Polemik yang menimbulkan kegaduhan dan berpotensi mengganggu tahapan Pemilu 2019 tentang boleh tidaknya mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, khususnya antara KPU yang melarang dengan Bawaslu yang membolehkan merupakan suatu ironi.Â
Ironi karena terkesan kuat yang terjadi adalah pembelaan Bawaslu terhadap segelintir mantan napi itu dengan mengatasnamakan hak mereka untuk dipilih, tetapi mengabaikan hak 250 juta rakyat Indonesia untuk memperoleh wakilnya yang berintgeritas tinggi. Â
Sampai hari ini (Kamis, 6/9/2018), Bawaslu telah mengabulkan gugatan 16 orang mantan napi korupsi, mengubah status mereka dari  tidak memenuhi syarat menurit KPU menjadi memenuhi syarat sebagai bakal calan legislatif.
Bawaslu Mengabaikan Pakta Integritas Parpol
Seharusnya polemik tersebut sudah berakhir dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM Yasonnah Hamonangan Laoly yang juga semula menentang larangan KPU yang dituangkan di dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 itu dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu (yang tidak ada ketentuan larangan tersebut), tapi akhirnya "mengalah" Â dengan alasan demi kelancaran Pemilu 2019, pada 4 Juli 2018 telah menandatangani PKPU tersebut sebagai tanda pengundangannya.
Kesediaan Menkumham menandatangani PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD itu setelah diambil jalan tengah berupa kesepakatan antara KPU, Menkumham, dan Bawaslu, disaksikan oleh beberapa pakar politik.
Kesepakatan itu adalah untuk mengrevisi ketentuan yang dianggap Menkumham bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu, maka ketentuan tentang salah satu syarat bakal calon anggota legislatif yang tercantum di Pasal 7 huruf h  PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tersebut, yang berbunyi:
h. bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi,
Dihapus, sebagai gantinya, ditambahkan ketentuan tentang kewajiban pimpinan parpol untuk menandatangani pakta integritas yang isinya suatu komitmen parpol untuk tidak akan mengajukan kadernya yang mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual pada anak, atau korupsi.
Ketentuan tentang pakta integritas tersebut ditambahkan pada Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 6 ayat 1 huruf e.
Semua parpol telah menandatangani dan menyerahkan kepada Bawaslu pakta integritas itu. Seharusnya dengan demikian Bawaslu berpedoman kepada pakta integritas tersebut ketika para mantan napi koruptor ramai-ramai menggugat KPU kepada mereka. Â
Sedemikian banyaknya mantan napi korupsi tetap mendaftarkan diri (melalui parpol-nya masing-masing) untuk menjadi bakal calon anggota legislatif (yang dicoret KPU karena dinilai tidak memenuhi syarat) membuktikan bahwa parpol-parpol tersebut ternyata tidak mempunyai integritas, betapa tidak, mereka dengan mudahnya melanggar komitmen mereka sendiri yang sudah ditandatangani di pakta integritas itu.
Pakta integritas itu merupakan suatu komitmen parpol bahwa mereka tidak akan mengajukan kader-kadernya yang mantan napi korupsi sebagai bakal calon anggota legislatif di Pemilu 2019.Â
Namanya saja "pakta integritas", maka seharusnya  mereka bisa  berpegang teguh pada komitmennya itu, sebagai suatu bukti adanya integritas dari setiap parpol bahwa mereka akan setia, konsisten dan konsekuen dengan komitmen itu. Kalau parpol ingkar janji berarti mereka tak punya integritas, tidak kredibel, dan seharusnya tidak ada gunanya menandatangan pakta itu, sekaligus melanggar PKPU.
Iriawan Hartana, CEO Orang Tua Group mengatakan: "Integritas merupakan salah satu atribut terpenting atau kunci yang harus dimiliki seorang pemimpin.Â
Integritas adalah suatu konsep berkaitan dengan konsistensi dalam tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi dan berbagai hal yang dihasilkan. Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur dan memiliki karakter kuat, tidak pernah korupsi."
Seharusnya Bawaslu berpatokan pada pakta integritas tersebut untuk menolak setiap gugatan terhadap KPU dari para mantan napi koruptor, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, Bawaslu dalam putusannya mengabulkan permohonan para mantan napi korupsi itu mengabaikan eksistensi pakta integritas itu, padahal pakta integritas itu juga mereka terima langsung dari parpol.
Rupanya, bagi Bawaslu pakta integritas itu hanya formalitas semata, buktinya meskipun sudah ditandatangani pimpinan parpol, tetapi ketika  tidak dipenuhi, bukan masalah bagi Bawaslu. Padahal di ketentuannya disebutkan bahwa pakta itu dibuat untuk dilaksanakan. Kalau pakta integritas itu dibuat tetapi tidak dilaksanakan, untuk apa pakta itu dibuat?
Sikap Bawaslu ini sangat bertentangan dengan salah satu prinsip dasar Pemilu, yakni Pemilu harus merupakan Pemilu berintegritas (electoral integrity), dan bertentangan pula dari tujuan Pemilu itu, yakni terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Hanya Pemilu yang berintegritas yang dapat menghasilkan tata kelola pemerintahan yang berintegritas pula.
Sikap Bawaslu itu membuat seolah-olah kesepakatan untuk menghilangkan ketentuan Pasal 7 huruf h tersebut di atas dan diganti dengan ketentuan tentang pakta integritas itu hanya merupakan suatu "jebakan batman" bagi KPU.
Hal itu diutarakan sendiri oleh Ketua Bawaslu, Abhan ketika membantah pihaknya menafsirkan seenaknya PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tersebut.
"Kami bukan interpretasi sendiri. Coba dibaca, PKPU 20 itu di Pasal 7 tidak ada syarat persoalan napi korupsi itu tidak ada. Persis itu di Undang-Undang (Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu)," kata Abhan di Gedung Bawaslu, Jakarta, 31/8/2018.
Ia mengatakan, PKPU tersebut hanya mengatur larangan mantan narapidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak dan narkoba dalam bentuk pakta integritas sebagaimana yang termuat pada Pasal 4, maka itu (tidak mengikat), dan dengan demikian dibolehkan mantan napi korupsi menjadi bakal calon legislatif tidak bertentangan dengan PKPU maupun Undang-Undang Pemilu.
Padalah, nyata-nyata, sebelumnya (Juli 2018) Ketua Bawaslu, Abhan itu sendiri juga pernah melontarkan pernyataan sebaliknya, bahwa Bawaslu sangat mengharapkan semua parpol menghormati pakta integritas yang sudah mereka tandatangani sendiri, agar tidak ada mantan napi korupsi, kejahatan seksual pada anak, dan bandar narkoba ikut mendaftar sebagai bakal calon anggota legislatif.
Ketika ternyata masih ada saja kader-kader parpol yang didaftarkan padahal mereka adalah mantan napi korupsi, Ketua Bawaslu itu mengatakan keprihatinannya, sebab katanya sebelumnya Bawaslu sudah mendesak setiap parpol agar secara moral mematuhi pakta integritas itu:
"Kami prihatin. Kami sudah mendorong komitmen moral untuk tidak mengajukannya. ... Harapan kami masih banyak politisi yang bersih. Harapan kami ajukan politisi yang besih yang tidak punya masalah hukum," kata Abhan, di Ballroom Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Rabu (25/7/2018).
Ternyata pernyataan itu hanya basa-basi saja, faktanya justru Bawaslu mendukung tindakan yang dia sebut sendiri sebagai tindakan yang bertentangan dengan moral itu, dengan cara meloloskan para napi mantan korupsi yang sebelumnya sudah dicoret namanya oleh KPU itu.
Pasal 4 ayat 3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dimaksud menentukan kewajiban parpol untuk:
Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Sedangkan Pasal 6 ayat 1 huruf e menentukan:
Pimpinan Partai Politik sesuai dengan tingkatannya menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), yang berisi rincian untuk setiap Dapil yang tercantum dalam formulir Model B.1.
Bawaslu Bersikap Seperti MA dan MK
Tetapi di dalam pertimbangan-pertimbangan keputusannya yang mengabulkan gugatan mantan napi korupsi itu Bawaslu justru bertindak jauh melampui wewenangnya, mereka bukan hanya bertindak seolah-olah seperti Mahkamah Agung (MA), tetapi juga seperti Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu dengan menyatakan bahwa ketentuan PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu, dan bahkan bertentangan dengan UUD 1945.
Padahal yang berwenang memutuskan apakah suatu produk hukum bertentangan dengan Undang-Undang di atasnya ataukah tidak adalah MA. Sedangkan yang berwenang menyatakan suatu produk Undang-Undang bertentangan atau tidak dengan UUD 1945 adalah MK.
Misalnya, saat mengabulkan gugatan M Taufik, Bawaslu DKI Jakarta mengambil keputusannya itu dengan mengacu pada keterangan Margarito Kamis sebagai ahli yang diajukan M Taufik soal kesempatan bagi setiap orang dalam penyelenggaraan negara dan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat 3 UUD 1945.
"Demikian juga disampaikan oleh ahli pemohon Saudara Margarito Kamis sehingga kedudukan peraturan KPU tentang pelarangan seorang mantan terpidana korupsi tidak saja bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, akan tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945Â sehingga dapat dimaknai terhadap penerapan pasal dalam peraturan KPU secara konstitusional maupun legalitasnya bertentangan dengan peraturan di atasnya dan peraturan tersebut seharusnya tidak dapat dilaksanakan oleh termohon," jelas anggota Bawaslu DKI Jakarta, Siti Rahman, dalam sidang ajudikasi, Jumat (31/8/2018).
Sejak kapan Bawaslu mempunyai wewenang seperti MA dan MK?
Bawaslu Menjadi "Pahlawan" bagi Mantan Napi Korupsi
Pada intinya, Bawaslu dan juga pihak-pihak yang tidak setuju dengan KPU yang melarang bekas napi korupsi menjadi bakal calon anggota legislatif berpedoman dari sudut pandang hukum formal yang kaku, yaitu bahwa larangan tersebut hanya ada di PKPU sedangkan Undang-Undang Pemilu yang merupakan hukum yang lebih tinggi tidak mengaturnya, maka itu PKPU itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu tersebut, maka itu tidak bisa diterapkan.
Lebih jauh dari Bawaslu berpedoman pula pada ketentuan di dalam UUD 1945 yang mengatur tentang hak asasi manusia, dalam hal ini hak memilih dan dipilih setiap WNI, maka itu mantan napi korupsi yang merupakan bagian dari WNI pun dianggap mempunyai hak yang sama untuk dipilih.
Bawaslu berpendapat, jika KPU hendak melarang mantan napi korupsi mencalon sebagai anggota legislatif maka harus terlebih dahulu diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu, pada perubahan tersebut ditambahkan ketentuan tentang larangan tersebut.
Bawaslu itu lupa, dan hanya fokus kepada hak mantan napi korupsi untuk dipilih, mereka sepertinya lupa kebalikan dari hak para mantan napi korupsi itu ada hak 250 juta rakyat daripada segelintir hak para mantan napi korupsi itu, yaitu hak sebagian besar rakyat Indonesia untuk memperoleh wakil-wakilnya di legislatif yang berkwalitas, bersih, berintegritas tinggi, jujur, bebas dari rekam jejak yang kotor, seperti dan terutama korupsi.
Di semua kasus yang mempertentangkan aparat penegak hukum, terutama KPK melawan para koruptor dan para pendukungnya, masyarakat selalu berpihak kepada KPK, sudah beberapa kali KPK hendak dilemahkan oleh DPR yang nota bene merupakan salah satu sarang koruptor di Indonesia, dengan berbagai cara, tetapi selalu mendapat perlawan keras dari rakyat.
Lihat saja pembicaraan-pembicaraan yang terjadi di media sosial, sebagian besar warga net mendukung KPU melarang mantan napi korupsi untuk bisa menjadi anggota legislatif.
Saat ini di Change.org sedang berlangsung petisi "Tolak Bawaslu Loloskan Koruptor Nyaleg", yang sampai tulisan ini dibuat sudah mencapai lebih dari 244.000 orang yang menandatanganinya. Itu merupakan salah satu indikator penolakan keras dari rakyat terhadap masuknya lagi koruptor ke lembaga legislatif.
DPR dan DPRD merupakan salah satu lembaga sarang koruptor terbesar di Indonesia. Lihat saja bagaimana DPRD Kota Malang membuat rekor mencengangkan bobroknya dengan 41 dari 45 anggotanya telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi penerimaan suap dari Wali Kota Malang non-aktif  Mochamad Anton terkait RAPBD-P 2015 kota Malang. Mochamad Anton sendiri sudah lebih dulu ditahan KPK karena kasus suap tersebut.  Â
Rekor memalukan ini memecahkan rekor sebelumnya yang dipegang DPRD Sumatera Utara, ketika 38 anggotanya periode 2009-2014 dan 2014-2019 pada 3 April 2018 ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka penerima suap RAPBD Jambi dari Gubernur Sumut non-aktif yang kini sudah dipenjara, Gatot Pujo Nugroho.
Di Jambi kita masih menunggu proses penyelidikan dan penyidikan KPK terhadap 53 dari 55 anggota DPRD Provinsi Jambi yang diduga kuat telah menerima suap sejumlah Rp 16 miliar terkait RAPBD 2017 dan 2018 dari Gubernur Jambi non-aktif Zumi Zola. Zumi Zola sendiri telah menjadi tersangka dan ditahan KPK untuk dua kasus korupsi berbeda.
Di DPR, dalam tahun ini saja ada beberapa kasus korupsi besar yang diungkapkan KPK: Ada Ketua DPR Setya Novanto yang ditangkap KPK karena terlibat kasus mega korupsi e-KTP, dan dihukum 15 tahun penjara, ada pula Eni Maulani Saragih, Wakil Ketua Komisi VII DPR yang bersama 8 orang lainnya terkena OTT KPK terkait kasus korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1, yang kemudian juga menyeret mantan Sekjen Partai Golkar, juga mantan Menteri Sosial Idrus Marham. Idrus juga adalah mantan anggota DPR sampai tiga periode.
Di dalam pemeriksaan KPK terhadapnya, Eni juga mengaku uang suap yang diterimanya atas sepengetahuan Ketua Umum Partai Golkar ketika itu Setya Novanto, yang sebagian digunakan untuk Munaslub Golkar 2017.
Sudah sedemikian rusaknya lembaga legislatif akibat ulah para anggota koruptor yang sedemikian banyaknya, sangat mengherankan menyaksikan sikap Bawaslu yang sepertinya tidak peka, seolah tak terpengaruh dengan kondisi destruktif akibat ulah para koruptor itu, dengan hanya berpegang pada aspek hukum formal, menjadi "pahlawan" bagi para koruptor itu untuk bisa menjadi anggota legislatif (lagi).
Sikap Bawaslu yang bersikukuh "membela" para koruptor itu membuat besar kepala M Taufik, anggota DPRD DKI dari Partai Gerindra, yang pernah menjadi napi korupsi karena korupsi dana pengadaan logistik Pemilu di tahun 2004, kini dia berambisi menjadi Ketua DPRD DKI 2019-2024. Ambisnya itu terhalang KPU yang telah mencoret namanya dari daftar bakal calon anggota DPRD DKI Jakarta 2019-2024 karena tidak memenuhi syarat dengan statusnya eks-napi korupsinya itu.
Pada hari ini (Kamis, 6/9/2018), dengan berpegang pada keputusan Bawaslu yang mengabulkan gugatannya kepada KPU, dengan menyatakan ia memenuhi syarat sebagai bakal calon anggota legislatif, Â M Taufik mengultimatum KPU untuk mengembalikan namanya sebagai bakal calon anggota legislatif, atau ia akan menggugat KPU secara pidana, maupun perdata.
Keadaan akan semakin runyam akibat ulah para mantan napi korupsi yang besar kepala itu, jika mereka yang mengalami nasib yang sama dengan M Taufik akan melakukan langkah yang serupa.
Asal tahu saja menurut KPU ada hampir 200 Â mantan napi korupsi yang ditolak pendaftarannya berdasarkan ketentuan di PKPU tersebut, bagaimana jadinya jika mereka semua melakukan gugatan di Bawaslu, dan sebagai konsekuensinya Bawaslu meloloskan mereka semua?
"Diskresi" KPU
Memang benar di dalam Undang-Undang Pemilu 2017 tidak ada ketentuan yang mengatur mantan napi korupsi tidak diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota legislatif seperti yang diatur di PKPU Nomor 20 Tahun 2018.
Pasal 240 huruf  g UU Pemilu menentukan syarat sebagai bakal calon anggota legislatif adalah: Â
g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Sebenarnya ketentuan PKPU yang melarang mantan napi korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif merupakan suatu penjabaran dari jiwa yang terdapat pada ketentuan Pasal 240 huruf g di atas, yaitu bahwa mereka yang pernah dipenjara karena melakukan suatu kejahatan berat (yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih) tidak memenuhi syarat sebagai bakal calon anggota legislatif.
Korupsi adalah suatu kejahatan berat dan luar biasa termasuk di dalam tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih dari lima tahun penjara, patut mendapat perhatian yang sangat khusus, karena meskipun sudah banyak pejabat negara korup yang ditangkap aparat penegak hukum, terutama KPK, tapi tetap saja tak berkurang bahkan cenderung semakin banyak pejabat negara yang melakukan tindak pidana tersebut, termasuk dan terutama di DPR dan DPRD.
Salah satu cara untuk mencegah lembaga legislatif semakin digeregoti oleh para penggarong uang negara itu adalah dengan sedini mungkin membuat filter yang ketat agar lembaga legislatif tidak lagi dimasuki oleh anggota-anggotanya yang bermental korup. Bekas napi korupsi adalah orang-orang yang bermental korup, yang sangat berpotensi mengulangi perbuatan mereka, dan/atau membawa virus korup mempengaruhi anggota lainnya yang sebelumnya tidak pernah korupsi.
Bayangkan saja seandainya tidak ada larangan mantan napi korupsi mencalon diri sebagai anggota legislatif, kelak di kemudian hari sangat bisa seratusan bekas napi korupsi dari bekas anggota DPR,  DPRD Kota Malang, Provinsi Sumut, dan Provinsi Jambi itu yang disebut di atas itu menjadi anggota DPR(D) lagi.
Sekarang saja, dari 41 anggota DPRD Malang tersangka korupsi itu ada 18 di antaranya yang sudah lolos di dalam daftar bakal calon anggota legislatif Kota Malang. Dengan terlibatnya mereka dalam kasus korupsi itu, KPU telah mencoret nama mereka. Repotnya, kecuali bacaleg perempuan, bacaleg laki-laki yang telah dicoret namanya itu secara peraturan tidak bisa diganti oleh parpol-nya masing-masing karena batas waktu penggantian itu sudah lewat. Untuk mengatasinya, diperlukan diskresi dari KPU.
Lihatlah, akibat ulah para anggota DPRD tersangka korupsi itu, semua lembaga yang berkaitan dengan Pemilu dibuat pusing dan repotnya bukan main, tapi Bawaslu, sekali lagi seperti tak merasa terusik dengan terus ngotot dengan sikapnya untuk meloloskan para mantan napi korupsi itu.
Atas dasar pertimbangan hal-hal yang diuraikan tersebut di atas itulah  itulah KPU berinisiatif melakukan semacam "diskresi" dengan menambah syarat untuk menjadi bakal calon anggota legislatif, yaitu bukan mantan napi korupsi, selain juga bukan eks-napi kejahatan seksual pada anak, dan bandar narkoba.
Kalau harus menunggu sampai ada perubahan Undang-Undang Pemilu yang memasukkan ketentuan tersebut, maka pasti yang diuntungkan adalah para mantan napi korupsi itu, dan yang dirugikan adalah rakyat banyak, Pemilu berkwalitas dan berintegritas pun ternoda, dan cita-cita terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik pun terancam.
Jika pun akan ada perubahan Undang-Undang Pemilu tentu tak mungkin bisa terjadi sebelum Pemilu 2019, karena memerlukan waktu yang panjang untuk pembahasannya sampai dengan pengesahannya, batas waktu pendaftaran bakal calon anggota legislatif itu saja sudah berakhir pada 17 Juli 2018 lalu.
**
Frasa "kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana" baru ditambahkan di Undang-Undang Pemilu 2017, yaitu pada Pasal 240 huruf g tersebut di atas, di Undang-Undang Pemilu sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, frasa tersebut tidak ada.
Pasal 51 huruf g UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu):
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Penambahan frasa tersebut sengaja dibuat untuk melonggarkan syarat bagi bekas napi yang pernah dipenjara karena melanggar tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara 5 tahun atau lebih (khususnya korupsi), yaitu dibuka peluangnya lagi untuk bisa mencalonkan diri sebagai anggota legistif dengan cara melonggarkan ketentuan itu dengan syarat mengumumkan dirinya adalah mantan napi (korupsi).
Padahal syarat mengumumkan dirinya sebagai mantan napi itu sesungguhnya tidak efektif bagi para pemilih, terutama di daerah-daerah yang akses informasi dan akses internetnya masih kurang, ditambah lagi kebiasaan mayoritas masyarakat kita yang tidak terbiasa rajin membaca dan mencari informasi sendiri. Maka keberadaan mantan napi di antara para calon anggota legislatif itu sulit diketahui meskipun mereka telah mengumumkan status mereka itu.
Jika mau lebih efektif, seharusnya ketentuan wajib mengumumkan dirinya sebagai bekas napi itu diimplementasikan dengan cara pada foto diri dan data dirinya di pengumuman dan lembaran surat surat dicantumkan saja informasi tersebut, supaya saat mau mencoblos pemilih bisa langsung mengetahuinya.
Tetapi jauh lebih efektif dengan sejak dini menutup pintu kesempatan bagi mereka untuk menjadi anggota legislatif dengan cara seperti yang diterapkan oleh KPU itu.
Dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, maka wajar dan dapat diterima keputusan KPU yang membuat ketentuan tambahan syarat bagi bakal calon anggota legislatif di Pemilu 2019 mendatang. Tentu saja disertai harapan ketentuan ini kelak dimasukkan ke dalam Undang-Undang Pemilu yang baru, agar lebih menjamin kepastian hukum demi mencapai Pemilu yang semakin berkwalitas dengan integritasnya yang semakin tinggi.
Sebab kalau harus menunggu ada perubahan Undang-Undang Pemilu terlebih dahulu, maka itu sudah terlalu terlambat untuk upaya preventif membersihkan lembaga legislatif dari virus-virus korupsi sejak dini, berarti untuk Pemilu 2019, kita memberi kesempatan lagi kepada para mantan napi korupsi itu untuk menjadi anggota legisltaif mewakili kita, padahal nyata-nyata kita tahu mereka bermental korup.
Sesungguhnya, bukankah Undang-Undang itu dibuat untuk rakyat, dan bukan sebaliknya rakyat untuk Undang-Undang?
 Setiap Undang-Undang dibuat untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu isi setiap Undang-Undang harus mengakomodasikan kepentingan rakyat terkini sesuai dengan perkembangan sosial dan hukum yang terjadi.
Kepentingan rakyat saat ini adalah kehendak agar lembaga legislatif yang selama ini dikenal sebagai salah satu "sarang koruptor" dibersihkan dari anggotanya yang bermental koruptor.Â
Mantan napi korupsi dianggap sebagai orang yang bermental demikian. Meskipun telah keluar dari penjara, potensi mereka melakukan kejahatan serupa besar, bahkan belajar dari pengalamannya, kejahatan korupsi itu bisa mereka lakukan secara lebih canggih agar tak mudah diketahui. Mental korupsi itu juga bisa ditularkan kepada anggota legislatif lainnya.
Selain itu, adanya larangan tersebut menjadi sebagai peringatan keras bagi siapa saja untuk tidak korupsi, jika tak ingin peluangnya menjadi anggota legislatif hilang.
Masalah formal bahwa Undang-Undang Pemilu yang sekarang berlaku tidak ada ketentuan tersebut, sesungguhnya lebih disebabkan karena Undang-Undang tersebut tertinggal dalam mengakomodasikan kepentingan rakyat terkini. Untuk merevisi Undang-Undang tersebut memerlukan waktu relatif lama, harus dibahas di DPR bersama pemerintah, dan seterusnya, sehingga mustahil bisa memenuhi tujuan agar lembaga legislatif mulai periode 2019-2024 bersih dari eks napi korupsi.
Untuk mengatasi kendala formalitas hukum itulah KPU melakukan semacam "diskresi" Â dengan cara melakukan penjabaran maksud substansial dari ketentuan Pasal 240 huruf g Undang-Undang pemilu 2017 Â dengan menetapkan tambahan syarat untuk bakal calon anggota legislatif adalah mereka yang bukan mantan napi korupsi, kejahatan seksual pada anak, dan bandar narkoba.
"Diskresi" tersebut bukan cara yang salah untuk mencapai tujuan yang baik, melainkan cara yang benar untuk mencapai tujuan yang baik. Hal ini jauh lebih baik daripada menempuh cara yang benar secara formal, patuh pada ketentuan hukum tertulis meskipun tidak lagi akomodatif dengan kepentingan rakyat, akibatnya justru mendapat hasil yang buruk, lembaga legislatif kita bisa bertambah buruk dengan bebas masuknya para mantan napi korupsi tiu.
Seharusnya Bawaslu Menggugat KPU ke MA
Apabila Bawaslu tidak setuju, dan menganggap ketentuan PKPU yang melarang bekas napi korupsi menjadi bakal calon legislatif itu bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu 2017, maka langkah yang konstitusional adalah Bawaslu harus melakukan gugatan ke MA untuk dilakukan uji materi terhadap ketentuan itu, bukan justru berlagak menjadi MA, apalagi sekaligus berlagak menjadi MK, dengan jelas UU Pemilu menentukan demikian, yaitu pada Pasal 76 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 76:Â
(1) Dalam hal Peraturan KPU diduga bertentangan dengan Undang-Undang ini, pengujiannya dilakukan oleh MahkamahAgung
(2) Bawaslu dan/atau pihak yang dirugikan atas berlakunya Peraturan KPU berhak menjadi pemohon untuk mengajukan pengujian kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Peraturan KPU diundangkan.
(4) Mahkamah Agung memuhrs penyelesaian pengujian Peraturan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.
(5) Pengujian Peraturan KPU oleh Mahkamah fuung, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H