Mereka benar-benar diisolasi, hanya diizinkan dikunjungi oleh satu orang dalam satu tahun, dan hanya diperbolehkan menerima sepucuk surat setiap enam bulan sekali.
Satu-satunya kegiatan mereka dipenjara adalah secara rutin memecahkan batu, batu besar, menjadi batu-batu kecil, sampai menjadi kerikil-kerikil, setiap hari, selama bertahun-tahun. Namun Mandela tidak pernah jemu, tidak pernah merasa tidak berharga.
Batu-batu besar pecah. Tapi tidak demikian halnya semangat Mandela. Semangat Mandela tetap menyala. Semangat itulah yang telah menjadi kekuatan hidupnya; atau bahkan semangat itulah yang telah menghidupinya. Kebesaran hatinya dan semangat besarnya itulah yang ia bawa keluar penjara ketika dibebaskan. Ia keluar penjara tidak dengan sakit hati; tidak dengan dendam; tidak dengan sumpah serapah, tidak dengan semangat untuk membalas; tidak pula dengan semangat untuk membenci, mencaci maki, atau mengfitnah.
Mandela keluar dari penjara dengan tetap mengusung dan menghidupi impiannya untuk melahirkan sebuah negara baru di Afrika Selatan; negara yang tidak memberlakukan diskriminasi; negara yang memperlakukan semua rakyatnya sama hak dan kewajibannya, sama di depan hukum, dan negara yang menghormati manusia sebagaimana adanya, sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Saya pun mengakhiri surat saya kepada Ahok itu dengan mengutip syair sebuah lagu rohani, yang berjudul: Indah pada Waktunya.
Ada waktu untuk berduka
Ada waktu untuk bersuka
Ada waktu untuk berdiam
Ada waktu untuk berkata
Namun di atas segalanya
Ku tau Allah-ku bekerja
Mendatangkan kebaikan
Bagi yang mengasihi-Nya
Di saat yang kualami
Tak seperti yang kuingini
Di saat tiada jawaban
Mengapa harus terjadi
Namun di atas segalanya
Ku tau Allah-ku bekerja
Mendatangkan kebaikan
Bagi yang mengasihi-Nya
Mungkin tak kupahami
Apa yang kini aku alami
Namun ku tau pasti
Kasih Allah-ku tak 'kan berhenti
'Kan ku srahkan semua
Pergumulanku pada-Mu Yesus
Karna kutau pasti
Semuanya 'kan jadi indah pada waktunya.