Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perbedaan Jokowi yang Sungguh Pernah Disadap dengan SBY yang Merasa Sedang Disadap

4 Februari 2017   01:06 Diperbarui: 4 Februari 2017   01:13 5737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY saat konferensi pers tentang penyadapan yang dirasakan terjadi terhadapnya, 1/2/2017 (Kompas.com)

Heboh curhat keprihatinan mantan Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dicurahkan kepada publik, pada 1 Februari 2017 lalu, melalui konferensi pers khusus untuk itu, selama sekitar 20 menit (ditranskrip menjadi 5 lembar kertas A4), karena merasa dirinya disadap, mengingatkan kita kepada terungkapnya peristiwa Jokowi yang pernah mengalami penyadapan, ketika ia menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Bedanya, jika SBY diduga mengalami paranoid dengan merasa dirinya selalu disadap, maka apa yang  pernah dialami oleh Jokowi itu adalah benar-benar pernah terjadi.

Kejadiannya pada 2013, di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta yang ketika itu dijabat oleh Jokowi, dan baru diketahui publik pada Februari 2014. Pemberi informasinya adalah Sekjen PDIP ketika itu, Tjahjo Kumolo.

Ketika itu, menurut Tjahjo Kumolo, pihak keamanan di rumah pribadi Megawati Soekarnoputri pernah menangkap orang yang mencoba melakukan penyusupan.

Sedangkan Jokowi sendiri mengaku sempat merasa curiga adanya alat-alat penyadap yang dipasang di rumah dinasnya itu sekitar Juni 2013, lalu pada Desember  ia laporkan kepada PDIP.

Dari kejadian itulah lalu diadakan penyisiran dengan alat detektor di kantor PDIP hingga ke rumah-rumah petinggi dan pejabat PDIP, salah satunya rumah dinas Gubernur DKI Jakarta Jokowi.

Di rumah dinas Jokowi itu, setelah diperiksa dengan alat detektor, ditemukan alat-alat penyadap yang bisa merekam suara dan gambar itu dipasang di ruang tamu, ruang tamu pribadi, dan ruang makan yang lebih sering digunakan sebagai ruang rapat.

Meskipun demikian Jokowi tidak pernah mengungkapkan hal tersebut kepada publik, yang memberitahu pertama kali kepada wartawan tentang hal itu adalah Tjahjo Kumolo.

Ketika dikonfirmasikan pertama kali kepada Jokowi, pada Februari 2014, Jokowi membenarkan informasi tersebut, tetapi dia bersikap sangat santai menghadapinya, dan tidak mempersoalkannya lagi. Ia malah heran, untuk apa ia disadap, karena tidak punya rahasia apapun yang bisa dimanfaatkan oleh penyadapnya.

“Selalu positive thinking, nggak akan mencurigai siapa-siapa, tetapi pada waktu itu, Desember, saya laporkan ke Partai. Itu aja, udah,” jelas Jokowi ketika pertama kali dikonfirmasi wartawan.

“Kaget nggak, Pak, ketika tahu disadap?”, tanya seorang wartawan perempuan.

Jokowi menjawab dengan memperagakan ekspresi orang kaget, sambil meloncat ia berkata: “Wah, kaget, kaget, gitu aja,” diikuti dengan tawa khasnya. Wartawan-wartawan pun spontan tertawa melihat reaksi Jokowi yang santai dan lucu itu (lihat videonya di bawah).

Kok, di sadap, ini nggakada apa-apanya, (tertawa).. wong, nggak ada isinya. Mungkin yang nyadapjuga kecewaaaa..., ini apaaaa, yaa, mungkin,” kata Jokowi dengan ekspresi orang heran.

Di lain kesempatan, pada 20 Februari 2014, saat dikonfirmasi lagi, Jokowi berkata: "Sudahlah, itu sudah lama, hanya saja saya kan diam. Bulan Desember itu, sudah lama."

"Ada detektornya kan, nggak usah saya sebutkan siapa yang menemukan. Ketemu tiga saat itu, pas Desember, sebenarnya saya tidak mau bicara masalah ini. Tapi, ya faktanya di rumah dinas ada tiga," katanya.

"Saya cerita sudah Desember yang lalu, tapi saya bilang nggak usahlah diribut-ributin. Yang disadap dari saya juga apa, sih? Saya juga kalau di rumah ngomong dengan istri, ngomong yang enteng-enteng saja, ngomong soal makanan, itu-itu saja," katanya.

Reaksi Jokowi mengenai penyadapan terhadap dirinya, dua tahun yang lalu itu sangat berbeda dengan reaksi SBY yang senantiasa merasa dirinya disadap, yang dua hari lalu sudah kita saksikan bersama itu.

Reaksi keras SBY yang begitu didramatisir selama sekitar 20 menit itu, dipicu oleh pernyataan Ahok dan pengacaranya di persidangan kedelapan dugaan penistaan agama bahwa mereka punya bukti adanya percakapan telepon antara SBY dengan Ma’ruf Amin, pada 6 Oktober 2016. Sehari kemudian terjadi pertemuan antara Ma’ruf dengan putra sulung SBY, Agus Yudhoyono dan Sylvia Murni, yang meminta restu majunya mereka di pilkada DKI Jakarta 2017. Empat hari kemudian (11/10/2016(, keluarlah fatwa MUI yang menyatakan Ahok telah melakukan penistaan agama Islam.

Padahal, baik Ahok, maupun pengacaranya sama sekali tidak menyinggung mengenai adanya penyadapan atau transkrip percakapan telepon itu. Yang mereka maksudkan dengan bukti percakapan itu adalah pemberitaan di media Liputan6.com, dan di Majalah Tempo.

Tetapi, SBY tetap bersikeras mengenai adanya penyadapan itu, lalu meminta Ahok menyerahkan transkrip yang sesungguh tidak pernah disebut Ahok itu.

Mega skandal Watergate yang pernah terjadi di pilpres Amerika Serikat di era 1970-an, yang melibatkan Presiden Richard Nixon pun disinggung-singgung dengan sangat serius. Seolah-olah skandal seperti itu sedang terjadi di Indonesia kini, dengan Jokowi berada pada posisi Nixon.

Aneh tapi nyata, tidak ada yang bilang ada penyadapan, transkrip atau apapun yang sejenis dengan itu, tetapi SBY tetap ngotot seolah-olah Ahok telah mengatakan adanya penyadapan dan punya transkirpnya. Dari hasil kesimpulan sendirinya itu, ia pun mendesak Polri, BIN, sampai Presiden Jokowi harus menjelaskan kepadanya tentang penyadapan yang sesungguhnya berdasarkan ilusinya itu.

Petinggi Demokrat pun tinggal membebek SBY, dengan ikut-ikutan mendesak Presiden Jokowi untuk menjelaskan perihal penyadapan iitu, lalu menyatakan akan mendesak DPR mengadakan hak angket untuk mempersoalkan penyadapan terhadap SBY itu.

Rupanya mereka benar-benar sedang bermimpi skandal semacam skandal Watergate sedang terjadi di sini, “Nixon” Jokowi bakal di-impeachment karena skandal penyadapan itu.

Di dalam pernyataannya di konferensi persnya itu, SBY mengatakan, ia memperoleh informasi bahwa dirinya bersama Demokrat dituduh sebagai penyandang dana aksi damai 4-11, bahkan sebagai pihak yang menyuruh membom Istana Merdeka, dan berbuat makar.

Entah informasi dari mana yang didapat SBY tentang tuduhan kepadanya itu, saya cari di media-media resmi, tidak ada yang memberitakan hal tersebut, terutama sekali tuduhan tentang menyuruh membom Istana dan makar.  Informasi itu hanya ada beberapa di media-media yang tidak jelas sumbernya, alias hoax.Jadi, SBY mempersoalkan hoax sampai kepada Tuhan YME, tetapi dia sendiri percaya hoax?

Dari situlah SBY pun curhat dengan penuh kepiluan: “Tentu teman-teman; saudara-saudara, kalau dituduh, difitnah seperti itu, saya, sebagai manusia biasa, harus menyampaikan perasaan saya, bahwa semua itu tidak benar.”

“Saya kira, teman-teman masih ingat Skandal Watergate. Dulu, kubu Presiden Nixon (Richard Nixon) menyadap kubu lawan politik yang sedang dalam kampanye pemilihan presiden. Memang, Presiden Nixon terpilih menjadi presiden tetapi skandal itu terbongkar. Ada penyadapan; ada tapping; ada spying. Itulah yang menyebabkan, akhirnya, Presiden Nixon harus mundur; resign. Karena, kalau tidak, beliau akan di-impeach.”

“Saya hanya menggambarkan bahwapolitical spying; illegal tapping,itu kejahatan yang serius di negara  manapun juga.”

SBY meminta Jokowi menjelaskan kepadanya siapa sebenarnya yang menyampaikan kepada Jokowi tentang tuduhan-tuduhan kepada dirinya tersebut.

Tetapi, ia sendiri belum menjelaskan, siapakah yang memasok informasi-infromasi itu kepadanya, termasuk informasi bahwa dia (SBY) sedang disadap.

Mungkin SBY mau menganggap pula informannya itu adalah semacam "deep throat”, sumber rahasia yang membongkar skandal Watergate di Amerika Serikat itu.

Apapun yang sebenarnya terjadi, dari kasus penyadapan yang benar-benar pernah terjadi terhadap Jokowi, dibandingkan dengan penyadapan yang hanya dirasakan oleh SBY itu, terlihat sekali perbedaan karakter di antara keduanya.

Terhadap penyadapan yang dirasakan terjadi terhadapnya itu, SBY curhat dengan rasa prihatin yang sangat dalam dan serius, dengan berkata:

“Kalau betul-betul disadap maka segala pembicaran; kemudian kegiatan; mungkin strategi; mungkin rencana; apa pun akan diketahui oleh mereka yang tidak punya hak sama sekali. Ya sama dengan Skandal Watergate tadi. Mendapatkan keuntungan dengan cara menyadap. Mengetahui, mendapatkan informasi tentang seluk beluk pemberitaan termasuk rencana dan strategi dari lawan politiknya.”

Sedangkan Jokowi, yang sungguh-sungguh pernah mengalami penyadapan itu, hanya berkata:

“Saya sih enteng-enteng saja, apa sih yang disadap dari saya. Di rumah, kegiatan saya itu hanya makan, hanyangomong-ngomong ringan dengan istri, dengan anak,nggakada isinya sama sekali. Mau disadap, sadap apanyaa? Kalau berkaitan dengan pemerintahan, dan lain-lain, okelah perlu saya protek.Nggakada apa-apanya, jadingapaiansaya harus lapooor?!”

Maka, teringatlah pameo yang berbunyi: “Kalau sungguh bersih kenapa harus risih?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun