Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lobi-lobi Arief Hidayat ke DPR Justru Menunjukkan Ia Tak Layak Menjadi Hakim Konstitusi

5 Desember 2017   22:22 Diperbarui: 6 Desember 2017   07:47 4330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (Tribunnews.com)

Pada 20 Juli 2017, kelompok masyarakat yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK  (di dalamnya ada ICW dan pegawai KPK) bersama dengan mantan pimpinan KPK, Busyro Muqoddas mendaftarkan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan Pasal 79 Ayat 3 dan Pasal 199 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) terkait dengan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR terhadap KPK.

Koalisi Penyelamat KPK itu ingin MK mengabulkan permohonan uji materi itu dengan memutuskan bahwa pembentukan Pansus Hak Angket tidak memenuhi ketentuan Pasal 79 ayat 3 dan Pasal 199 ayat 3 UU MD3 2017, dan oleh karena itu Pansus tidak sah, dan tidak berwenang memeriksa KPK. Karena KPK adalah lembaga penegak hukum yang independen, tidak berada di bawah Presiden, dan bukan bagian dari pemerintah (eksekutif), sedangkan ketentuan kedua pasal tersebut mengenai kewenangan DPR menggunakan Hak Angket untuk memeriksa kebijakan dan keputusan Presiden dan para bawahannya (eksekutif).

Namun sampai sekarang MK belum juga memutuskan apakah mengabulkan permohonan uji materi itu ataukah tidak. Padahal keputusan tersebut sangat dinantikan karena sangat penting untuk memastikan status Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK itu.

Sampai sekarang DPR bersikeras mereka berwenang memeriksa KPK, oleh karena itu Pansus Hak Angket itu sudah beberapakali memanggil para pimpinan KPK untuk diperiksa di sidang Pansus, tetapi tidak satu pun yang dipenuhi pimpinan KPK, dengan alasan mereka masih menunggu keputusan uji materi tersebut oleh MK.

Kita pun sebenarnya tahu  apa sesungguhnya di balik pembentukan Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK itu, yaitu karena KPK sedang membongkar kasus mega korupsi KTP-el yang diduga dilakukan oleh sebagian besar anggota DPR Komisi II periode 2009-2014 (bersama pejabat-pejabat Kementerian Dalam Negeri, dan pihak swasta)  -- yang di antara mereka, banyak juga yang masih menjadi anggota DPR periode sekarang, dengan salah satu pentolannya yang sudah menjadi tersangka dan ditahan KPK,  Setya Novanto (sekarang Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar)

Pembentukan Pansus Hak Angket terhadap KPK itu sesungguhnya adalah modus DPR melakukan serangan balik kepada KPK yang sedang mengusut kasus mega korupsi KTP-el yang diduga dilakukan mereka itu dengan harapan dapat melemahkan, atau lebih baik lagi kalau bisa sekalian membubarkan KPK, sehingga dengan demikian selamatlah mereka semua dari incaran KPK.

Dengan latar belakang demikian, maka kita pun patut bertanya-tanya, kenapa sampai sekarang, MK belum juga memutuskan permohonan uji materi yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK itu.

Lebih spesifik lagi, kita ingin MK berpihak kepada upaya pemberantasan korupsi, dengan mengabulkan permohonan uji materi tersebut, karena memang demikian ketentuan hukumnya (bahwa Hak Angket hanya bisa digunakan DPR terhadap pemerintah/Presiden dan para bawahannya).

Jika MK mengabulkan permohonan uji materi Koalisi itu, maka berarti DPR dengan Pansus-nya itu tidak lagi punya landasan hukum untuk memeriksa (baca: melemahkan) KPK, sehingga KPK pun bisa benar-benar fokus menuntaskan pengusutan kasus mega korupsi KTP-el itu.

(Baca: DPR vs KPK, Kejarlah Daku, Kau Kutangkap)

Lalu, kenapa sampai sekarang MK belum juga memutuskan permohonan uji materi Koalisi tersebut, seolah-olah MK sengaja mengulur-ulurkan waktu untuk suatu kepentingan tertentu?

Ternyata, sumbernya ada pada sosok Arief Hidayat, sang Ketua MK.

Pada akhir November 2017 lalu, terungkap Arief Hidayat telah menulis surat kepada DPR, dan melakukan lobi-lobi kepada para pimpinan fraksi di DPR agar dia dipilih kembali sebagai hakim konstitusi (masa jabatannya akan berakhir pada 1 April 2018). Imbalannya: garansinya, MK akan menolak permohonan uji materi kewenangan Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK itu.

Saat melakukan lobi-lobinya di DPR itu, Arief juga disebut beberapakali menyampaikan ancaman terselubungnya kepada DPR, bahwa jika ia tidak dipilih kembali sebagai hakim konstitusi, maka ia tidak bisa menjamin MK akan menolak permohonan uji materi tersebut.

Seolah-olah untuk membuktikan kepada DPR bahwa ia punya pengaruh kuat dalam putusan MK, dengan menggunakan kewenangannya sebagai Ketua MK, Arief telah memutuskan menolak permohonan putusan provisi (putusan sela) yang diajukan oleh Koalisi. Permohonan provisi itu meminta MK memerintahkan kepada DPR untuk menghentikan sementara sidang Pansus Hak Angket sampai ada putusan tentang permohonan uji materi tersebut.

Pada 5 September 2017, saat memimpin sidang tentang permohonan uji materi itu, Arief mengatakan putusan provisi itu belum bisa diputuskan karena MK harus mendengar juga keterangan dari DPR.

Pada 6 September 2017, Arief memimpin delapan hakim konstitusi dari seharusnya sembilan untuk  mengadakan rapat membahas dan memutuskan permohonan provisi tersebut. Satu hakim konstitusi, yaitu Saldi Irsa tidak hadir karena sedang naik haji.

Pasal 48 ayat 3-6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK 2003) mengatur bahwa putusan MK harus diambil berdasarkan musyawarah-mufakat.

Apabila putusan tidak dapat diambil berdasarkan musyawarah mufakat, maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak (ayat 7).

Dalam rapat itu, empat hakim konstitusi menerima permohonan provisi itu, sedangkan empat hakim lainnya yang semua pilihan DPR termasuk Arief Hidayat menolak.

Rapat itu gagal mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, karena jumlah yang menolak dengan yang menerima sama banyaknya: 4- 4.

Maka berlakulah Pasal 45 ayat 8 UUMK, yang mengatur:

Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.

Arief Hidayat sebagai ketua sidang pleno itu pun memutuskan sesuai dengan putusannya semula, yaitu menolak permohonan provisi dari Koalisi itu.

Padahal sebagai Ketua MK, jika ia mau, Arief bisa saja menunggu kepulangan Saldi Irsa dari naik hajinya supaya ada sembilan hakim konstitusi yang membahas tentang permohonan provisi itu, dengan demikian putusannya dapat diambil berdasarkan suara terbanyak.

Dengan caranya itu, Arief Hidayat pun telah menunjukkan pengaruhnya kepada DPR dalam menentukan suatu putusan MK dalam kondisi tersebut di atas.

Maka tak heran, ketika Arief Hidayat berkirim surat yang diikuti dengan lobi-lobinya kepada sejumlah anggota Komisi Hukum, dan para pimpinan fraksi di DPR, meminta DPR mempercepat uji kelayakan calon hakim konstitusi dengan calon tunggal, yaitu dia sendiri, DPR pun menyambutnya dengan sangat antusias.

Setelah masa reses, sebelum memasuki masa sidang lagi, pada November lalu, Komisi Hukum mengadakan rapat di Hotel MidPlaza, Jakarta Pusat. Rapat seperti itu biasa dilakukan untuk menentukan prioritas pembahasan yang akan dilakukan DPR di dalam rapat-rapat Komisi nantinya.

Salah satu hal penting yang dibahas di rapat itu adalah tentang surat dan lobi-lobi Arief Hidayat yang meminta ia dipilih kembali lewat formalitas uji kelayakan dan kepatutan di DPR.

Dalam rapat itu, Trimedya Panjaitan dari PDIP mengemuka hal pentingnya DPR memenuhi keinginan Arief untuk dipilih kembali menjadi hakim konstitusi, karena Arief berjanji, jika ia dipilih kembali, maka ia berani memberi garansi mampu mempengaruhi MK untuk menolak permohonan uji materi kewenangan Pansus DPR menyelidiki KPK yang dimohonkan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK itu.

Mendengar adanya janji tersebut, peserta rapat itu meminta Arief diundang ke rapat itu saat itu juga, agar mereka bisa memastikan dengan mendengar langsung janji itu keluar dari mulut Arief sendiri.

Arief pun memenuhi undangan itu, ia datang ke rapat tersebut dan mengkonfirmasi dan mengulangi lagi janjinya itu di hadapan peserta rapat.

Maka, pada 23 November 2017, Kepala Sekretariat Komisi Hukum DPR Tri Budi Utami mengirim surat kepada semua anggota Komisi untuk menghadiri rapat yang dijadwalkan empat hari kemudian, untuk membahas tentang uji kelayakan hakim konstitusi pengganti Arief, dengan calon tunggal, yaitu Arief Hidayat sendiri.

Tapi rencana itu tidak berjalan mulus. Sejumlah anggota DPR yang tidak setuju, melakukan protes, akhirnya rapat uji kelayakan untuk Arief Hidayat itu tak jadi dilakukan, ditunda untuk jangka waktu yang belum ditentukan.

Desmond Mahesa dari Gerindra menuding Ketua Komisi Trimedya Panjaitan memutuskan secara sepihak untuk mengadakan rapat tersebut, sedangkan Trimedya mengatakan rapat uji kelayakan itu sudah sesuai dengan mekanisme, tanpa bisa menyebutkan mekanisme yang mana.

Padahal sangat jelas latar belakang lobi Arief Hidayat, dan motivasi DPR memenuhi kehendak Arief itu sangat tidak etis, melanggar Kode Etik MK, melanggar hukum, sangat kental nuansa koruptif, kolusi, dan nepotismenya (KKN), karena ujung-ujungnya adalah kehendak untuk melemahkan/membubarkan KPK, padahal KPK sedang intens mengusut kasus mega korupsi KTP-el.

Ini juga menjadi ada semacam konspirasi jahat terselubung antara dua pihak yang saling membutuhkan dengan menyalahgunakan jabatannya dan menjadikan lembaga negara sebagai fasilitasnya.

Di satu pihak Arief Hidayat terkesan sangat gila jabatan/kuasa, sehingga demi mencapai itu dia rela menggadaikan kewenangannya sebagai Ketua MK ke DPR yang ia tahu berkepentingan melemahkan/membubarkan KPK.

Di pihak lainnya, DPR sangat memerlukan Arief Hidayat agar mau menggunakan kewenangan dan pengaruhnya sebagai Ketua MK membuat MK melakukan putusan yang menguntungkan mereka dalam melawan KPK.

Kebetulan ada permohonan uji materi kepada MK tentang keabsahan dan kewenangan Pansus Hak Angket DPR memeriksa KPK.

Arief Hidayat tahu, DPR sangat mengandalkan Pansus itu, karena itu mereka sangat ingin MK menolak permohonan uji materi oleh Koalisi itu, agar dengan demikian berarti Pansus berwenang memeriksa KPK, Pansus akan memanggil lagi para pimpinan KPK untuk diperiksa, dan berdasarkan keputusan MK itu, pimpinan KPK wajib memenuhi panggilan itu. Dari situlah nanti serangan-serangan ke jantung pertahanan KPK dilakukan.

Sebaliknya, jika MK memenuhi permohonan uji materi itu, maka berarti Pansus itu tidak sah dan tidak berwenang memeriksa KPK.

Dengan latar belakang itulah, Arief pun melobi DPR agar mau memilihnya kembali sebagai hakim konstitusi dengan imbalan MK dijamin akan menolak permohonan  uji materi itu.

Selain, bukan tak mungkin motivasi Arief Hidayat "bekerjasama" dengan DPR itu juga karena pertimbangan bahwa selama ini sudah dua hakim konstitusi yang diciduk KPK, yaitu mantan Ketua MK Akil Muchtar, dan mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar, supaya jangan sampai ada hakim konstitusi yang ketiga dan seterusnya diciduk KPK, adalah baik juga memberi jalan kepada DPR untuk melemahkan KPK.

Beginilah yang terjadi jika lembaga-lembaga tinggi negara yang begitu strategis diisi oleh pejabat-pejabat berintegritas rendah. Jabatan tinggi di lembaga tinggi negara justru dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan golongannya.

Majalah Tempo yang pertama kali menulis informasi tentang lobi Arief Hidayat ini. Ketika ia dihubungi Tempo untuk diminta konfirmasinya, Arief tak bersedia, alasannya kalau hanya lewat telepon, tanggapan-tanggapannya akan membuat gaduh, jadi, lebih baik saat bertemu muka saja, ia akan memberi tanggapannya.

Ketika diminta konfirmasi tentang lobi-lobi Arief Hidayat di DPR itu, Ketua Komisi Hukum Trimedya Pandjaitan dari PDIP tidak membantahnya. Ia malah mengatakan, di lembaga seperti DPR, lobi-lobi politik untuk mempertahankan jabatan bukan hal yang buruk sepanjang tak memakai duit. Padahal kekuasaan yang diperoleh dari lobi-lobi yang disebut tanpa duit itu berpotensi besar menimbulkan hutang budi politik, yang pada gilirannya melahirkan politik transaksional, "penegakan hukum balas budi", dan melahirkan pejabat-pejabat yang koruptif.

Mengenai Ketua MK Arief Hidayat yang melakukan lobi-lobi ke DPR untuk dipilih kembali itu jelas sudah melanggar beberapa kode etik jabatan hakim konstitusi.

Dalam Kode Etik Hakim Konstitusi, mengenai "Prinsip Independensi", diatur:

Butir Satu: Hakim konstitusi harus menjaga independensi dari pengaruh eksekutif, legislatif, dan lembaga negara lainnya.

Dengan lobi-lobinya itu apakah mungkin seorang hakim konstitusi seperti Arief itu bisa menjaga independensi dan bebas pengaruh dari legislatif (DPR)?

Butir Keenam: Hakim Konstitusi harus menjaga dan menunjukkan citra independen serta memajukan standar perilaku yang tinggi guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah.

Dengan lobi-lobinya itu dapat dikatakan standar perilaku seorang Arief Hidayat berada di bawah standar, dan tak mungkin bisa dipercaya masyarakat.

Sedangkan Kode Etik hakim konstitusi tentang "Prinsip Kepantasan dan kesopanan":

Butir Kesatu: Hakim konstitusi harus menghindari perilaku dan citra yang tidak pantas dalam segala kegiatan.

Dengan lobi-lobinya itu Arief Hidayat terbukti tidak bisa menghindari perilaku dan citra yang tidak pantas dalam segala kegiatan.

Cara Arief Hidayat dan DPR melakukan percepatan uji kelayakan untuk memilih kembali Arief Hidayat tersebut di atas melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang mewajibkan adanya transparansi dan partisipatif masyarakat.

Hakim konstitusi diajukan oleh masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Pasal 18 ayat 1);

Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif (Pasal 19), dengan cara mengumumkan semua calon hakim konstitusi di media massa agar masyarakat punya kesempatan memberi penilaian dan masukan atas calon-calon itu.

Sebagai seorang hakim konstitusi yang juga Ketua MK, sikap Arief Hidayat yang tidak  patut itu bukan baru pertama kali ini saja terjadi.

Pada April 2015, Arief Hidayat juga pernah menulis sebuah memo katebelece bernada nepotisme yang ditulis di selembar blocknoteberkop Mahkamah Konstitusi plus sebuah kartu namanya bertuliskan namanya dengan jabatannya sebagai Ketua MK: "Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. Jabatannya: Chief Justice."

Memo itu ditujukan kepada Widyo Pramono, saat itu Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (sekarang Jaksa Agung Muda Pengawasan) di Kejaksaan Agung.

Pada poin pertama memo Arief menulis bahwa karya ilmiah Widyo sudah dinilainya, dan pada poin kedua Arief meminta Widyo untuk memeperhatikan secara khusus familinya yang bernama M. Zainur Rochman, Kepala Seksi Perdata di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur. "Mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak," demikian tulisnya, dan ditandatangani dengan menulis nama Arief Hidayat.

Berikut yang ditulis Arief Hidayat di memonya itu:

Kepada

Yth. Bp. Dr. R. Widyo Pramono, S.H., M.M., M.Hum.

di Kejaksaan Agung RI

Jakarta

1. Bersama ini saya haturkan lembar penilaian karya ilmiah Bp. Sudah saya lakukan penilaian. Dengan harapan dan doa semoga dapat tercapai dan dikabulkan oleh Allah SWT.

2. Saya harapkan famili saya yg (tidak terbaca) berkas ini bernama M. Zainur Rochman, S.H. (tidak terbaca) adalah jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek dengan jabatan Kasi Perdata, dengan pangkat jaksa pratama/penata muda IIIC. Mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak.

3. Terima kasih.

(Paraf)

Arief Hidayat

Memo katebelece Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat yang sempat heboh di akhir 2015 (Tempo.co)
Memo katebelece Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat yang sempat heboh di akhir 2015 (Tempo.co)
Ketika memo katebelece itu terkuak di bulan Desember 2015, saat dikonfirmasi media, Arief sempat membantahnya.  Kata dia, dia tidak pernah menulis memo seperti itu. Belakangan barulah dia mengakuinya, tetapi membantah itu merupakan katebelece nepotisme.

Dewan Etik Mahkamah Konstitusi pun menyidangkan kasus etik Arief Hidayat itu. Hasilnya diputuskan pada 29 April 2016, menyatakan Arief Hidayat terbukti melakukan pelanggaran kode etik hakim konstitusi butir kedelapan tentang kepantasan dan kesopanan sebagai hakim konstitusi.

Tetapi, sanksi yang dijatuhkan kepadanya super ringan, hanya teguran lisan.

Alasan dewan Etik hanya memberi sanksi super ringan itu, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, Arief tidak terbukti menyalahgunakan jabatannya sebagai ketua MK. Dewan hanya berkesimpulan Arief tak berhati-hati karena memo yang ditulisnya dapat ditafsirkan berbeda.

Sekarang, kita menanti bagaimana tindakan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi menyikapi kasus baru pelanggaran kode etik Andi Arief ini, yang jauh lebih serius daripada memo katebelece di tahun 2015 itu.

Selain itu, ICW mencatat sekurang-kurangnya ada 5 putusan MK yang berpotensi mengancam pemberantasan korupsi di era Arief Hidayat, yaitu: Pertama, MK memperluas obyek praperadilan. Kedua, mantan narapidana dapat mengikuti pilkada. Ketiga, larangan jaksa mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan berkekuatan hukum tetap. Keempat, mantan terpidana korupsi dapat mengikuti pilkada. Kelima, penghapusan pidana pemufakatan jahat dalam perkara korupsi (detik.com).

Dengan melihat sepak terjang Arief Hidayat yang melanggar etika tersebut jelaslah ia bukan sosok yang arif, sehingga ia juga bukan merupakan hidayat (pemberian yang baik) untuk menjadi hakim konstitusi, apalagi Ketua Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu tanpa perlu melakukan uji kelayakan dan kepatutan, dengan sendirinya dia sudah menunjukkan dirinya sendiri bahwa dia sangat tidak layak dan patut menjadi hakim konstitusi. *****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun