Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tanggapan atas Surat Jawaban Markaz Syariah terhadap Somasi PTPN VIII

29 Desember 2020   23:12 Diperbarui: 29 Desember 2020   23:37 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pondok Pesantren Alam dan Agrokultural Markaz Syariah di Megamendung, Kabupaten Bogor, milik Habib Rizieq Shihab. Foto: SINDOnews/Dok

Somasi PT Perkebunan Nusantara Kebun Gunung Mas (PTPN) VIII kepada Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah agar segera mengosongkan dan menyerahkan kembali tanah miliknya di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, ditanggapi kuasa hukum Markaz Syariah dengan jawaban tertulis yang telah disampaikan ke PTPN VIII. Intinya mereka menolak somasi tersebut karena merasa merekalah pemilik sah tanah tersebut, meskipun bukti-bukti hukum menyatakan sebaliknya.

Markaz Syariah yang dimiliki oleh pimpinan FPI, Rizieq Shihab, itu merasa tidak bersalah meskipun mereka mengakui bahwa lahan bersertifikat HGU itu atas nama PTPN VIII. Alasannya tanah tersebut telah diterlantarkan oleh PTPN VIII, lalu warga setempat menggarapnya selama lebih dari 25 tahun. Menurut mereka, berdasarkan UUPA, HGU yang telah diterlantarkan, otomatis HGU-nya hapus, sehingga warga yang telah menggarapnya lebih dari 25 tahun berhak atas tanah tersebut, termasuk berhak menjualnya. 

Menurut kuasa hukum Markaz Syariah di dalam surat jawabannya itu, Rizieq Shihab beritikad baik ketika membeli tanah itu dari dari petani penggarap dan sah karena juga diketahui mulai dari RT, RW, Bupati Bogor, sampai Gubernur Jawa Barat, oleh karena itu dia tidak bisa disalahkan. Yang harus disalahkan oleh PTPN VIII adalah petani penggarap tanah yang menjual tanah itu kepada Rizieq. Oleh karena itu somasi yang disampaikan tersebut ditujukan kepada orang yang salah, atau dalam istilah hukum disebut error in persona. 

Namun menurut saya, surat jawabannya yang terdiri dari 11 angka itu argumen-argumennya sangat lemah, tidak pula didukung dengan bukti, data dan fakta yang valid.

Berikut komentar saya terhadap surat jawaban atas somasi tersebut.

Surat jawaban itu dikutip secara lengkap diikuti dengan komentar saya.

 Isi surat (tulisan miring):

1. Sehubungan dengan Surat Somasi yang Saudara sampaikan kepada kami, surat No. SB/I.1/6131/XII/2020, tertanggal 18 Desember 2020, maka dengan ini kami hendak menyampaikan tanggapan/jawaban atas Somasi saudara, antara lain sebagai berikut:

Bahwa Somasi Saudara adalah error in persona karena seharusnya Pihak PT. PN VIII mengajukan Complain baik pidana ataupun perdata kepada pihak yang menjual tanah tersebut kepada Pihak Pesantren atau HRS, karena Pihak Pesantren dengan diketahui semua aparat dari mulai Kepala Desa hingga Gubernur membeli tanah tersebut dari pihak lain yang mengaku dan menerangkan tanah tersebut miliknya. Pengakuan tersebut dibenarkan oleh pejabat yang terkait yang mengetahui dan memproses administrasi peralihan atas tanah tersebut. Secara hukum dilihat dari aspek hukum perdata dan hukum acara perdata PT. PN VIII keliru dan tidak memiliki alasan hukum untuk meminta Pihak HRS mengosongkan lahan tersebut, kecuali ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan bahwa kedudukan pihak pesantren atau HRS sebagai pembeli beritikad baik dibatalkan, dengan kata lain somasi tersebut prematur dan salah pihak;

Tanggapan:  

Jual beli tanah harus di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pembeli harus yakin bahwa pihak penjual benar-benar adalah pemilik tanah yang hendak dijual itu dengan pembuktian sertifikat hak atas tanah atas nama penjual. Jika pembeli masih ragu-ragu, bisa dicek status tanahnya di kantor Badan Pertanahan (BPN) setempat. Tidak cukup dengan hanya pengakuan sepihak pihak penjual meskipun dengan sepengetahuan aparat mulai dari kepala desa sampai gubernur. Apakah pihak Rizieq Shihab telah melakukan hal tersebut sebelum memutuskan membeli tanah tersebut, dan kenapa tidak di hadapan PPAT?

Jika tidak didukung dengan sertifikat hak atas tanah,  dan dokumen-dokumen penting lainnya, maka PPAT akan menolak membuat suatu akta jual beli tanah.

Majalah Tempo edisi 16 Februari 2017 pernah menulis bahwa pihak Rizieq Shihab/Markaz Syariah pernah menyurati PTPN VIII sampai tiga kali setelah mereka gagal mengurus sertifikat tanah itu di BPN Bogor. BPN Bogor menjelaskan bahwa tanah tersebut sudah ada pemiliknya yaitu PTPN VIII berdasarkan HGU Nomor 299, tanggal 4 Juli 2008. 

Surat pertama tertanggal 21 Mei 2013, intinya meminta PTPN VIII merelakan tanahnya itu kepada pihak Ponpes Markaz Syariah sebagai bagian dari corporate social responsibility (CSR). Permohonan tak lazim itu tak digubris PTPN VIII. "Bagi-bagi tanah untuk CSR itu tidak bisa," tegas Eks Direktur Manajemen Aset PTPN VIII Gunara, sebagaimana dikutip dari Majalah Tempo.

Pertanyaannya, apakah setelah gagal mengurus sertifikat tanah itu,  pihak Rizieq Shihab/Markaz Syariah baru sadar (ceroboh) bahwa mereka telah membeli tanah yang telah ada pemiliknya, ataukah memang menganggap enteng masalah tersebut, menganggap semuanya bisa diselesaikan dengan kharisma seorang Rizieq? 

Sebenarnya, ketika itu, dengan dokumen-dokumen apa saja mereka punya saat mengurus sertifikat tanahnya di BPN Bogor? 

Dari keterangan-keterangan yang pernah disampaikan Rizieq Shihab dan kuasa hukumnya, tampaknya mereka yakin dengan pengakuan penjual, akta jual beli di bawah tangan disertai dengan  surat keterangan dari Ketua RT, Ketua RW, Bupati Bogor, dan Gubernur Jawa Barat, sudah cukup untuk mengurus sertifikat tanahnya.

Jika benar demikian, tentu saja itu merupakan suatu kecerobohan fatal pihak Rizieq Shihab, karena ia telah melakukan suatu transaksi jual-beli tanah yang tidak sah.

Tetapi hal tersebut rupanya tidak menghambat Rizieq Shihab untuk bertindak lebih jauh lagi dengan menguasai secara fisik tanah itu, lalu membangun sejumlah bangunan dan infrastrukur di atasnya untuk kegiatan pondok pesantrennya yang diberi nama Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah. 

Karena yang menguasai dan menggunakan tanah secara ilegal itu adalah Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah, maka somasi yang disampaikan oleh PTPN VIII kepada pihak Markaz Syariah sudah tepat, bukan error in persona.

Dari aspek hukum perdata, maupun hukum acara perdata PTPN VIII mempunyai alas hak yang kuat untuk memaksa pihak Ponpes Markaz Syariah/Rizieq Shihab untuk mengosongkan tanah tersebut dan diserahkan kembali kepadanya. 

Jika pihak Ponpes tidak mau mematuhi somasi, maka secara hukum pidana PTPN VIII dapat melaporkan Markaz Syariah/Rizieq Shihab ke polisi dengan tuduhan melakukan tindak pidana Stellionnaat, penggelapan, penyerobotan, penguasaan dan penggunaaan tanah milik orang lain tanpa izin.

PTPN dapat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri kabupaten Bogor untuk menetapkan perintah pengosongan paksa atas tanah tersebut, dan menggugat ganti rugi kepada Markaz Syariah berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum.

Sedangkan mengenai petani penggarap penjual tanah, lebih tepat menjadi urusan Markaz Syariah/Rizieq Shihab, karena mereka membeli tanah itu dari dia padahal dia tidak punya hak untuk itu.

2. Bahwa kami baru mengetahui keberadaan SHGU No: 299 tertanggal 04 Juli 2008 melalui surat saudara No : SB/I.1/6131/XII/2020, tertanggal 18 Desember 2020;

Tanggapan: 

Apakah benar pihak Ponpes Markaz Syariah/Rizieq baru saja mengetahui keberadaan sertifikat HGU No. 299, tertanggal 4 Juli 2008 milik PTPN VIII melalui surat somasi tertanggal 18 Desember 2020 itu?

Pengakuan tersebut diragukan kebenarannya, dengan adanya fakta yang ditulis Majalah Tempo edisi 6 Februari 2017 bahwa pada 2013 Markaz Syariah pernah mengurus sertifikat tanah itu di BPN Bogor tetapi ditolak dengan dengan keterangan bahwa tanah tersebut berstatus HGU atas nama PTPN VIII.

Maka itu mereka lalu menyurati PTPN VIII sampai tiga kali, yaitu pada 21 Mei 201, April 2014, dan 1 April 2016, yang intinya meminta kerelaan PTPN VIII melepaskan tanahnya itu kepada mereka. 

Jadi, patut diduga sedari awal Markaz Syariah/Rizieq Shihab tahu bahwa tanah itu berstatus HGU atas nama PTPN VIII.

3. Bahwa terhadap lahan yang saat ini ditempati, digarap dan telah dibangun di atasnya bangunan Pondok Pesantren Agrokultural Markaz Syariah oleh klien kami telah dibeli dari para petani yang menguasai dan mengelola lahan secara fisik serta dari para pemilik sebelumnya;

Tanggapan:

Markaz Syariah telah menyurati PTPN VIII sampai tiga kali sejak 2013-2016 yang intinya meminta PTPN VIII merelakan 30,91 hektare tanah tersebut kepada mereka, tetapi tidak digubris PTPN VIII. Artinya, Markaz Syariah mengakui bahwa tanah tersebut milik PTPN VIII, tetapi mengapa pada 2017 Rizieq tetap nekad membangun sejumlah bangunan dan infrastruktur di atasnya untuk  Pondok Pesantren Agrokultural Markaz Syariah miliknya?

Membangun bangunan dan melakukan kegiatan di atas tanah milik orang lain jelas merupakan suatu pelanggaran hukum, baik pidana, maupun perdata, tidak bisa malah dijadikan alasan pembenaran menguasai tanah tersebut.

Membeli tanah itu harus dari pemiliknya yang sah yang harus dibuktikan dengan sertifikat hak atas tanahnya, bukan berdasarkan pengakuan dan sepengetahuan aparat negara saja. Mustahil Rizieq Shihab dan kuasa hukumnya tidak paham hal tersebut.

Tahu tanah tersebut milik PTPN VIII tetapi tetap membangun sejumlah bangunan dan melakukan kegiatan di atasnya dapat menjadi indikasi tidak adanya itikad baik dari pihak Rizieq Shihab.

 4. Bahwa atas lahan tersebut sebelumnya adalah merupakan lahan kosong atau tanah terlantar yang dikuasai secara fisik dan dikelola oleh banyak masyarakat lebih dari 25 tahun lamanya;

5. Bahwa berlatar belakang penguasaan fisik yang sedemikian lama oleh masyarakat, sehingga klien kami berkeyakinan atas lahan tersebut secara hukum memang benar milik para penggarap, sehingga klien kami bersedia untuk membeli lahan-lahan tersebut dari para para pemilik atas lahan tersebut;

Tanggapan:

HGU milik PTPN VIII itu adalah HGU Nomor 299, 14 Juli 2008, sedangkan Rizieq membeli tanah tersebut dari para penggarapnya pada 2013, artinya baru 5 tahun sejak HGU itu terbit. Hitungan lebih dari 25 tahunnya itu dari mana?

BPN tak mungkin menerbitkan suatu sertifikat tanah tanpa memperhatikan status tanahnya. Tanah tersebut sejak awal merupakan tanah negara. Menurut investigasi Majalah Tempo, pada 1998, saat euforia reformasi dengan jatuhnya Soeharto, warga sekitar ramai-ramai menduduki dan menggarap tanah negara itu, sekali lagi tanah negara, bukan tanah diterlantarkan oleh pemegang haknya.

Siapakah yang berwenang menentukan suatu tanah sebagai tanah terlantar? Apa dasar hukumnya yang menegaskan bahwa tanah terlantar otomatis menjadi hak penggarapnya?

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar mengatur mengenai tanah terlantar.

PP tersebut menentukan bahwa jika ada tanah yang diduga diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanahnya, maka Kanwil BPN setempat akan membentuk panitia untuk mendata, mengidentifikasi dan meneliti tanah tersebut. 

Jika benar diterlantarkan, maka Kepala Kanwil BPN setempat akan menyampaikan surat peringatan pertama kepada pemegang haknya agar segera dalam tempo satu bulan dari tanggal surat peringatan untuk menggunakan, mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut sesuai dengan peruntukannya. 

Jika pemegang hak tidak menindaklanjuti peringatan tertulis tersebut akan disampaikan peringatan kedua, sampai dengan peringatan ketiga, pemegang hak tidak menindaklanjuti peringatan tersebut, maka atas rekomendasi Kepala Kanwil BPN setempat, Kepala BPN menetapkan tanah tersebut sebagai tanah terlantar, sekaligus menetapkan hapusnya hak atas tanah tersebut dan hapus pula hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanah itu. Konsekuensinya tanah tersebut kembali dikuasai negara.

Tanah yang kembali sebagai tanah yang dikuasai negara itu terbuka untuk dimohonkan haknya oleh semua WNI, termasuk oleh pemegang hak semulanya.   

Jadi, tidak otomatis begitu saja menjadi tanah negara apalagi serta merta menjadi hak mereka yang menggarapnya.

Baca juga: PTPN VIII vs Rizieq Shihab

6. Bahwa atas bukti-bukti jual beli antara klien kami dengan pengelola dan pemilik juga sudah sangat lengkap dan diketahui oleh perangkat Desa, baik RT, RW setempat yang kemudian terhadap surat tersebut telah ditembuskan kepada Bupati Kabupaten Bogor dan Gubernur Jawa Barat, sehingga legal standing klien kami dalam menempati dan mengusahakan atas lahan tersebut tidak dengan cara melawan hukum. Dan ini telah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum pembeli dilindungi itikad baik sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung telah menegaskan hal ini dalam Putusan MARI No. 251K/Sip/1958 tanggal 26 Desember 1958 yang kaidah hukumnya berbunyi : "Pembeli yang telah bertindak dengan itikad baik harus dilindungi dan jual beli yang bersangkutan haruslah dianggap syah". Hal yang sama juga telah dijelaskan oleh MA dalam Surat Edaran MA No. 7/2012, yang dalam butir ke IX dirumuskan: "Perlindungan harus diberikan kepada Pembeli Beritikad Baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak..", dan Asas itikad baik tercantum juga dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi: "Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak pertama dan kedua harus melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak", sehingga tidak benar apabila klien kami dianggap telah melakukan tindak pidana atas penguasaan lahan tersebut;

Tanggapan: 

Bukti-bukti jual-beli yang sudah sangat lengkap yang bagaimana yang dimaksud kuasa hukum Rizieq itu? 

Padahal secara hukum jual beli tanah harus di hadapan PPAT. Salah satu bukti yang mutlak harus ada adalah bukti pemilikan hak atas tanah penjualnya berupa sertifikat hak atas tanah. Sedangkan dari penjelasan-penjelasan kuasa hukum Rizieq di atas jual-beli tanah tersebut hanya berdasarkan pengakuan penjual, dengan diketahui ketua RT, ketua RW,  Bupati Kabupaten Bogor dan Gubernur Jawa Barat.

Tampaknya syarat mutlak tersebut diabaikan oleh pihak Rizieq. Kemungkinan besar mereka baru sadar kecerobohan fatal itu ketika hendak mengurus sertifikat tanahnya di BPN Kabupaten Bogor, dengan ditolaknya permohonan tersebut oleh BPN dengan alasan tanah tersebut sudah ada pemiliknya, yaitu PTPN VIII dengan HGU Nomor 299, 4 Juli 2008.

Menyadari hal itu, pihak Rizieq menyurati PTPN VIII memohon agar tanah yang sudah terlanjur mereka beli itu dihibahkan ke mereka dengan alasan corporate social responsibility (CSR). Permintaan tidak lazim itu tentu saja tidak diladeni PTPN VIII. 

Surat kepada PTPN VIII dengan substansi yang sama dikirim sampai tiga kali. Pertama kali pada 21 Mei 2013, atau tidak lama setelah mereka membeli tanah tersebut dari para penggarap, surat kedua April 2014, dan ketiga tertanggal 1 April 2016. Semuanya tidak direspon PTPN VIII. 

Tidak ada respon dari PTPN VIII itu seharusnya membuat pihak Rizieq lebih berhati-hati, dan tidak menggunakan tanah tersebut karena statusnya bermasalah, tepatnya tanah milik pihak lain. Tetapi mungkin karena sudah terbiasa mengabaikan hukum, merasa dengan pengaruhnya semua bisa diatur, pihak Rizieq malah nekad membangun sejumlah bangunan lengkap dengan infrastrukur di atasnya untuk kegiatan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah miliknya.

Majalah Tempo edisi 6 Februari 2017 melaporkan bahwa  pada 2017 PTPN VIII melaporkan pihak Markaz Syariah c.q. Rizieq Shihab ke Bareskrim Polri atas tuduhan menduduki dan menggunakan tanah milik mereka di Megamendung, Kabupaten Bogor itu.

Ternyata,  Markaz Syariah  juga tak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). Begitu pun pondok pesantren milik pimpinan FPI Rizieq Shihab itu tidak punya izin pendirian dari Kementerian Agama dan dinas pendidikan.

Dari fakta-fakta tersebut, nyatalah bahwa yang disebut kuasa hukum Rizieq bahwa dokumen-dokumen mereka sangat lengkap ternyata  sangat tidak lengkap.

Dengan fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa pihak Rizieq Shihab tidak mempunyai itikad baik dalam kasus sengketa tanah dengan PTPN VIII tersebut.

7. Bahwa karena berdasarkan informasi yang telah kami dapatkan di lapangan, terhadap sertifikat HGU PT. Perkebunan Nasional VIII telah dibatalkan dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewisjde), untuk menghindari tumpang tindih kepemilikan atas lahan tersebut dan memastikan apakah betul sertifikat HGU PT Perkebunan Nasional VIII yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung tersebut benar berada di area lahan yang dikuasai klien kami, untuk itu diperlukan adanya klarifikasi secara resmi dari pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) terkait peta batas atas lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang saat ini diklaim oleh saudara (i.c. PT. Perkebunan Nasional VIII) yang berupa peta digital dari pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang merupakan instansi yang berwenang atas hal tersebut sehingga bersifat objektif dan independen;

8. Bahwa PT. Perkebunan Nasional VIII, sudah lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun menelantarkan dan tidak mengelola langsung lahan tersebut, dan telah ada 9 (sembilan) SHGU PT. Perkebunan Nasional VIII yang sudah dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Tingkat Kasasi Mahkamah Agung), sehingga di dalam sistem hukum agraria, lahan-lahan tersebut adalah merupakan lahan bebas, karena HGU hapus dengan sendirinya apabila LAHAN DITELANTARKAN oleh pihak penerima HGU, Dan otomatis menjadi objek land reform, yaitu memang dialokasikan untuk kepentingan rakyat;

Tanggapan:

Entah informasi dari lapangan mana yang diperoleh kuasa hukum Rizieq ini sehingga berani menyatakan  bahwa HGU PTPN VIII itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Argumen ini juga menunjukkan kelemahan argumentasi yang dikemukakan dalam menjawab somasi PTPN VIII. Hanya menyebutkan mendapat informasi di lapangan tanpa didukung data yang valid

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui juru bicaranya, Teuku Taufiqulhadi pun langsung membantah pernyataan kuasa hukum Rizieq tersebut.

"Siapa yang membatalkan, tidak ada yang membatalkan. Itu HGU tetap, tidak ada yang membatalkan, kan harus ingat PTPN itu BUMN, BUMN itu adalah penugasan negara. Selama ada BUMN dan PTPN VIII, selama dia masih eksis, tanah itu melekat pada PTPN," ujar Teuku Taufiqulhadi saat dikonfirmasi media, Minggu (27/12/2020).

Taufiqulhadi menegaskan, tanah yang diklaim FPI merupakan aset negara yang terdaftar dalam perbendaharaan negara saat ini. Lahan itu ada di bawah kendali atau pengolahan BUMN melalui PTPN VIII, tidak ada yang dibatalkan oleh MA.

Dia mengingatkan, sekalipun HGU PTPN VIII itu dibatalkan, maka tanah tersebut tetap menjadi dikuasai negara (Sindonews.com).

9. Bahwa berdasarkan:
A. UUD Pokok Agraria Bab IV tentang Hak Guna Usaha pasal 34 huruf e Hak guna usaha hapus karena diterlantarkan;
B. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Presiden Republik Indonesia, Bagian Kelima Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Guna Usaha Pasal 12 (1) Pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untuk :
c. mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan bik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;
g. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus; Bahwa berdasar ketentuan tersebut, Pasal 34 huruf e dan PP No. 40 tahun 1996 Pasal 12 (1) huruf c, dengan mengingat fakta PT. PN VIII sudah lebih 25 tahun menelantarkan lahan a quo, TIDAK mengelola sendiri lahan a quo, maka SHGU No. 299 tersebut HAPUS DEMI HUKUM.

Tanggapan:

Sudah ditanggapi pada tanggapan-tanggapan di atas.

10. Bahwa berdasarkan Somasi Saudara tersebut pemilik lahan sudah mengelola dan melakukan kegiatan yang bersifat produktif oleh klien kami baik penanaman kebon alpukat dan kebun sayur mayur dan peternakan serta digunakan untuk aktifitas syiar Agama Islam dan pengajian oleh karenanya saudara tidak bisa bertindak sewenang-wenang terhadap benda hak milik klien kami dan lahan yang sudah dibeli dan dikelola oleh klien kami;

Tanggapan: 

Ini namanya memutarbalikkan fakta, "maling teriak maling". Mengkalim sebagai pemilik sah atas tanah tersebut tetapi tidak punya buktinya. Seenaknya saja membangun dan melakukan kegiatan di atas tanah milik pihak lain, ketika pemiliknya minta kembali tanahnya, malah menuduh pemilik sahnya yang bertindak sewenang-wenang.

11. Bahwa atas hal-hal yang telah kami uraikan tersebut di atas, maka kami siap dan bersedia untuk duduk bersama/berdialog secara musyawarah untuk mencari solusi/jalan keluar atas permasalahan ini dengan pihak saudara dan instansi terkait lainnya.

Tanggapan:

Bagaimana bisa dalam posisi yang tidak setara, Markaz Syariah menghendaki agar pihak PTPN VIII mau duduk bersama mereka untuk melakukan dialog terhadap permasalahan tersebut.

Posisi kedua pihak sudah jelas dan pasti bahwa PTPN VIII adalah pemilik sah atas tanah tersebut dengan bukti sertifikat HGU Nomor 299, tanggal 4 Juli 2008. 

Sedangkan Markaz Syariah adalah pihak penyerobot, menguasai, dan menggunakan tanah tersebut secara ilegal, melanggar hak atas tanah yang dimiliki oleh PTPN VIII, dapat dipidana berdasarkan Pasal 385 KUHP, Perpu No 51 Tahun 1960.

Juga, secara hukum pidana mereka memenuhi unsur tindak pidana penadahan sebagaimana diatur pasal 480 KUHP, yaitu membeli tanah dari penyerobot tanah milik pihak lain.

Masakan pemilik barang berunding dengan pihak penadah?

Jadi, apa yang mau dialogkan? Satu-satunya jalan terbaik bagi pihak Markaz Syariah/Rizieq Shihab adalah harus memenuhi somasi PTPN VIII tersebut, yaitu mengosongkan tanah tersebut dan menyerahkan kembali ke pemiliknya.

Jika tidak mau, bersiaplah untuk menghadapi kasus hukum pidana, dan perdata, yang akan membuat mereka lebih menderita lagi.

 Juru bicara Kementerian ATR/BPN, Teuku Taufiqulhadi, bilang:

"Jadi, kalau misalnya ingin bertemu, ya, mendiskusikan langkah berikutnya boleh. Tapi kalau dialog dengan posisi setara tidak bisa, karena PTPN tidak mau, itu kan tanah dia, dia harus mempertahankan tanah sejengkal pun," katanya (28/12/2020).

"Kenapa? karena PTPN itu dia adalah salah satu BUMN, dan tanah BUMN itu adalah tanah yang telah tercatat di perbendaharaan negara, dan di bawah supervisi kendali dari Menteri BUMN." (detik.com).

Sekadar untuk diketahui bahwa PTPN VIII atau dengan nama lengkapnya PT Perkebunanan Nusantara Kebun Gunung Mas adalah BUMN yang memiliki  41 perkebunan yang tersebar di berbagai kabupaten di Jawa Barat. Dua puluh empat diantaranya adalah perkebunan teh. Sisanya perkebunan kina, kakao, karet, dan sawit.

PTPN VIII adalah produsen teh terbesar di Indonesia dengan menghasilkan 45 persen produk teh nasional dengan merek "Gunung Mas". 

(dht)

photo: jobojero/indoplaces.com
photo: jobojero/indoplaces.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun