Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tamasya Al-Maidah, Ketika Anies Berada di Kubu "Sana"

19 April 2017   08:54 Diperbarui: 19 April 2017   12:12 1730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan saat mengunjungi markas besar FPI, di Petamburan, Jakarta Pusat, 1 Januari 2017 (Tempo.co)

Ketika kunjungannya ke markas besar Front Pembela Islam (FPI),  di Petamburan, Jakarta Pusat, pada 1 Januari 2017, dikecam banyak orang, Anies Baswedan  membela dirinya dengan mengatakan, Jakarta membutuhkan sosok pemimpin pemersatu, bukan pemecah belah. Pemimpin yang mampu menjadi jembatan seluruh kalangan di Jakarta (maksudnya, seperti dia).

"Mereka (FPI) tetap warga Jakarta dan silaturahmi ke sesama warga Jakarta tidak ada masalah kan? Kita harus berhenti mengkotak-kotakkan dan bersatu demi kemajuan Jakarta," ujarnya seolah-olah orang bijaksana.

Argumen itu sangat bertolak belakang dengan ketika ia menjadi bagian dari tim pemenangan Jokowi di Pilpres 2014. Ketika itu, dia mengecam capres Prabowo Subianto, yang merangkul ormas-ormas radikal, seperti FPI, demi bisa mendapat suara sebanyak-banyaknya.

Ketika itu (29/06/2014), Anies berbicara mengenai beberapa hal yang menurutnya membuat Prabowo tidak layak menjadi pimpinan bangsa ini, salah satunya adalah karena demi bisa menjadi presiden dia justru merangkul ormas-ormas ekstremis seperti FPI.

Sekarang, Anies sendiri melakukan persis dengan apa yang pernah dilakukan Prabowo ketika itu, bahkan melebihinya: Demi bisa menjadi gubernur, dia yang katanya pendukung pluralisme, perajut kebhinekaan, bersekutu dengan ormas-ormas ekstremis seperti FPI, FUI, dan HTI.

Anies bukan hanya bersekutu dengan FPI, tetapi juga terkesan memuja pimpinannya, Rizieq Shihab, dengan beberapakali mengungkapakan pernyataan yang mengagungkannya, Rizieq disebut Anies sebagai guru dan Imam Besar Umat Islam.

Padahal, kita semua sudah tahu, siapakah “guru” Anies Baswedan itu: yang sejak lama sudah sangat sering memprovokasi dan menyebarkan kebencian SARA dengan ceramah-ceramahnya kepada para pengikutnya, tak terhitung banyaknya caci-maki dan penghinaannya terhadap lambang dan simbol-simbol: negara Pancasila, uang NKRI, Presiden Jokowi dan menteri-menterinya, Ahok yang nota bene juga adalah seorang pejabat tinggi negara, menyerukan pembunuhan terhadap Ahok, pendeta-pendeta, dan sebagainya. Terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu di sini.

Dan, mencapai puncaknya di Pilgub DKI Jakarta 2017 sampai di putaran keduanya, yang hari ini memasuki hari pencoblosan penentuan finalnya: Siapa pemenangnya, siapa gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017-2022.

Rizieq Shihab Berupaya Mensukseskan Tamasya Al-Maidah

Aksi Rizieq Shihab, guru-nya Anies Baswedan itu, yang terbaru adalah saat dia berceramah di Masjid Sunan Ampel, Surabaya, Selasa, 11 April 2017 lalu. Pada kesempatan itu, Rizieq memprovokasi umat Islam Jawa Timur, khususnya di Surabaya, dan Madura, agar turut mensukseskan Tamasya Al-Maidah dengan berbondong-bondong ke Jakarta, untuk bergabung dengan massa umat Islam dari berbagai daerah lainnya, untuk ikut bertempur di Pilgub DKI Jakarta demi menggagalkan “si kafir” dan “si penista agama”,  Ahok, menjadi gubernur lagi.

Dalam provokasinya itu, Rizieq menyebutkan: Pilgub DKI  Jakarta kali ini sebagai suatu ajang pertempuran antara yang haqdengan yang bhatil.Antara ulama yang istiqomah dengan umaro (pimpinan) yang mendukung penista agama, yang dimodali oleh para konglomerat kafir.

Umat Islam, dikatakan Rizieq, harus melawan semua perangkat negara yang mendukung Ahok, melawan para konglomerat kafir yang dikenal dengan sebutan “sembilan naga”, yang mendanai Ahok, melawan oknum-oknum polisi dan TNI, yang telah dibeli para konglomerat itu.

Calon gubernur muslim (Anies) akan memperoleh kemenangan sampai 80 persen, calon gubenrnur muslim tidak mungkin bisa kalah, kecuali dicurangi oleh kekuatan-kekuatan besar di belakang si kafir itu.

Para pemodal pendukung Ahok itu dituduh Rizieq, sudah keluar uang triliun Rupiah untuk memenangkan Ahok, sehingga jika Ahok kalah, mereka pasti tidak terima, dan akan membuat Jakarta kacau, untuk menggagalkan kemenangan gubernur muslim itu.

Untuk menghadapi kekuatan-kekuatan itu, maka FPI dan kawan-kawannya telah mempersiapkan jawara-jawara dari Jakarta, dari Jawa Barat, dan dari Banten, dan kini ia meminta jawara-jawara dari Madura juga ikut bergabung di Jakarta. Mereka diminta datang ke Jakarta untuk berjihad, engan terlebih dulu membuat surat wasiat.

Preman-preman, dan mafia-mafia yang dibayar para konglomerat itu, kata Rizieq, jika dalam quick count menyatakan kita menang, akan menyerbu ke kantor kecamatan, atau kantor kelurahan untuk membakar barang bukti pemenangan calon kita. Kita akan hadapi mereka!

Maka itu, seru Rizieq, yang punya nyali, ayo, datang ke Jakarta, dan tulis surat wasiatnya untuk keluarga. Yang tidak bisa datang, bantu dengan doa, untuk merebut kembali Jakarta.

“Ada yang mengatakan, habib ini Surabaya, kenapa bicara Jakarta?”

“Jakarta adalah ibukota yang harus seluruh warga Indonesia peduli termasuk orang Surabaya, betul? (disambut suara umat serentak: ‘Betul!’). Arek-Arek Suroboyo, siap ke Jakarta?! (‘Siap!’). Siap bela umat Islam?! (‘Siap!’). Siap jaga Jakarta?! (‘Siap!’).

Saya mau tanya, kalau Jakarta diganggu siap lawan? (‘Siap!’). Siap habisi mereka? (‘Siap!’). Ayo, bangun semua! Angkat tangannya! Takbir! (‘Allahu Akbar!’), takbir (‘Allahu Akbar!’)!, takbir (‘Allahu Akbar!’)!”

Demikianlah cara Rizieq Shihab dalam upayanya untuk mensukseskan aksi “Tamasya Al-Maidah” itu, suatu aksi politik berkedok agama, dan berkedok demokrasi untuk mencegah Ahok terpilih kembali menjadi gubernur DKI Jakarta, dengan cara memobilisasi massa dari berbagai daerah dari Jakarta dan dari luar Jakarta, ke TPS-TPS, dengan alasan yang dibuat-buat, yaitu untuk membela Islam, dan memantau jalannya pencoblosan.

Siapa segenap aparat negara, oknum Polri dan TNI yang dimaksud Rizieq Shihab telah dibeli para konglomerat pemodal Ahok itu?

Kita gampang menduganya, yang dia maksud tentu adalah Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan, dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Karena merekalah yang paling berperan menggagalkan aksi Tamasya Al-Maidah itu.

Presiden Jokowi telah menyerukan tidak perlu ada pengerahan massa agar warga bisa memilih dengan tenang, melanjuti petunjuk Presiden, Kapolri Jenderal Tito telah dengan tegas melarang pengerahan massa itu, Kapolda Metro Jaya bersama KPU DKI dan Bawaslu DKI telah mengeluarkan Maklumat Bersama melarang pengerahan massa, dan Panglima TNI telah memerintahkan 15.000 prajuritnya untuk ikut membantu pelaksanaan tugas tersebut demi menjaga Jakarta yang aman, bebas dari pengerahan massa.

Rizieq sengaja memprovokasi umat dengan rekaan-rekaan Anies pasti menang (sampai 80 persen!), dan kalau kalah itu artinya pasti dicurangi, dan jika Anies menang, Ahok kalah, maka kekuatan-kekuatan di balik Ahok akan mengamuk, dengan demikian agar umat sebanyak mungkin terbakar emosinya dan mau datang ke Jakarta untuk mensukseskan misi Tamasya Al-Maidah itu.

Padahal, jelas-jelas ini Pilgub DKI Jakarta, jadi, tidak ada urusannya dengan masyarakat di luar DKI Jakarta.  

Pilgub DKI Jakarta ini adalah perwujudan dari demokrasi, yaitu kegiatan warga DKI Jakarta memilih gubernurnya, bukan kegiatan agama.

Membela Islam? Memangnya sebagian besar pendukung Ahok itu bukan Islam? Warga muslim DKI, PPP, PKB, dan lain-lain itu bukan Islam? GP Ansor DKI Jakarta yang menyatakan dukungannya kepada Ahok itu, bukan Islam?  

Memang salah satu ciri aliran sektarianisme agama adalah menganggap semua pihak yang tidak sepaham dengan mereka, meskipun sejatinya Islam, adalah musuh mereka, yang pantas diperangi juga.

Sedangkan untuk keperluan penyelenggaraan Pilgub DKI yang berdasarkan Undang-Undang, yang aman, tenteram, lancar, tertib, jujur dan adil, sudah ada KPU DKI, Banwaslu DKI, dan Panwaslu DKI, dan dua saksi dari kedua pasangan calon, dan dijaga anggota polisi dan prajurit TNI.

Misi Sebenarnya Tamasya Al-Maidah

Orang dengan mudah paham apa sebenarnya maksud dari aksi Tamasya Al-Maidah itu, yakni menggunakan kekuatan massa untuk secara langsung, maupun tidak lanbgsung mengintimidasi secara psikologis (mental), bilamana perlu fisik kepada  pemilih-pemilih tertentu yang berpotensi untuk memilih Ahok-Djarot. Dengan adanya pengerahan massa tersebut diharapkan warga masyarakat tertentu pemilih Ahok-Djarot akan takut datang ke TPS-TPS, dan masyarakat yang datang ke TPS akan diancam secara tidak langsung, sehingga akhirnya mencoblos paslon gubernur muslim.

Dan, bukan tak mungkin, direkayasa atau tidak, karena adanya massa, kericuhan di TPS-TPS berpotensi terjadi, seandainya saat dimulainya proses hitung cepat ternyata dimenangkan oleh Ahok-Djarot,  sehingga bisa membuat Pilgub DKI itu kacau dan gagal dilaksanakan.

Hal tersebut dapat dilihat dari rencana aksi tersebut yang akan mengerahkan sekitar 100 orang yang disebut sebagai saksi di setiap TPS. Jumlah semua TPS yang ada di seluruh DKI Jakarta ada 13.000 TPS, jadi aksi Tamasya Al-Maidah itu memerlukan sedikitnya 1,3 juta orang.

Saksi apa yang mencapai 100 orang di setiap TPS!

Bagaimana bisa kegiatan tersebut dikatakan jauh dari intimidasi, dan bagaimana pemilih bisa merasa aman, dan nyaman, jika ketika dia mau mencoblos di TPS-nya, ada kumpulan massa yang sedemikian banyaknya di dekat TPS itu?

Ketua Panitia Tamasya Al-Maidah ustad Ansufri Sambo sendiri mengatakan, kegiatan itu berupa seratusan saksi yang hadir di setiap TPS untuk memantau, memotret, dan jika ada hal yang menurut mereka merupakan suatu kecurangan, maka massa tersebut akan segera meresponnya dengan berteriak-teriak, dan memotretnya.

"Target peserta kita berharap setiap TPS ada 100 orang kaum muslimin dan muslimat yang datang melihat. Jadi, Insya Allah sebanyak 1,3 juta akan datang," kata Ansufri.

"Cuma memang kalau di tengah itu ada kecurangan-kecurangan, kita akan ributin, kita sorakin, 'woi woi', paling begitu saja sebagai bentuk penjagaan. Sesederhana itu saja," ujar Ansufri enteng.

“Cuma” berteriak-teriak itu saja sudah pasti akan membuat takut para pemilih, itu saja sudah merupakan bentuk dari teror mental bagi pemilih. Dari “cuma berteriak-teriak” itu sangat bisa akan berlanjut pada aksi anarkis.

Lagipula, memangnya mereka semua itu siapa, sehingga merasa punya hak untuk menentukan suatu kejadian di TPS itu sebagai curang, atau tidak, dan merasa berhak berteriak-teriak seperti itu? Orang-orang yang bukan warga DKI Jakarta, tidak punya kepentingan apapun dengan Pilgub DKI, kok seenaknya saja datang dan bertindak “semau gue”.

Hanya Bawaslu DKI, Panwaslu DKI, bersama KPU DKI Jakarta saja yang punya wewenang untuk menentukan apakah suatu kejadian dalam suatu kegiatan Pilgub DKI itu termasuk suatu perbuatan kecurangan ataukah tidak, dan apakah sanksinya. Untuk kementukannya pun mereka tidak bisa langsung begitu saja menentukan di tempat, tetapi masih memerlukan proses konfirmasi dan investigasi.

Masyarakat juga tentu saja tidak senaif yang dikira Ketua Panitia Tamasya Al-Maidah ustad Ansufri  Sambo, FPI, dan kawan-kawannya itu, yang berulang kali mengatakan, aksi mereka itu merupakan aksi damai, cuma mendatangkan saksi-saksi di seluruh TPS di DKI Jakarta, dan menjamin tidak akan ada intimidasi dalam bentuk apapun, dan merasa tidak ada aturan yang dilanggar.

Padahal pengerahan massa di masa tenang, dan apalagi di hari pencoblosan sudah merupakan suatu pelanggaran, apalagi dengan maksud mengintimidasi pemilih sehingga tidak mau datang ke TPS, atau terpaksa memilih yang bukan pilihannya.

Sikap Tegas Kapolri

Kapolri Jenderal (Pol.) Tito Karnavian pun telah bertindak tegas dengan menginstruksikan semua Kapolda di DKI Jakarta, Jawa, dan Sumatera untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan, dan tindakan-tindakan tegas untuk mencegah adanya mobilisasi massa dari Jakarta sendiri, maupun dari luar Jakarta ke TPS-TPS yang  dapat mengganggu ketertiban dan kelancaran jalannya Pilgub DKI Jakarta, hari ini.

"Kalau sampai ada pengerahan massa yang terkesan intimidatif maka Polri sekali lagi dengan diskresinya, dapat melakukan penegakan hukum. Bahkan dalam bahasa yang lebih tegas kami dapat amankan yang bersangkutan, paling tidak 24 jam. Apalagi kalau sampai ada yang melakukan kekerasan pidana, bawa senjata tajam, intimidasi itu semua ada pidananya kita bisa melakukan tindakan hukum ke mereka," tegas Tito di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/4/2017).

Hal ini disampaikan Tito usai membahas pengamanan pemungutan suara Pilgub DKI bersama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto; Panglima TNI Gatot Nurmantyo; dan Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan.

Kapolda Metro Jaya bersama dengan KPU DKI dan Bawaslu DKI Jakarta pun sudah mengeluarkan Maklumat Bersama yang isinya melarang pengerahan massa ke TPS-TPS, dan jika memaksa, akan ditindak tegas, dipulangkan kembali ke daerah asalnya.

Tito juga memerintahkan seluruh Kapolda di Jawa dan Sumatera agar juga membuat maklumatnya untuk melarang warga setempat melakukan mobilisasi massa menuju Jakarta untuk kepentingan yang berkaitan dengan Pilgub DKI Jakarta, yang bukan untuk melaksanakan hak pilihnya.

Isi Maklumat bersama itu:

Bahwa berdasarkan perkembangan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di Jakarta dan demi menciptakan situasi yang aman dan kondusif menjelang, saat dan pasca tahap pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta putaran kedua, maka disampaikan MAKLUMAT kepada masyarakat sebagai berikut:

1. Setiap orang dilarang melaksanakan mobilisasi massa yang dapat mengintimidasi secara fisik dan psikologis dalam bentuk kegiatan apapun yaitu yang akan datang ke TPS di Jakarta bukan untuk menggunakan hak pilihnya, karena dapat membuat situasi kamtibmas di Jakarta kurang kondusif dan masyarakat dapat merasa terintimidasi baik secara fisik maupun psikologisnya, sedangkan sudah ada pemyelenggara Pemilukada yaitu KPU Provinsi DKI Jakarta dan Pengawas Pemilukada yang berwenang yaitu Bawaslu DKI Jakarta dan jajarannya.

2. Bila ada sekelompok orang dari luar Jakarta yang akan melaksanakan kegiatan tersebut, maka Polri, TNI dan instansi terkait akan melaksanakan pencegahan dan pemeriksaan di jalan dan akan diminta untuk kembali, dan bila sudah berada di Jakarta akan dikembalikan ke daerahnya masing-masing.

3. Bila sekelompok orang tersebut tetap memaksa datang ke Jakarta dan melanggar hukum, maka akan diproses dan dikenakan sanksi sesuai prosedur hukum.

Ketegasan Panglima TNI

Selain Kapolri, pada hari dan tempat yang sama (kompleks Istana Negara, 17/04/2017), saat apel kesiapan pengamanan Pilgub DKI Jakarta putaran kedua, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo juga telah menyatakan ketegasannya kepada segenap prajurit TNI yang bertugas mengamankan Pilgub DKI putaran kedua itu.

Di dalam pidato pembekalannya itu Jenderal Gatot menegaskan mengenai kehadiran negara yang harus ada di saat setiap warga DKI melaksakan haknya untuk memilih pasangan gubernur dan wakil gubenrnur pilihannya, dengan aman sampai pulang kembali ke rumahnya masing-masing. Yang menghadirkan negara itu adalah prajurit-prajutit TNI itu, dan itu merupakan tugas yang mulia.

Prajurit TNI, diperintah Panglima, agar menjalankan tugas sebaik-sebaiknya sesuai dengan prosedur, dijamin mereka tidak akan dihukum, tidak akan diadili. Jika ada terdakwa, Panglima-nya yang akan menjadi terdakwa!

“... Seperti yang disampaikan oleh Kapolri bahwa di semua TPS ada TNI dan Polri. Kemudian di dekat TPS ada pasukan-pasukan yang siap digerakkan setiap saat menuju ke tempat-tempat yang didapatkan laporan yang diperlukan bantuan. Dan, Kapolri siapkan pasukan cadangan, dan saya siap dengan pasukan cadangan. ...”

“Karena ini tugas mulia, lakukan tugasmu, pelajari betul, apabila kamu lakukan tugas sesuai dengan prosedur, apapun akibatnya, untuk membuat Jakarta aman, saya jamin kamu tidak akan duduk di meja hijau sebagai terdakwa. Yang sebagai terdakwa, yang memberi perintah kamu. Panglimamu sebagai terdakwa! Jelas ini? (dijawab segenap prajurit TNI: ‘jelas!’) .

Jadi, jangan ragu, kamu disumpah, kamu dikasih gaji, untuk mengamankan masyarakat Jakarta. Kamu semua adalah organik dari Kodam Jaya, organik dari Polda, dan organik dari TNI dan Polri dari luar daerah untuk mengamankan masyarakat Jakarta.”

Selamat nertugas, selamat berjuang. Saat ini negara memanggil kamu untuk berperang, dan kita semua berdoa, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa, selalu memberi bimbingan, petunjuk, lindungan, rahmat dan hidayah untuk melaksanakan pengabdian yang terbaik untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat, sangat kita cintai bersama. ...

Ada sedikitnya 20.000 anggota polisi dan 15.000 prajurit TNI yang berasal dari Polda Metro Jaya, Kodam Jaya, dan dari Polda dan Kodam luar Jakarta, belum lagi bantuan dari pihak Kemendagri, linmas, Pemprov DKI, dan masyarakat, yang totalnya berjumlah sekitar 65.000 orang, yang telah disiapkan untuk mengamankan Pilgub DKI Jakarta, supaya bisa berjalan dengan aman dan lancar, yang semakin membuat Tamasya Al-Maidah itu kehilangan alasannya untuk dilaksanakan.

(Twitter TMC Polda Metro Jaya)
(Twitter TMC Polda Metro Jaya)
(Twitter TMC Polda Metro Jaya)
(Twitter TMC Polda Metro Jaya)
Jika mereka tetap ngotot, memaksa kehendaknya untuk tetap memobilisasi massa ke TPS-TPS, maka demi pengamanan dan kelancaran pemilihan, demi menjaminkan warga pemilih bisa menjalankan haknya di TPS-TPS, bebas dari rasa takut, segenap prajuirt Polri dan TNI siap bertindak tegas, tanpa kompromi.

Warga juga diharapkan untuk tidak takut datang ke TPS-TPS, karena sudah ada jaminan keamanan dari Presiden, Kapolri, dan Panglima TNI.

Sebaliknya, warga yang punya hak pilih, terutama mereka yang sudah berketetapan hati untuk memilih Ahok-Djarot harus melawan aksi-aksi dari para pemaksa kehendak itu, dengan cara tetap datang ke TPS-nya masing-masing untuk mencoblos. Itulah cara mengalahkan mereka.

Ungkapan yang mengatakan: “Sing waras, ngalah” tidak berlaku di sini, yang berlaku adalah, seperti yang diucapkan KH Mustofa Bisri: “Sing waras ojo ngalah!”

Anies-Sandi, Gerindra, PKS Punya Peran Penting

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie ikut berbicara, dia mengatakan bahwa semua kegiatan mobilisasi massa di hari H pencoblosan merupakan suatu pelanggaran dalam Pemilu. Sedangkan tentang Tamasya Al-Maidah, sudah pasti punya niat yang tidak baik, oleh karena itu harus dilarang, dan masyarakat untuk tidak mengikutu ajakan itu.

"Yang menyebut dirinya Tamasya Al Maidah ini pasti dilatarbelakangi oleh ide yang melanggar. Kita mengharapkan aparat keamanan bisa menertibkan dan yang lebih penting lagi masyarakat di Jakarta harus tenang dan jangan ikut-ikutan," tegas Jimly  di sela-sela Perayaan Ulang Tahun-nya yang ke-61, di Kantor DKPP,  Jakarta, Senin (17/042017).

Jimly mengharapkan:  "Pimpinan masing-masing tim sukses dan partai pengusung kedua paslon tidak boleh lepas tangan kalau terjadi mobilisasi massa, itu berarti karena mereka mengizinkan. Saya secara khusus mengimbau kepada kedua paslon dan kepada semua pimpinan parpol yang usung paslon, begitu pula kepada pimpinam tim kampanya untuk segera bertindak hari ini guna cegah mobilisasi massa dari pihaknya masing-masing.”

Oleh karena jelas-jelas aksi mobilisasi massa yang dinamakan Tamasya Al-Maidah itu dilakukan oleh kubu pendukung Anies-Sandi, bahkan Ketua Panitia Tamasya Al-Maidah itu, Ustad Ansufri Sambo adalah guru agama dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, maka merekalah yang harus bertanggung jawab dan membatalkan aksi politik berkedok agama dan berkedok demokrasi itu, karena selain merusak Pilgub DKI, juga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Namun, harapan tersebut rasanya tidak akan terwujud, dikarenakan, dari awal niat mereka memang sudah akan menghalalkan segala cara untuk menang, tak terkecuali dengan Anies Baswedan sendiri.

Ketika Anies Baswedan di Pihak “Sana”

Ironisnya adalah: Anies Baswedan yang sebelum ikut dalam kompetisi Pilgub DKI Jakarta 2017 ini,  berada di pihak yang selalu mendukung kebhinekaan, dan pluralisme, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, mengutamakan nilai-nilai sportifitas dalam berkompetisi, sekarang terkuak karakter aslinya, demi bisa menjadi  gubernur, rela menyeberang ke dan untuk bersekutu dengan kelompok kekuatan yang dahulu ia sendiri mengatakan sebagai kelompok orang tidak baik.

Anies sendiri yang pernah bilang: “Orang baik berkumpul dengan orang baik,” maka tentu saja orang tidak baik berkumpul juga dengan orang tidak baik. Bagi orang tidak baik, menghalalkan segala cara, termasuk memperalat agama untuk tujuan politiknya bukan sesuatu yang haram, melainkan mulia bagi dirinya sendiri.

Kelompok orang tidak baik, yang mendukung Anies itu banyak dari mereka merupakan golongan ekstremis dan sektarian agama, yang anti-pluralisme, anti-Kristen, dan bahkan ada juga yang anti-Pancasila, sehingga menghalalkan segala cara untuk bisa menang di Pilgub DKI ini, termasuk menggunakan agama untuk bisa menang, termasuk aksi Tamasya Al-Maidah-nya itu.

Sebaliknya kelompok orang baik, tentu konsisten untuk selalu mendukung kebhinekaan dan pluralisme, yang menghargai sportifitas dalam berkompetsi, dan yang konsisten menghargai dan taat pada Pancasila, UUD 1945, dan hukum.

Ketika aksi Tamasya Al-Maidah itu dipastikan akan merusak suasana Pilgub DKI Jakarta yang harus selalu dalam kondisi kondusif, maka kelompok orang baik pun bergerak menentangnya, dan tentu saja Polri dan TNI pun selalu mendukung kelompok orang baik, demi lancar dan amannya penyelenggaraan Pilgub DKI Jakarta, setiap pemilih saat melaksanakan hak pilihnya di TPS,  bebas dari ancaman dan rasa takut, sampai pulang ke rumahnya masing-masing.

Dengan kata lain masyarakat yang setia dengan konsekuen pada Pancasila dan UUD 1945 , Presiden, Polri dan TNI berada di pihak orang baik, yang menentang dilaksanakannya aksi Tamasya Al-Maidah itu.

Sedangkan Anies Baswedan kini berada di kubu yang berseberangan, berada di pihak “sana”, bersama orang-orang tidak baik, yang bertanggung jawab dan mendukung aksi Tamasya Al-Maidah itu.

Maka ungkapan yang pernah diucapkan oleh Abraham Lincoln pun relevan sekali di Pilgub DKI ini: “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man's character, give him power(Hampir semua orang bisa menghadapi kesengsaraan, tetapi jika anda ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan).

Untuk Anies, tidak perlu sampai diberi kekuasaan,  baru diiming-imingi kekuasaan saja sudah mulai terkuak karakter aslinya. 

Ahok-Djarot akan Kembali Memimpin DKI Jakarta Lagi

Meskipun menghalalkan segala cara, termasuk memperalat agama untuk tujuan kemenangan politiknya, telah dilakukan mereka, tetapi saya yakin, kebenaran pada akhirnya tetaplah yang menang.

Hal ini akan terbukti hari ini, mayoritas warga DKI Jakarta yang punya hak pilih dan menggunakan haknya  pada hari penentuan ini, semakin sadar untuk menggunakan rasionalitasnya ketimbang emosinya demi kebaikan mereka sendiri, demi masa depan mereka sendiri, untuk mempunyai pimpinan yang sungguh-sungguh sudah terbukti punya integritas tinggi dengan kinerjanya selama ini, dengan memilih orang baik, pimpinan yang baik, dengan mencoblos Ahok-Djarot, agar melanjutkan tugas mereka berdua sebagai pelayan rakyat DKI Jakarta . 

Tuhan memberkati DKI Jakarta.m Amin.  

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun