Di-bully 

Pada Jumat, 22 Januari 2021, muncul dan menjadi trending topic di Twitter tagar #MadamBansos, lalu  #TangkapMadam, yang menyerang PDIP, dan juga Puan Maharani dan Megawati. 

Kemudian dilawan dengan tagar #TempoMediaKafir. Yang menyerang  Tempo karena pemberitaannya tentang "Madam" tersebut. Namun serangan tagar tersebut tidak fokus dan tidak relevan dengan apa yang ditulis Tempo tersebut.

Misalnya, menampilkan meme "Tempo Media Kafir" dengan menampilkan foto beberapa pemegang saham PT Tempo Inti Media Tbk, Edwin Soeryadjaja dan pemilik PT Surya Citra Media Tbk (SCTV), sebagai para kafir, padahal mereka hanya pemegang sama minoritas di Tempo Media. Apa relevannya dengan tulisan Tempo? Meme yang sangat tidak relevan bahkan bernuansa SARA.

Selain itu ada pula meme yang mencitrakan Tempo sebagai media yang dapat dibayar untuk menulis berita sesuai dengan pesanan.

Hal yang sama pernah juga pernah terjadi ketika Majalah Tempo edisi 19 Desember 2020 menulis tentang kasus yang sama terkait putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

Menjadi trending topic di Twitter pula tagar #TangkapAnakPakLurah, yang dilawan dengan #TempoMediaASU.

Di  majalah Tempo itu  antara lain ditulis,  ada informasi dari dua orang staf Kementerian Sosial bahwa Juliari meminta mereka menghentikan pencarian vendor penyedia tas kain untuk wadah paket bahan pokok bantuan sosial (goodiebag).

Penyebabnya, tas yang digunakan sebagai wadah oleh Integra Padma Mandiri  (penyalur paket bansos) itu akan diproduksi oleh PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex. Padahal, semula pengadaan tas itu akan diprioritaskan kepada usaha kecil-menengah.

Menurut dua anggota staf tersebut, masuknya nama Sritex merupakan rekomendasi putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. "Itu bagian anak Pak Lurah", mengacu pada putra Jokowi yang saat itu masih sebagai calon wali kota Solo, yang sedang mempersiapkan diri untuk kampanye pilkada Solo.

Akhir 2020 ditekenlah kontrak kerjasama antara Kementerian Sosial dengan PT Sritex untuk pembuatan 10 juta goodiebag. Alasan Juliari tidak menyerahkan pembuatan tas itu kepada pengusaha kecil-menengah karena mereka tidak sanggup membuatnya sebanyak itu karena kesulitan bahan baku yang harus diimpor.

Permintaan wawancara Tempo kepada PT Sritex dan Gibran, tidak direspon keduanya.

Namun kemudian PT Sritex melakukan konferensi pers untuk membantah tudingan tersebut, mereka juga membuat pernyataan bantahan secara tertulis untuk dibagikan kepada media.

Head of Corporate Communication Sritex Joy Citradewi menyatakan perusahaannya tak pernah berinisiatif untuk meminta proyek pembuatan tas kain penyaluran bansos Covid-19 di Jawa Tengah. Penawaran, menurut dia, justru datang dari Kemensos, dan selanjutnya melalui kontrak kerjasama sebagaimana lazimnya.

Sedangkan Gibran Rakabuming juga membantah tudingan itu. Ia menegaskkan tak terlibat dalam pengadaan bantuan sosial berupa goodiebag dari PT Sritex.

Saat Gibran selesai memberikan bantuan gizi di Banyuagung, Kadipiro, Solo, pada 21/12/2020, wartawan meminta komentarnya terkait trending topic tagar #TangkapAnakPakLurah di Twitter.

Gibran dengan raut tidak senang menjawab, "Ya tangkap saja kalau salah. Tangkap aja kalau ada buktinya. Ini saya tegaskan lagi saya tidak pernah ikut-ikut. Tidak pernah yang namanya merekomendasikan memerintah atau apapun itu. Saya tidak pernah menerima apapun itu dari dana bansos".

Jika hanya memberi rekomendasi, tak ada yang dilanggar. Yang melanggar hukum adalah jika diikuti dengan pemberian komisi atau gratifikasi atas rekomendasi tersebut. Tapi, apakah mungkin bisa jika benar ada rekomendasi, tidak diikuti dengan komisi?

Laporkan Tempo

Mem-bully Tempo di Twitter seperti dua kejadian yang disebutkan di atas merupakan pekerjaan mubazir, apalagi jika itu dimaksud agar Tempo menghentikan investigasi dan pemberitaannya tentang korupsi bantuan sosial yang diduga melibatkan banyak  petinggi PDIP.

Adalah jauh lebih tepat dan efektif jika mereka yang namanya disebut Tempo di Koran Tempo dan Majalah Tempo itu  melaporkan Tempo ke Dewan Pers dan/atau menggunakan hak jawabnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Menulis bantahannya disertai argumentasi yang kuat di Koran Tempo dan Majalah Tempo.

Jika tidak merasa cukup, karena apa yang ditulis Tempo itu merupakan "tuduhan" yang sangat serius, meskipun menggunakan embel-embel "diduga" dan "menurut sumber Tempo", lapor saja Tempo ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Jika mereka yakin  tidak bersalah sebagaimana ditulis Tempo, dan laporan ke polisinya berlanjut sampai di pengadilan, maka hakim dapat memaksa Tempo untuk memberikan bukti-bukti yang mendukung semua apa yang dituliskannya itu. Untuk memaksa Tempo membuka siapa saja sumber-sumbernya itu memang sulit, karena sumber seperti itu memang dilindungi hukum.

Namun untuk Herman Hery dan Ihsan Yunus terindikasi kuat bahwa apa yang ditulis Tempo tentang mereka itu memang benar, karena banyak indikasi yang mengarah ke sana.

Herman Hery lewat perusahaannya PT Dwimukti Graha Elelktrindo diduga melakukan kerjasama dengan meminjam nama beberapa perusahaan swasta sebagai penyelia paket bansos, demikian juga Ihsan Yunus diduga melakukan hal yang sama dengan beberapa perusahaan swasta yang dipinjam namanya untuk memuluskan praktik korupsi tersebut.

Pada 8 Januari 2021, KPK telah melakukan penggeledahan di PT Dwimukti Graha Elektrindo yang beralamat di Jalan Panglima Polim Nomor 28, Jakarta Selatan, tetapi "kebetulan sekali", kantor itu kosong karena sedang direnovasi.

Herman mengatakan, renovasi kantor perusahaanya itu sudah dilakukan sejak September 2020, tetapi menurut keterangan yang didapat Tempo dari seorang satpam di  dekat kantor itu, renovasi tersebut baru dilakukan sekitar satu-dua bulan lalu. 

Seorang penegak hukum mengatakan kepada Tempo, renovasi itu baru dilakukan hanya sehari setelah Juliari ditetapkan sebagai tersangka.

Artinya renovasi itu baru dilakukan pada Desember 2020, pada bulan yang sama dengan saat Juliari ditetapkan sebagai tersangka.

Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa Herman berbohong tentang waktu renovasi, yang benar adalah baru Desember 2020, atau memang hanya sehari setelah Juliari ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Artinya patut dicurigai renovasi itu hanya modus dari upaya menghilangkan barang bukti yang mungkin ada di kantor tersebut.

Pada tanggal yang sama KPK telah melakukan penggeledahan di PT Anomali Lumbung Artha, dan kantor PT Famindo Meta  Komunika.

Tanggal 11 Januari 2021, KPK menggeledah kantor PT Mesail Cahaya Berkat, dan kantor Junatama Foodia Kreasindo.

Keempat perusahaan swasta itu merupakan rekanan PT Dwimukti Graha Elektrindo.

Tanggal 12 Januari 2021, KPK menggeledah rumah orangtua Ihsan Ynus di Jalan Raya Hankam, Cipayung, Jakarta Timur, lalu di rumah Yogas, orang dekat Ihsan.

Pada Rabu, 27 Januari 2021 penyidik KPK juga telah melakukan pemanggilan kepada Ihsan Yunus sebagai saksi untuk tersangka Adi Wahyono, mantan pejabat pembuat komitmen Kementerial Sosial yang diduga merupakan koneksi Herman Hery dan Ihsan Yunus dalam korupsi bansos penanganan Covid-19 itu.

Dari fakta-fakta tersebut di atas, dugaan keterlibatan Herman Hery dan Ihsan Yunus seperti yang ditulis Tempo didukung oleh data dan fakta-fakta yang cukup kuat.

Tempo Mengaku Belum 

Berbeda terhadap Gibran Rakabuming dan "Madam" yang mengarah kepada Puan Maharani itu, dari artikel-artikel di Koran Tempo dan Majalah Tempo, nama mereka muncul hanya berdasarkan keterangan "sumber Tempo", sehingga sampai di sini, terkesan indikasi dugaan keterlibatan mereka tidak sekuat seperti terhadap Herman Hery dan Ihsan Yunus.

Tentu saja dalam pengembangan kasus korupsi itu nanti, misalnya sampai KPK mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk menetap Herman Hery dan Ihsan Yunus sebagai tersangka juga, dari mereka bisa saja akan terkuak peran Gibran dan "Madam".

Tetapi apakah KPK berani sampai sejauh itu, mengingat kasus Hasto Kristiyanto tempo hari, seperti yang disinggung di atas? Jangan-jangan hanya akan berhenti paling jauh sampai pada Herman dan Ihsan?

Dugaan keterlibatan Gibran Rakabuming, ditulis Tempo berdasarkan sumbernya di Kementerian Sosial. Sumber itu yang mengatakan kepada Tempo bahwa jatah pembuatan goodiebag untuk wadah paket bahan pokok bantuan sosial itu punya "anak Pak Lurah" alias Gibran. 

Demikian juga dengan informasi bahwa jatah Herman dan Ihsan tidak dipotong karena merupakan bagian "Madam", yang meskipun tidak disebut Tempo siapa "Madam" itu, namun dari artikel lainnya pembaca bisa menyimpulkan dugaan bahwa yang dimaksud "Madam" itu  adalah Puan Maharani. Informasi itu juga didapat Tempo dari "sumbernya yang lain".

Apakah Tempo sudah meverifikasi informasinya yang didapat dari sumber-sumbernya itu?

Di acara "Sapa Indonesia Malam", Kompas TV, 26 Januari 2021, dengan judul "Dugaan Bancakan Proyek Bansos", saat ditanya Aiman, "Siapa Madam itu?" Pimpinan Redaksi Koran Tempo, Budi Setiarso mengaku, untuk  siapa "Madam" itu Tempo belum bisa menyimpulkan dan belum bisa meverifikasi siapa sebenarnya "Madam" itu.  

Untuk menguji kebenaran informasi-informasi itu jalan satu-satunya adalah mereka melapor Tempo ke polisi agar diproses hukum sampai ke pengadilan.

Tidak cukup hanya dengan bantahan saja dari mereka yang nama-namanya disebut Tempo, tetapi belum dipanggil KPK itu.  Tidak bisa juga dengan hanya mem-bully Tempo di Twitter dengan tagar apapun, jika itu memang dimaksud agar Tempo menghentikan tulisan-tulisannya seperti itu.

Menuduh Tempo sebagai media yang bisa dibayar untuk menulis berita sesuai dengan pesanan adalah sebuah fitnah, kecuali dapat dibuktikan secara hukum memang demikian.

Percuma Mem-bully Tempo

Majalah Tempo pernah bertahun-tahun menghadapi rezim otoriter diktator Soeharto. Tempo adalah salah satu media kritis yang paling tidak disukai Soeharto. Tempo dibredel pertama kali pada 12 April 1982, karena pemberintaannya mengenai kerusuhan yang terjadi di kampanye Golkar.

Pada 25 Juni 1994, batas kesabaran Presiden Soeharto habis, ia memerintahkan Menteri Penerangan Harmoko membredel untuk selamanya  tiga media sekaligus yang kritis terhadap pemerintahannya, yaitu majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik. Namun alih-alih menjadi waktu kematian bagi kebebasan pers, kejadian tersebut malah menjadi momentum perlawanan terhadap kebebasan pers.

Majalah Tempo dibredel gara-gara laporan utamanya mengenai indikasi korupsi di balik pembelian 39 kapal perang bekas Jerman Timur  oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie. Pemberitaan itu membuat Soehato sangat marah, dengan alasan dapat membahayakan stabilitas nasional, majalah Tempo dibredel untuk selamanya.

Dalam sejarah pemerintahannya rezim Soeharto sudah berkali-kali membredel media yang tidak disukai pemberitaannya, termasuk harian Kompas, yang dibredel pada 21 Januari 1975 karena pemberitaan tentang unjuk rasa mahasiswa yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.

 Jika biasanya media yang dibredel selalu pasrah saja ketika dibredel, kali ini Tempo melawan. Sejumlah wartawannya melakukan unjuk rasa di gedung DPR menolak pembredelan. Suatu hal yang tabu di era itu.

Tempo, dipimpin  Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad dan Pimpinan Redaksi ketika itu,  Bambang Harymurti membuat sejarah dengan untuk pertamakalinya secara terbuka melawan dengan mengajukan gugatan ke PTUN.

Tak terduga, pada 3 Mei 1995 Hakim PTUN ketika itu Benyamin Mangkoedilaga memenangkan Tempo, dengan membatalkan perintah pembredelan dari Menteri Penerangan Harmoko tersebut. Tetapi dengan berbagai alasan majalah Tempo belum bisa  terbit kembali sampai tiga tahun kemudian, setelah Soeharto lengser.

Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, era kekuasaan Orde Baru pun berakhir. Era reformasi dimulai, termasuk bangkitnya kebebasan pers.

Majalah Tempo terbit kembali pada 6 Oktober 1998 dengan laporan utamanya mengenai kasus pemerkosaan yang menimpa perempuan-perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998.

Tempo terbukti sangat memegang teguh prinsipnya tentang kebebasan pers, dan tentu saja dengan berpatokan pada idelaismenya yang selalu menulis berita secara benar dan bertanggung jawab. 

Soeharto yang begitu kuat dan ditakuti di masa kekuasaanya itu saja dilawan Tempo, apalagi cuma dengan beraneka tagar bully dan tuduhan tak berdasar di Twitter, atau di mana saja.

Meskipun secara umum Tempo juga tidak selalu benar (dht).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun