Dengan lobi-lobinya itu Arief Hidayat terbukti tidak bisa menghindari perilaku dan citra yang tidak pantas dalam segala kegiatan.
Cara Arief Hidayat dan DPR melakukan percepatan uji kelayakan untuk memilih kembali Arief Hidayat tersebut di atas melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang mewajibkan adanya transparansi dan partisipatif masyarakat.
Hakim konstitusi diajukan oleh masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Pasal 18 ayat 1);
Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif (Pasal 19), dengan cara mengumumkan semua calon hakim konstitusi di media massa agar masyarakat punya kesempatan memberi penilaian dan masukan atas calon-calon itu.
Sebagai seorang hakim konstitusi yang juga Ketua MK, sikap Arief Hidayat yang tidak  patut itu bukan baru pertama kali ini saja terjadi.
Pada April 2015, Arief Hidayat juga pernah menulis sebuah memo katebelece bernada nepotisme yang ditulis di selembar blocknoteberkop Mahkamah Konstitusi plus sebuah kartu namanya bertuliskan namanya dengan jabatannya sebagai Ketua MK: "Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. Jabatannya: Chief Justice."
Memo itu ditujukan kepada Widyo Pramono, saat itu Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (sekarang Jaksa Agung Muda Pengawasan) di Kejaksaan Agung.
Pada poin pertama memo Arief menulis bahwa karya ilmiah Widyo sudah dinilainya, dan pada poin kedua Arief meminta Widyo untuk memeperhatikan secara khusus familinya yang bernama M. Zainur Rochman, Kepala Seksi Perdata di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur. "Mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak," demikian tulisnya, dan ditandatangani dengan menulis nama Arief Hidayat.
Berikut yang ditulis Arief Hidayat di memonya itu:
Kepada
Yth. Bp. Dr. R. Widyo Pramono, S.H., M.M., M.Hum.