Sedemikian banyaknya mantan napi korupsi tetap mendaftarkan diri (melalui parpol-nya masing-masing) untuk menjadi bakal calon anggota legislatif (yang dicoret KPU karena dinilai tidak memenuhi syarat) membuktikan bahwa parpol-parpol tersebut ternyata tidak mempunyai integritas, betapa tidak, mereka dengan mudahnya melanggar komitmen mereka sendiri yang sudah ditandatangani di pakta integritas itu.
Pakta integritas itu merupakan suatu komitmen parpol bahwa mereka tidak akan mengajukan kader-kadernya yang mantan napi korupsi sebagai bakal calon anggota legislatif di Pemilu 2019.Â
Namanya saja "pakta integritas", maka seharusnya  mereka bisa  berpegang teguh pada komitmennya itu, sebagai suatu bukti adanya integritas dari setiap parpol bahwa mereka akan setia, konsisten dan konsekuen dengan komitmen itu. Kalau parpol ingkar janji berarti mereka tak punya integritas, tidak kredibel, dan seharusnya tidak ada gunanya menandatangan pakta itu, sekaligus melanggar PKPU.
Iriawan Hartana, CEO Orang Tua Group mengatakan: "Integritas merupakan salah satu atribut terpenting atau kunci yang harus dimiliki seorang pemimpin.Â
Integritas adalah suatu konsep berkaitan dengan konsistensi dalam tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi dan berbagai hal yang dihasilkan. Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur dan memiliki karakter kuat, tidak pernah korupsi."
Seharusnya Bawaslu berpatokan pada pakta integritas tersebut untuk menolak setiap gugatan terhadap KPU dari para mantan napi koruptor, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, Bawaslu dalam putusannya mengabulkan permohonan para mantan napi korupsi itu mengabaikan eksistensi pakta integritas itu, padahal pakta integritas itu juga mereka terima langsung dari parpol.
Rupanya, bagi Bawaslu pakta integritas itu hanya formalitas semata, buktinya meskipun sudah ditandatangani pimpinan parpol, tetapi ketika  tidak dipenuhi, bukan masalah bagi Bawaslu. Padahal di ketentuannya disebutkan bahwa pakta itu dibuat untuk dilaksanakan. Kalau pakta integritas itu dibuat tetapi tidak dilaksanakan, untuk apa pakta itu dibuat?
Sikap Bawaslu ini sangat bertentangan dengan salah satu prinsip dasar Pemilu, yakni Pemilu harus merupakan Pemilu berintegritas (electoral integrity), dan bertentangan pula dari tujuan Pemilu itu, yakni terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Hanya Pemilu yang berintegritas yang dapat menghasilkan tata kelola pemerintahan yang berintegritas pula.
Sikap Bawaslu itu membuat seolah-olah kesepakatan untuk menghilangkan ketentuan Pasal 7 huruf h tersebut di atas dan diganti dengan ketentuan tentang pakta integritas itu hanya merupakan suatu "jebakan batman" bagi KPU.
Hal itu diutarakan sendiri oleh Ketua Bawaslu, Abhan ketika membantah pihaknya menafsirkan seenaknya PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tersebut.
"Kami bukan interpretasi sendiri. Coba dibaca, PKPU 20 itu di Pasal 7 tidak ada syarat persoalan napi korupsi itu tidak ada. Persis itu di Undang-Undang (Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu)," kata Abhan di Gedung Bawaslu, Jakarta, 31/8/2018.