Selasa, 27 Desember 2016, Majelis Hakim yang diketuai oleh Dwiarso Budi Santiarto, dalam putusan selanya, telah memutuskan menolak seluruh eksepsi Ahok dan tim penasihat hukumnya, dan oleh karena itu sidang kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok itu akan dilanjutkan pada pokok perkaranya.
Sidang Ahok selanjutnya digelar dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi, pada Selasa, 3 Januari 2017. Lokasi sidang lanjutan ini dipindah dari PN Jakarta Pusat ke Gedung Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, demi alasan keamanan.
Salah satu eksepsi Ahok yang ditolak Majelis Hakim itu adalah keberatan Ahok karena menganggap pengadilan terhadapnya itu merupakan bagian dari proses hukum yang terjadi karena adanya tekanan massa (trial by the mob).
Majelis Hakim menolak eksepsi Ahok dan tim penasihat hukumnya itu. Menurut Majelis Hakim, tidak benar pengadilan itu ada karena tekanan massa, pengadilan terhadap Ahok itu bebas dari tekanan massa, artinya proses hukum terhadap kasus Ahok itu berjalan normal, tidak dipengaruhi oleh tekanan massa.
Benarkah demikian?
Tekanan massa yang dimaksud Ahok dan tim penasihat hukumnya itu tentu adalah aksi demonstrasi massa umat Islam yang dipimpin oleh FPI dan beberapa ormas Islam garis keras lainnya berlandaskan fatwa MUI dengan thema: Aksi Bela Islam 1-3, yang dilangsungkan sebanyak 3 kali, yaitu pada 14 Oktober, 4 November, dan 2 Desember 2016, terutama sekali dengan “Aksi Bela Islam 2”, yang melibatkan beberapa ratus ribu orang, dan pada malam harinya sempat menimbulkan kerusuhan di depan Istana Negara.
Setelah aksi unjuk rasa, 4 November 2016 itulah semakin terlihat Presiden Jokowi sebagai kepala pemerintahan, dan Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri mulai tertekan. Sampai-sampai Presiden Jokowi pun terpaksa melakukan safari kunjungan ke beberapa ulama dan organisasi Islam besar berpengaruh, dan “terpaksa” pula memenuhi tuntutan massa agar membuat pernyataan bahwa ia tidak akan melakukan intervensi terhadap kasus Ahok itu. Pernyataan itu dibuat lebih dari sekali.
Polri Ditekan Massa
Di acara Mata Najwa, 2 November 2016, Kapolri Tito Karnavian mengungkapkan sendiri bahwa keputusannya untuk segera memroses hukum kasus Ahok itu dikarenakan adanya tekanan massa itu.
Tito mengatakan, sesuai dengan aturan internal Polri yang selama ini ditaati bahwa semua laporan ke polisi terhadap calon kepala daerah di masa pilkada, harus ditunda proses hukumnya sampai dengan pilkada selesai, karena dikhawatirkan laporan kepada polisi itu akan dimanfaatkan untuk saling menjatuhkan di antara calon kepala daerah.
Dikhawatirkan lembaga kepolisian akan dimanfaatkan untuk menjatuhkan calon kepala daerah tertentu oleh calon kepala daerah lainnya atau oleh kekuatan-kekuatan lainnya yang mendukung calon kepala daerah tertentu (sesuatu yang sebenarnya sedang terjadi terhadap Ahok dengan kasus dugaan penistaan agama itu).
Namun, karena semakin kuatnya tekanan massa, akhirnya Tito terpaksa melanggar peraturan internal Polri yang selama ini dipatuhi oleh Kepolisian RI di seluruh Indonesia, dengan risiko jika ada calon kepala daerah lainnya melaporkan pesaingnya ke polisi, maka polisi setempat juga harus memroses laporan itu. Untungnya, hal itu belum (semoga tidak) terjadi. Bayangkan saja, kalau sampai terjadi; ramai-ramai di beberapa daerah sekaligus ada saling lapor di antara calon kepala daerah ke polisi. Bisa sangat terganggu pilkada serentak 2017 ini.
Maka, dengan keputusan Tito Karnavian itu, meskipun dalam suasana pilkada DKI Jakarta, bahkan sudah memasuki masa kampanye, penyelidikan dan penyidikan polisi terhadap Ahok berdasarkan laporan-laporan dari mereka yang jelas-jelas memang sedari dulu tidak suka Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta itu pun dilakukan, bahkan diistimewakan, karena dilaksanakan dengan super cepat. Takut kalau lama-lama, massa yang tidak sabaran itu bisa mengamuk.
Pada beberapa kesempatan lain, seperti pada 21 November 2016, di jakarta, Tito Karnavian secara terbuka mengakui bahwa dalam kasus Ahok itu dia mengalami dilematis yang luar biasa saat harus memutuskan apakah polisi tetap taat pada aturan internal Polri dengan proses hukum terhadap Ahok sampai dengan pilkada selesai, ataukah harus melanggar aturan internal Polri itu dengan segera memroses hukum Ahok, karena semakin lama semakin kuatnya tekanan massa terhadap Kepolisian agar segera tangkap dan penjara Ahok.
Dilematis Tito itu pun akhirnya tunduk pada tekanan massa, Tito memutuskan melanggar aturan internal Polri itu, dengan memenuhi kehendak massa agar Ahok secepat-cepatnya diproses hukum. Namanya saja mereka bilang “proses hukum”, tetapi yang dikehendaki sesungguhnya adalah Ahok harus dinyatakan bersalah dan harus segera dipenjara seketika itu juga.
Artinya, sesungguhnya sejak keputusan Tito itu pula Polri menyatakan tunduk pada tekanan massa. Polri takut dengan kemarahan massa, bukannya siap menghadapinya, tetapi lebih memilih cara aman, dengan mencegah kemarahan itu terjadi. Tatanan hukum pun goyah, demokrasi terancam digantikan oleh mobocracy (pemerintahan yang berjalan berdasarkan tekanan massa).
Logikanya, jika benar Polri tidak dalam tekanan massa, apakah mungkin Polri melanggar aturan internalnya sendiri yang aslinya berbentuk telegram rahasia dari Kapolri sebelum Tito itu, dengan super cepat melakukan proses hukum kepada Ahok, sesuatu yang belum pernah terjadi sejak Indonesia merdeka.
Beberapa keistimewaan yang belum pernah ada sejak Indonesia merdeka pun diterapkan di dalam kasus Ahok itu.
Tanda Polri sungguh-sungguh berada di bawah tekanan massa semakin terlihat ketika proses hukum terhadap Ahok itu mulai dilaksanakan oleh polisi di Bareskrim Polri.
Sesuai dengan janji Presiden Jokowi, hanya dalam dua minggu polisi telah menyelesaikan penyelidikannya.
Saat gelar perkara akan diadakan (15/11/2016), Kapolri Tito Karnavian menyatakan akan dilaksanakan secara terbuka, boleh disiarkan langsung oleh stasiun-stasiun televisi, tetapi setelah mendapat banyak masukkan dari para ahli pidana, rencana gelar perkara terbuka itu dibatalkan, digantikan dengan setengah terbuka, yaitu tidak boleh disiarkan langsung, tidak terbuka untuk umum, tetapi boleh dihadiri oleh pihak-pihak yang terkait dengan perkara itu, yakni para pelapor, pihak Ahok, pihak-pihak yang dianggap netral yang dianggap dapat berperan sebagai pemantau jalannya gelar perkara itu.
Gelar perkara seperti itu belum pernah terjadi dalam sejarah hukum Indonesia. Tetapi, tohdiadakan juga, karena apa? Karena apa lagi, kalau bukan karena polisi kehilangan kepercayaan dirinya, terpengaruh oleh tekanan massa juga? Polisi takut kepada massa yang akan menuduh mereka tidak transparan, tidak adil, atau berpihak, jika hasil gelar perkara itu tidak sesuai dengan kehendak massa.
Setelah gelar perkara itu selesai, para penyiidik Bareskrim Polri mengadakan rapat. Dalam rapat itu terjadi perbedaan pendapat yang tajam di antara para penyidik, yang berpendapat kasus tersebut tidak memenuhi unsur pidana dengan yang berpendapat sebaliknya. Namun, karena yang berpendapat kasus tersebut memenuhi unsur pidana lebih banyak, maka diputuskan kasus Ahok itu diteruskan ke pengadilan, artinya kasus itu dinaikkan ke tingkat penyidikan dan Ahok ditetapkan sebagai tersangka.
Hal tersebut diumumkan pada 16 November 2016 oleh Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto, kemudian juga oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
**
Gelar perkara kasus Ahok itu didasarkan pada hasil penyelidikan yang dimulai pada akhir Oktober 2016 lalu. Pada tahapan ini, penyidik mengantongi 16 barang bukti dan keterangan dari 29 saksi serta 39 ahli.
Pada tahapan penyelidikan ini, dari total dari 39 saksi yang dipanggil untuk diperiksa, 22 saksi mengatakan kasus Ahok itu bukan penistaan agama. Dari enam ahli pidana, empat menyatakan bukan kasus pidana.
Saat gelar perkara, tidak semua saksi dan ahli itu dihadirkan. Dari total enam ahli gelar perkara, empat mengatakan pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu itu bukan penistaan agama. Sedangkan untuk enam ahli agama, lima mengatakan dengan pernyataannya itu Ahok telah melakukan penistaan agama. Dua dari lima ahli agama yang menyatakan Ahok telah melakukan penistaan agama itu adalah ahli agama dari MUI Abdul Chair Ramadhan, dan ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia Muzakir, maka tak heran mereka pasti satu suara dengan MUI.
Dengan perbedaan yang tajam itu polisi tetap bersikukuh untuk meneruskan perkara ini ke pengadilan, konsekuensinya kasus tersebut dinaikkan ke tingkat penyidikan, dan Ahok ditetapkan sebagai tersangka.
“Keganjilan” di Tahapan Penyidikan
Di tahapan penyidikan terlihat adanya “keganjilan” yang sepertinya sengaja dilakukan penyidik agar kasus ini dapat segera mulus lolos sampai di pengadilan, yaitu dalam pemeriksaan kembali para saksi dan ahli, penyidik hanya memanggil saksi dan ahli yang sebelumnya telah berpendapat Ahok melakukan penistaan agama.
Para saksi, ahli pidana, dan ahli agama yang sebelumnya berpendapat Ahok tidak melakukan penistaan agama, tidak dipanggil lagi. Alhasil, seluruh saksi dan ahli di tahapan penyidikan itu menyatakan Ahok melakukan penistaan agama.
Pada tahapan penyidikan ini, para saksi dan ahli yang diperiksa hanya mereka yang sebelumnya sudah berpendapat Ahok melakukan penistaan agama. Yang diperiksa adalah 12 saksi pelapor, 6 saksi saat kejadian, 2 ahli bahasa, 5 ahli agama, 4 ahli pidana, 10 saksi dari tersangka, dan 1 saksi dari Laboratorium Forensik Polri.
Ahli pidana dari Bareskrim Polri yang diperiksa tahap ini adalah guru besar pidana Universitas Gajah Mada Edward Omar Sharif Hiariej. Sebelumnya, Edward berpendapat pernyataan Ahok bukan penistaan agama, tetapi entah mengapa ia mengubah pendapatnya itu dengan mengatakan perbuatan Ahok itu dapat dikategorikan sebagai penistaan agama.
Tiga ahli pidana dari polisi yang di tahap penyelidikan mengatakan tidak ada penistaan agama dalam kasus Ahok itu, tidak lagi diminta keterangannya. Salah satunya guru besar Universitas Krisnawipayana, Indriyanto Seno Adji. Mantan Wakil Ketua KPK ini mengaku tidak tahu kenapa dia tidak dipanggil lagi, padahal sebelumnya, ketika ia ada di Tokyo, Jepang, ia sampai diminta Bareskrim Polri agar bersedia menjadi saksi ahli untuk kasus tersebut.
Ahli bahasa yang diperiksa pada tahap penyidikan adalah yang sebelumnya berpendapat pidato Ahok bermuatan penistaan agama. Mereka adalah dua ahli bahasa dari pelapor, pengajar di Universitas Mataram, NTB. Salah satunya adalah Husni Muadz. Sebelum diminta keterangannya sebagai saksi ahli agama itu, dalam beberapakali pernyataannya di publik, Husni sudah menyatakan pidato Ahok itu merupakan penistaan agama.
Lima ahli agama yang diperiksa pada tahap penyidikan itu adalah mereka yang juga sebelumnya (di tahapan penyelidikan dan gelar perkara) sudah mengatakan Ahok menistakan agama. Mereka adalah ahli agama dari Muhammadiyah yang juga Wakil Ketua MUI Yunahar Ilyas, Wakil Rais Am PB Nahdlatul Ulama Miftahul Akhyar, dan anggota Komisi Fatwa MUI, Hamdan Rasyid. Dua lagi dari pelapor, yakni Ketu Umum FPI Muhammad Rizieq Shihab dan guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Muhammad Amin Suma.
Dengan komposisi saksi-saksi, dan para ahli seperti tersebut di atas, sudah sangat jelas mereka semua pasti menyatakan kepada penyidik, Ahok telah melakukan penistaan agama itu. Terutama sekali dari MUI, dan dari pelapor: Ketua Umum FPI Rizieq Shihab.
Logika hukumnya, sebagai pihak pelapor seharusnya mereka tidak boleh dijadikan saksi ahli (agama) untuk kasus Ahok itu. Yang namanya ahli itu kan seharusnya bebas dari segala kepentingan ketika menyatakan pendapatnya, bagaimana bisa penyidik justru menggunakan ahli-ahli yang jelas-jelas pihak yang juga melaporkan Ahok atas tuduhan penistaan agama itu.
Kejaksaan Agung Ditekan Massa
Selesai di Kepolisian, kasus Ahok juga diistimewakan di Kejaksaan Agung, dikebut secepat-cepatnya, juga karena tak lepas dari tekanan massa. Sejarah hukum baru pun tercipta di sini.
Hanya dalam waktu tiga hari, lembur tanpa libur, 13 jaksa pidana umum di Kejaksaan Agung merampungkan berkas perkara penistaan agama Ahok tersebut, dan langsung dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sendiri mengaku bahwa percepatan pemberkasan perkara itu untuk memenuhi tuntutan masyarakat: “Kami bergerak cepat untuk merespon tuntutan masyarakat,” kata dia.
Seorang jaksa senior juga mengatakan, proses perkara Ahok yang sangat cepat itu sangat tidak lazim, bahkan belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, jaksa butuh waktu paling cepat tiga minggu sejak menerima berkas perkara dari penyidik Polri sampai ke pengadilan. Ia mengatakan proses percepatan itu tak lepas dari hasil pembicaraan Kapolri dengan Jaksa Agung. “Kalau tidak ada ‘permintaan khusus,’ tidak mungkin secepat ini,” ujarnya.
“Kasus ini bola panas bagi kejaksaan karena tekanan politik yang tinggi,” tambahnya.
Bola Panas untuk Polisi, Jaksa, dan Hakim
Bola panas itu adalah tekanan massa, oleh karena itu polisi tak mau lama-lama berada di bawah tekanan massa itu, maka bola panas itu pun secepatnya dilemparkan ke Kejaksaan Agung, dan Kejaksaan Agung pun tak mau lebih lama lagi memegangnya, bola panas itu pun dilemparkan secepat-cepatnya ke pengadilan.
Rentetan proses hukum dari Bareskrim Polri sampai ke Kejaksaan Agung sebagaimana saya uraikan di atas itulah sesungguhnya yang dimaksud oleh Ahok dan tim penasihat hukumnya sebagai pengadilan yang dijalankan karena tekanan massa (trial by the mobs).
Jika tak ada tekanan massa, besar kemungkinan tidak akan ada sidang bagi Ahok. Kalau pun ada, tidak akan berjalan dengan cara-cara yang tidak lazim sebagaimana disebutkan di atas. Sesuai dengan aturan internal polisi, pemeriksaan terhadap Ahok baru akan dilakukan polisi setelah pilkada 2017 selesai.
Jadi, aneh sekali, Majelis Hakim justru mengatakan pengadilan terhadap Ahok tersebut (baca: proses hukum Ahok) tidak dipengaruhi oleh tekanan massa. Apakah mereka sendiri nanti tidak terpengaruh dengan tekanan massa?
Bola panas itu kini ada di pengadilan, dan apakah Majelis Hakim yang mengadili kasus Ahok tersebut sungguh-sungguh tidak takut dengan “bola panas” atau tekanan massa tersebut?
Yang jelas Ketua FPI Muhammad Rizieq Shihab sudah berkali-kali secara terang-terangan melancarkan ancamannya terhadap Presiden, polisi, jaksa, dan kelihatannya ketiga-tiganya dapat “ditaklukkan” oleh FPI, tinggal sekarang, bagaimana dengan Majelis Hakim di pengadilan Ahok itu.
Hukum telah dibuat menjadi obyek negosiasi, dengan pemerintah, polisi, kejaksaan, dan pengadilan selalu memposisikan diri pada posisi yang lebih lemah, yang menurut saja apa yang dikehendaki kekuatan ormas beratribut agama dengan kekuatan massanya itu.
Ancaman terbuka terbaru Rizieq Shihab dilakukan pada 7 Desember 2016. Di dalam orasinya itu, Rizieq mengancam kepada pengadilan, agar jangan sampai berani memutuskan Ahok tidak bersalah, jika pengadilan berani melakukan itu, ia akan mengerahkan kekuatan massa lebih besar lagi, bukan untuk aksi bela Islam lagi, tetapi untuk melakukan revolusi, menduduki gedung DPR/MPR.
"Tetapi yang ada revolusi, jadi jangan coba-coba (pengadilan membebaskan Ahok). Maka saya teriak revolusi!" seru Rizieq Shihab, "Jadi jangan turun lagi di Istana, Monas, HI, langsung kita sambangi ke Gedung DPR/MPR."
Apakah Majelis Hakim yang mengadili Ahok itu akan “lebih berani” daripada Presiden, Polri, dan Kejaksaan Agung, dengan memutuskan kasus Ahok itu sesuai dengan keyakinan dan hati nuraninya?
Dari keputusan sela yang telah diputuskan itu, kelihatannya mereka belum menunjukkan keberaniannya itu. Dengan menolak seluruh eksepsi Ahok, angin kembali justru diberikan kepada para penganut radikalisme, antipluralisme, dan intoleran itu. Padahal, sangat jelas, Ahok memang tidak bermaksud melakukan penistaan agama itu.
Ahok hanya “keseleo lidah”, tak sengaja telah membuat sebagian umat Islam tersinggung, ia sudah menyatakan penyesalannya yang teramat dalam atas kejadian tersebut, ia sudah meminta maaf berkali-kali. Seharusnya kasus ini cukup diselesaikan dengan musyawarah.
Tetapi, apa mau dikata, namanya saja musuh-musuhnya itu sudah lama selalu mencari-cari kesalahan Ahok, begitu ada kejadian ini, mereka pun tak akan pernah mau melepaskannya, tiada maaf bagi Ahok, apa pun yang terjadi, Ahok harus dipenjarakan. Ironisnya, para penegak hukum justru memberi ruang kepada mereka, ketimbang kepada Ahok yang jelas-jelas sudah membuktikan bahwa dirinya adalah pimpinan yang baik, yang benar-benar bekerja untuk rakyat.
Ahok menjadi seperti Yesus di hadapan sidang Pilatus, ia yang tidak bersalah malah yang diadili, sedangkan mereka yang menganggap dirinya suci, tetapi hatinya penuh dengan kedengkian dan kebencian antara sesama manusia, yang menyebarkan kebenciannya itu ke mana-mana, dari mulut mereka dengan entengnya menyebutkan kata: “Bunuh, bunuh, bunuh ... ”, malah dibiarkan bebas berkeliaran meneruskan perbuatan mereka itu. *****
Sumber Data:
Majalah Tempo, 21-27 November 2016
Majalah Tempo, 5-11 Desember 2016
CNN Indonesia 1, CNN Indonesia 2, JPNN.com, Arah.com 1, Arah.com 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H