Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jessica dan Dua Kisah Pembunuhan

23 Oktober 2016   23:11 Diperbarui: 24 Oktober 2016   11:26 5644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jessica Kumala Wongso (Tribunnew.com)

Setelah melewati 31 kali sidang yang sangat melelahkan, kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso, kini hanya menunggu vonis hakim yang akan dilaksanakan pada Kamis, 27 Oktober 2016: Apakah Jessica akan diputuskan bersalah ataukah tidak bersalah (bebas). Jika putusannya bersalah, vonis berapa tahun penjarakah yang akan dijatuhi hakim kepadanya? Mungkinkah akan ada vonis hukuman mati?

Jessica didakwa telah melakukan pembunuhan terhadap sahabatnya sendiri, Mirna, pada 6 Januari 2016, di Kafe Olivier, di Grand Indonesia Mall, Jakarta Pusat, dengan cara memasukkan racun sianida ke dalam Es Kopi Vietnam yang dikonsumsi Mirna.

Dari proses sidang yang sudah berlangsung selama berbulan-bulan itu, tampaknya Jaksa Penuntut Umum kesulitan untuk membuktikan secara meyakinkan bahwa Jessica-lah yang memasukkan racun sianida ke dalam kopi Mirna, yang menyebabkan matinya.

Yang bisa ditampilkan Jaksa hanya beberapa saksi ahli, seperti saksi ahli digital forensik, saksi ahli patalogi, saksi ahli toksitologi, dan psikolog, yang semuanya hanya mengajukan pendapat dan analisa-analisanya yang sepertinya dicocok-cocokkan dengan dakwaan Jaksa.  

Pengacara Hotma Paris Hutapea memberi istilah kepada psikolog-psikolog itu sebagai “tukang ramal berijazah,” karena ia meragukan daya dan kualitas analisa para psikoog itu, yang menyebutkan beberapa hal sebagai suatu kejanggalan dalam kasus tersebut, padahal hal itu sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar saja.

Pengacaranya Jessica, Otto Hasibuan mengatakan, ada kemungkinan Mirna bukan mati karena racun, tapi karena suatu penyakit yang tidak diketahui, dan bahwa racun yang berada di dalam kopi tersebut bisa saja baru dimasukkan setelah Mirna meninggal (berarti ada pihak yang mencoba merekayasa kasus ini?).

Dalam replik yang dibacakannya sendiri, Jessica mengatakan sehari sebelum kejadian, pada 5 Januari 2016, ada saksi yang bernama Amir Papilia, secara tak sengaja melihat orang yang menyerupai Arief Soemarko (suami Mirna) menyerahkan sebuah bungkusan hitam kepada seorang yang menyerupai barista Olivier, Rangga Dwi Saputra. Bungkusan tersebut dicurigai berisi uang untuk Rangga, sebagai imbalan menaruh racun di kopi Mirna.

Arief pun membantah, menyatakan saksi yang dimaksud Jessica itu telah mengfitnah dia dan Rangga. Arief dan Rangga pun berencana menggugat saksi itu, setelah vonis Jessica dibacakan.

Jessica juga menyatakan kekhawatiran terhadap adanya hubungan yang sangat dekat antara Jaksa dengan ayah Mirna, Darmawan Salihin. Ia khawatir hubungan tersebut telah mempengaruhi Jaksa dalam mengajukan tuntutan kepadanya, apalagi katanya, tante Mirna pernah mengatakan sudah habis banyak uang untuk kasus tersebut.

Darmawan Salihin membantah keras semua tudingan tersebut. Dengan geram ia berkata, ia akan mencium kaki Jessica, jika ternyata yang membunuh anaknya itu adalah suaminya sendiri. Dan ia akan mencincang Arief jika ternyata Arief-lah yang membunuh anaknya itu.

Siapa yang benar?

Sebenarnya secara logika saja, jika memang Jessica-lah pembunuh Mirna, dengan cara memasukkan racun sianida ke dalam kopi Vietnam Mirna, maka alangkah bodohnya dia. Betapa tidak, dia yang mengajak Mirna minum kopi di Kafe Olivier, kemudian jika Mirna saat itu juga keracunan setelah minum kopinya, lalu mati, siapa lagi yang pertama kali dicurigai dan ditangkap kalau dia sendiri.

Kecuali jika memang Jessica menderita gangguan jiwa, seperti berkepribadian ganda, -- sesuatu yang juga tak terbukti dari hasil pemeriksaan tim psikiatri RSCM yang pernah dilakukan di awal pemeriksaan kasus tersebut.

Jika ada pihak ketiga yang sebenarnya sebagai pelaku pembunuhan tersebut, berarti pihak ketiga itu sangat cerdik, licik, dan jahatnya luar biasa. Mereka sengaja memanfaatkan momen pertemuan Mirna dengan Jessica itu, agar yang dijadikan tertuduh adalah Jessica.

Publik yang mengikuti kasus ini pun terbelah dua: mereka yang merasa yakin Jessica-lah pelaku pembunuhan itu, dan mereka yang merasa yakin bukan Jessica pelakunya.

Selain itu ada juga (tidak banyak) yang menduga bahwa sebenarnya tidak ada pembunuhan yang terjadi, Mirna mati karena suatu penyakit yang tidak diketahui, tetapi kemudian oleh pihak-pihak tertentu (di kepolisian?) direkayasa menjadikannya sebagai suatu kasus pembunuhan demi tujuan tertentu (seperti kenaikan pangkat?).

Maka, sampai dengan sekarang, di saat hanya menunggu vonis hakim yang hanya tinggal tiga hari lagi ini, kasus pembunuhan Mirna  itu masih misterius, bak cerita-cerita pembunuhan misterius ala Agatha Christie.

Pada novel-novel cerita pembunuhan misteri karya Agatha Christie, pembaca selalu digiring untuk mencurigai satu tokoh tertentu di dalam cerita itu sebagai pembunuhnya, tetapi ternyata kemudian bukan dia, dia malah menjadi korban pembunuhan berikutnya, lalu pembaca dibuat curiga tokoh yang lain, sampai pada akhirnya lewat detektif Hercule Poirot, atau Miss Marple, pembaca diberi kejutan bahwa ternyata pembunuhnya adalah orang yang tidak diduga-duga sebelumnya.

Akankah kisah nyata pembunuhan Mirna pun akan berujung seperti kisah pembunuhan misterius ala Agatha Christie itu? Dengan kata lain, ternyata bukan Jessica pembunuhnya, tetapi orang lain yang sama sekali tidak kita duga sebelumnya?

Waktulah yang akan menjawab.

Lalu, bagaimana dengan Jessica sendiri?

Apakah ia akan bernasib seperti Donté Drumm, ataukah ia ternyata punya karakter seperti Aaron Stampler?

Siapakah Donté Drumm dan Aaron Stampler?

Kedua nama ini adalah tokoh fiktif yang dituduh telah membunuh orang di dalam cerita pembunuhan yang sangat menarik untuk disimak.

Donté Drumm pada novel karya novelis ternama spesialis trailer hukum asal Amerika Serikat: John Grisham, yang berjudul “The Confession” (“Pengakuan”) dan Aaron Stampler pada film yang berjudul “Primal Fear” (1996).

Donté Drumm

Novel The Confession, terjemahan bahasa Indonesia (Foto: Penulis)
Novel The Confession, terjemahan bahasa Indonesia (Foto: Penulis)
Pada 22 Desember 1998, di Sloane, kota kecil di Texas Timur, seorang pemandu sorak football SMA Sloane bernama Nicole Yarber hilang diculik.

Setelah Kepolisian Sloane melakukan penyelidikan selama 18 hari yang dipimpin oleh Detektif Drew Kerber, mereka memperoleh saksi mata penting yang mengaku melihat pelaku penculikan. Saksi mata itu adalah teman SMA Nicole Yarber bernama Joey Gamble. Ia mengaku melihat pelaku penculikan itu yang tidak lain dari teman sekolah mereka sendiri, yaitu seorang pemuda kulit hitam pemain football SMA Sloane bernama Donté Drumm.

Berdasarkan petunjuk Joey Gamble, Detektif Drew Kerber dan partnernya Detektif Jim Morrissey berhasil menemukan Donté Drumm, dan membawanya ke kantor polisi. Sejak itu Donté Drumm tak pernah lagi menghirup udara bebas, tak pernah lagi pulang ke rumah ibunya yang sangat dicintai.

Donté Drumm diinterogasi secara marathon selama sehari penuh tanpa henti, mengintimidasinya dengan kesaksian Gamble, dan pengakuan seorang penghuni penjara yang mengaku melihat Drumm membawa Nicole Yarber dengan mobilnya, sebelum perempuan itu hilang.

Dengan menggunakan teknik interogasi yang sesungguhnya melanggar hukum, Drew Kerber berhasil memperoleh pengakuan dari Donté Drumm bahwa dialah yang menculik Nicole Yarber, memerkosa, dan membunuhnya, lalu membuang mayatnya dari atas sebuah jembatan ke sebuah sungai yang bernama Sungai Merah.

Meskipun mayat Nicole Yarber tidak pernah ditemukan, Drew Kerber dengan dukungan Jaksa Penuntut Umum Paul Koffe, berhasil membawa Donté Drumm ke depan sidang Pengadilan, sebagai terdakwa pelaku pembunuhan itu.

Dengan didampingi pengacara Robbie Flak, Donté Drumm pun diadili, Jaksa Penuntut Umumnya adalah Paul Koffe, dan Hakimnya Vivian Grale.  

Setelah melalui serangkaian persidangan yang melelahkan, Juri menyatakan  Donté Drumm bersalah telah melakukan kejahatan itu, dan Hakim Vivian Grate pun menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutan Jaksa Paul Koffe: hukuman mati (dengan cara disuntik).

Sembilan tahun kemudian, di saat hanya sehari lagi eksekusi hukuman mati terhadap Donté Drumm dilaksanakan, di sebuah gereja di Topeka, sebuah kota kecil di Kansas, 650 kilometer dari Sloane, seorang laki-laki berusia 44 tahun bernama Travis Boyette menemui Pendeta Keith Schroeder, untuk membuat sebuah pengakuan dosa yang sangat mengejutkan.

Dalam pengakuan dosanya itu dia mengatakan bahwa saat ini dia sedang menderita tumor otak (glioblastoma) stadium 4, yang tidak bisa disembuhkan, yang akan membuat dia tak lama lagi akan mati.

Sebelum mati, dia hendak mengaku kepada Pendeta Keith Schroeder bahwa 9 tahun lalu, di Sloane, dia telah menculik, memerkosa, dan membunuh seorang perempuan remaja bernama Nicole Yarber, dan menyembunyikan mayatnya dengan cara dikubur di sebuah tempat yang jauh  dan terpencil, yang sulit ditemukan.

Pada waktu itu, terang Travis Boyette, polisi telah menangkap orang yang salah, yang sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai nasib Nicole Yarber.

Besok, pukul 6 sore, di Sloane, kata Travis Boyette, mereka akan menghukum mati orang tidak bersalah itu, Donté Drumm (setelah memenjarakannya selama 9 tahun).

Ketika Dana Schroeder, istri Keith, mencari informasi tentang Travis Boyette di internet, diketahuilah bahwa ternyata dia adalah seorang penjahat kambuhan, yang telah melakukan berbagai kejahatan, terutama kejahatan seksual di empat negara bagian.

Pendeta Keith Schroeder sangat terkejut atas pengakuan Travis Boyette itu, tugasnya sebagai pendeta mengharuskan bahwa pengakuan dosa seseorang tidak boleh diberitahu kepada orang lain. Tetapi, jika ia tidak memberitahu pihak berwenang di Sloane, berarti mereka akan mengeksekusi mati orang yang sama sekali tidak berdosa.

Akhirnya, Pendeta Keith Schoeder memutuskan ia harus menyelamatkan nyawa orang yang tidak bersalah itu (Donté Drumm), dengan cara membujuk Travis Boyette mau membuat pengakuannya di hadapan pihak-pihak berkompeten di Sloane. Meskipun untuk itu mereka harus menempuh perjalanan darat dengan mobil menempuh jalan yang berkelok-kelok dari Topeka ke Sloane sepanjang 950 kilometer.

Sementara itu unjuk rasa bernuansa SARA menuntut pembatalan hukuman mati terhadap Donté Drumm mulai pecah di Sloane yang dilakukan oleh penduduk kulit hitam, mulai terjadi pembakaran-pembakaran, kerusuhan rasial semakin membesar dan anarkis, sehingga akhirnya pasukan garda nasional pun terpaksa diturunkan untuk meredamnya.

Ketih Schroeder akhirnya berhasil mempertemukan Travis Boyette dengan Robbie Flak, eksekusi mati tinggal 4 jam lagi. Boyette mengakui semua perbuatannya terhadap Nicole Yaber kepada Flak, termasuk di mana mayat Nicole Yarber dikuburkan, pengakuan itu dibuat afidavitnya, dan direkam ke dalam kaset video.

Dengan waktu tinggal dua jam menjelang eksekusi, Flak mencoba mengirim melalui surel petisi penangguhan eksekusi disertai dengan afidavit dan video pengakuan Travis Boyotte kepada Mahkamah Agung, Mahkamah Banding Kriminalitas yang diketuai oleh Hakim Milton Prudlowe, dan kepada Gubernur Texas, Gill Newton.

Tetapi, Mahkamah Agung dan Mahkamah Banding Kriminalitas tidak terkesan dengan afidavit dan video pengakuan Travis Boyotte itu, mereka beranggapan itu hanya merupakan taktik pengacara mengulur-ulur waktu eksekusi, dan bahwa pengakuan seorang residivis seperti Boyotte tidak bisa dipercaya. Ia dianggap hanya mencari popularitas dan uang untuk pengakuan tersebut.

Sedangkan video yang ditujukan kepada Gubernur Texas diterima oleh asistennya, yang segera memberitahukannya kepada pengacara sekaligus sahabat baik sang Gubernur, Wayne Walcott. Waycott memutuskanvideo pengakuan itu tidak perlu disampaikan kepada Gubernur, karena kebenarannya diragukan. Apalagi, Gubernur sudah mengeluarkan pernyataannya bahwa dia tak akan mau memberi penangguhan eksekusi terhadap  Donté Drumm.

Saat itu menjelang pemilihan gubernur Texas yang baru, sebagai petahana, Gill Newton berupaya sedapat mungkin memperoleh suara dukungan sebanyak-banyaknya dari warga Texas, dengan mempertunjukkan sikap keras terhadap pelaku kejahatan pemerkosaan dan pembunuhan, yang disebutnya sangat biadab, diharapkan elektabilitasnya semakin naik.

(Peringatan kepada mereka yang bermaksud membaca buku “”The Confession” / “Pengakuan”, tulisan selanjutnya mengandung spoiler).

Di detik-detik terakhir, dengan susah payah Robbie Flak berhasil membujuk Joey Gamble untuk menandatangani afidavit pernyataan penarikan kesaksiannya di pengadilan Donté Drumm, karena semua kesaksiannya itu palsu, dan memang demikianlah yang sebenarnya terjadi. Kesaksiannya sembilan tahun yang lalu yang membuat Donté Drumm ditangkap, lalu dijatuhi hukuman mati itu adalah palsu, ia sengaja mengarangnya karena cemburu dengan Donté Drumm yang bersahabat dekat dengan Nicole Yarber.

Afidavit Joey Gamble itu baru selesai dibuat pada pukul 4 sore, dan berusaha dikirim ke kantor Pengadilan Hakim Milton Prudlowe, yang tutup pukul 5 sore. Tim pengacara Flak menelepon kantor pengadilan itu bahwa mereka sedang dalam perjalanan untuk menyampaikan afidavit Joe Gamble itu, tetapi pegawai kantor pengadilan itu tidak mau tahu. Tepat pukul 5 sore dia menutup kantor pengadilan itu. Ketika tim pengacara Flak tiba pukul 5 lewat 7 menit, kantor itu sudah tutup.

Semua upaya untuk menangguhkan eksekusi mati Donté Drumm pun gagal total.

Pukul 6 sore, di bilik kematian di penjara kota Sloane, dengan disaksikan oleh beberapa orang, di antaranya: Robbie Flak, Keith Schroeder, dan Roberta Drumm (ibu dari Donté Drumm) yang sangat terpukul jiwanya, eksekusi dilaksanakan: Donté Drumm yang tidak bersalah itu disuntik sampai mati.

Namun, Robbie Flake belum selesai, bersama Pendeta Keith Schroeder, mereka berhasil membujuk Travis Boyotte untuk menunjukkan di mana ia menguburkan mayat Nicole Yarber, sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan sebelum eksekusi mati itu dilaksanakan, karena tidak ada waktu lagi untuk itu.

Travis Boyette membawa mereka menempuh perjalanan darat selama lima jam  ke Newton County, Missouri. Bersama kepolisian setempat mereka memasuki sebuah wilayah terpencil di sana, melewati jalan-jalan setapak dan hutan lebat, di suatu tempat yang ditunjuk Boyotte, penggalian dilakukan, dan mayat Nicole Yarber berhasil ditemukan berikut benda-benda pribadinya sesuai dengan pengakuan Boyette. Pencarian dan penggalian kuburan Nicole Yarber itu direkam pula dengan video.

Berhasil ditemukan mayat Nicole Yarber berdasarkan petunjuk dari Travis Boyotte itu, merupakan bukti yang tak terbantahkan lagi bahwa pembunuh Nicole Yarber sebenarnya adalah Travis Boyotte, bukan Donté Drumm yang sudah mati dieksekusi itu.

Selanjutnya, setelah membeberkannya di hadapan seorang hakim senior di ruang kerjanya di Pengadilan Sloane,  Robbie Flak pun mengadakan konferensi pers, membongkar semua kebusukan pihak-pihak di balik kasus pembunuhan Nicole Yarber yang berujung pada pengeksekusian mati terhadap orang yang salah.

Mulai dari  Detektif Drew Kerber yang terbukti telah melakukan metode penginterogasian yang brutal dengan meneror mental dan memperdayai Donté Drumm, sehingga ia mengakui semua perbuatan yang dituduhkan kepadanya itu. Krebber adalah arsitek utama dari kasus salah eksekusi tersebut.

Joe Radford, yang kini menjadi Kepala Polisi Kota Sloane, pada waktu Drew Kerber menangkap dan menginterogasi Donté Drumm dengan metode yang sebenarnya melanggar hukum itu, ia adalah Wakil Kepala Polisi, yang mengetahui kejadian itu, tetapi membiarkannya.

Jaksa Penuntut Umum Paul Koffe yang bersekongkol dengan Drew Kreber untuk memuluskan persidangan terhadap Donté Drumm sesuai dengan skenario mereka.

Hakim Vivian Grale yang ternyata ketika persidangan itu berlangsung berselingkuh dengan Jaksa Paul Koffe, dan memutuskan perkara tersebut sesuai dengan tuntutan Paul Koffe.

Hakim Milton Prudlowe yang mengabaikan afidavit di detik-detik terakhir dari Joey Gamble.

Hingga pada Gubernur Texas, Gill Newton, yang menolak menangguhkan eksekusi mati Donté Drumm, meskipun sudah ada afidavit dan video pengakuan dari Travis Boyotte, yang dikirim kepadanya.

Robbie Flak lalu mengirim kepada pengadilan sedikitnya dua tuntutan pidana dan perdata kepada masing-masing dari mereka, yang sudah pasti akan membayar sangat mahal dengan kariernya yang tamat, dan hartanya yang akan terkuras habis unutuk gugatan dari Flak itu.

Aaron Stampler

Poster film Primal Fear (impawards.com)
Poster film Primal Fear (impawards.com)
Seorang pastor bernama Richard Rushman di Chicago tewas dibunuh dengan cara yang sadis. Ia dihujani dengan 78 tusukan pisau besar, kedua matanya ditusuk dengan pisau itu. Ruang kerjanya acak-acakan, penuh dengan bercak darahnya.

Seorang remaja anak altar bernama Aaron Stampler (Edward Norton) dengan pakaian penuh dengan bercak darah melarikan diri dari rumah sang Pastor, dikejar puluhan polisi.

Ia akhirnya ditangkap, ditahan, dan segera ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan itu.

Seorang pengacara besar yang terkenal di Chicago, Martin Vail (Ricahrd Gere) secara kebetulan melihat berita tersebut di televisi, instingnya langsung mengatakan ini kasus besar pasti akan menarik perhatian banyak sekali orang.

Maka, ia pun bergegas menemui Aaron Stampler di sel tahanannya, menawarkan dirinya sebagai pengacaranya secara pro bono alias gratis. Bukan tanpa maksud pengacara besar tapi arogan itu mau menjadi pengacara pro bono, ia tahu kasus itu adalah kasus besar, yang jika berhasil dimenanginya akan semakin melambung nama besarnya.

Apalagi setelah ia bertemu langsung dengan Aaron Stampler dan mewawancarainya, Martin Vail yakin Aaron Stampler yang berusia 19 tahun, berpenampilan lugu, penakut, yang bicaranyanya tergagap-gagap itu tidak bersalah.

Aaron Stampler mengaku kepada Martin Vail, ia bukan pembunuh Pastor Richard Rushman. Ketika ia hendak mengembalikan sebuah buku kepada Pastor ia mendengar suara-suara di ruang kerja Pastor, begitu masuk ruangkerja itu, ia sempat melihat sekelabat bayangan orang, lalu melihat tubuh Pastor yang berlumuran darah tergeletak di lantai, lalu ia tidak ingat apa-apa lagi.

Ketika ia sadar, ia melihat sekujur tubuhnya penuh dengan darah, lalu ia mendengar sirene polisi, ia ketakutan, lalu melarikan diri dari rumah itu, sebelum akhirnya ditangkap polisi.

Menurut Aaron ia sudah lama mengalami kelainan tersebut, yaitu kadang-kadang menghadapi keadaan tertentu, ia bisa tiba-tiba tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya, ia mengalami lost time, atau black out.

Sedangkan mengenai hubungannya dengan Pastor Richard Rushman, sangat baik, seperti anak dengan ayahnya. Ketika ia masih kecil dan menjadi pengemis jalanan, Pastor itu memungutnya, membawanya ke rumahnya dan mengasuhnya, sampai menjadi anak altar di kebaktian yang dipimpinnya.

Persidangan kasus pembunuhan Pastor Richard Rushman pun segera digelar, Jaksa Penuntut Umumnya adalah sahabat baik Martin Vail sendiri, yaitu Janet Venable (Laura Linney).

Meskipun bersahabat baik, saat di ruang sidang yang dipimpin oleh Hakim Miriam Shoat (Alfre Woodard) itu, mereka bertarung dengan mengerahkan seluruh kemampuan hukumnya masing-masing untuk menuntut dan membela, demi memenangi perkara tersebut.

Dalam pembelaannya itu Vail antaralain mengajukan argumen ketiadaan motif membunuh dari Aaron Stampler, tetapi ketika ia menemukan sebuah video di rumah Pastor Richard Rushman dan memontonnya, Vail sangat terkejut. Video itu membuktikan adanya motif Aaron Stampler untuk membunuh sang Pastor.

Video itu berisi kejahatan seksual (sexual abuse) yang dilakukan oleh Pastor Richard Rushman terhadap tiga orang anak altarnya, yaitu Aaron Stampler, seorang teman laki-lakinya, dan seorang teman perempuannya yang bernama Linda. Pastor itu menyuruh mereka melakukan adegan seks dan merekamnya.

Linda juga kemudian ditemukan tewas dibunuh.

Martin Vail datang ke sel tahanan Aaron Stampler dan memarahinya habis-habisan, karena telah menyembunyikan fakta tersebut, yang jika diketahui Jaksa, ia bisa dikirim ke penjara untuk dihukum mati.

Ketika dimarahi itulah, tiba-tiba perilaku Aaron berubah 180 derajat, dari seorang anak remaja yang sangat lugu, penakut, yang bicaranya selalu tergagap-gagap, menjadi seorang laki-laki yang beringas, suaranya berubah tegas dan kasar. Ia memaki-maki,  dan kemudian memukul Vail beberapa kali.

Sosok Aaron Stampler yang tiba-tiba berubah karakternya itu, mengaku bernama Roy. Roy mengatakan, ialah yang membunuh Pastor, demi membela Aaron Stampler yang ditindas secara seksual oleh Pastor.

Tentu saja, Vail sangat terkejut. Kebetulan sekali peristiwa itu disaksikan pula oleh Molly Arrington (Frances McDormand), psikiater yang disewa Vail untuk memeriksa kondisi kejiwaan Aaron Stampler.

Dari hasil analisisnya terhadap kondisi kejiwaan Aaron Stampler, Molly Arrington membuat kesimpulan bahwa Aaron Stampler menderita kelainan jiwa, yaitu berkepribadian ganda. Saat menjadi Aaron Stampler ia adalah seorang pemuda yang naif, tetapi jika berubah menjadi Roy, ia menjadi pemuda yang jahat, yang tidak segan-segan membunuh demi membela sisi kepribadiannya yang lain: Aaron Stampler.

Dengan hasil temuan Psikiater Arrington itu, di Pengadilan, Martin Vail meminta Hakim membebaskan Aaron Stampler, karena terdakwa menderita kelainan jiwa, yaitu berkepribadian ganda.

Tentu saja Jaksa Janet Venable tidak terima, dia mengajukan keberatan, karena tidak percaya Aaron Stampler menderita gangguan jiwa. Ia yakin itu hanyalah akal-akalan pihak pengacara untuk membebaskan kliennya karena sudah terbongkar motif pembunuhan kliennya dengan adanya bukti video tersebut.

Saat Jaksa terus berbicara semakin memojokkan Aaron, tiba-tiba sisi kepribadian Roy muncul lagi pada diri Aaron, ia langsung memaki dan menyerang Jaksa. Leher Jaksa Janet Venable pun dicekik kuat-kuat dari belakang. Untungnya Vail dan pihak keamanan Pengadilan bertindak cepat, dengan berhasil membebaskan Jaksa dari serangan Roy itu. Roy atau Aaron Stampler langsung dibawa kembali ke sel tahanannya.   

(Peringatan: kepada mereka yang bermaksud menonton film “Primal Fear” ini, tulisan selanjutnya mengandung spoiler!).

Martin Vail mendatangi sel tahanan Aaron Stampler, duduk bersamanya di sel itu, bertanya tentang keadaannya. Aaron menjawab kepalanya sakit.

“Apakah kamu tidak ingat kejadian barusan?” tanya Martin Vail.

Aaron menjawab sambil menggeleng kepalanya: “Tidak, loss time again.

Lalu Vail berkata sambil tersenyum, “Saya mendapat kabar baik. Mereka setuju untuk menghentikan sidang. Mereka akan mengirimmu ke rumah sakit untuk mendapat bantuan yang kau butuhkan. Kemungkinan besar, kau akan segera dikeluarkan.”  

Aaron sangat senang, ia berterima kasih sekali kepada Vail, dia bilang, ia tahu ketika Vail pertama kali datang ke selnya, Vail akan membebaskannya. Mereka berdua pun berpelukan.

Sebelum Vail meninggalkan sel itu, Aaron berkata kepadanya, “Mr. Vail, maukah kau menyampaikan maafku kepada Miss Venable? Aku harap lehernya baik-baik saja.”

Vail mengangguk, dan berjalan pergi.

Baru beberapa langkah, ia berhenti. Ia baru sadar ada sesuatu yang salah, lalu berbalik kembali kepada Aaron.

Katanya kepada Aaron, “Kau tadi bilang, kau tidak ingat, kau black out. Bagaimana kau bisa tahu mengenai lehernya?”

Sejenak Aaaron terdiam, kemudian tertawa, dan bertepuk tangan, sambil berkata: “Well, bagus buatmu, Marty. Tadinya, akan kubiarkan, kau tampak bahagia. Tapi, sebenarnya, aku senang kau tahu, karena ingin kuberitahu. Aku cuma tidak pasti, kau ingin dengar dari siapa: Aaron atau Roy, Roy atau Aaron.”

“Kuberitahu rahasia, seperti hubungan klien dengan pengacaranya. Tak jadi soal dari siapapun kau dengar cerita tetap sama. ... Aku harus bunuh Linda, Mr. Vail. Dia pantas dapatkan itu. ... Tapi, memotong Pastor brengsek Rushman.. itu merupakan karya seni!”

“Jadi, tidak pernah ada Roy?” tanya Vail menahan amarahnya.

Aaron tertawa mengejek, “Astaga, Marty, jika itu yang kau pikirkan, aku sangat kecewa padamu.” Lalu ia mengedip matanya kepada Vail, dan berkata:  “Tidak pernah ada Aaron, Pengacara!”

Jadi, selama itu, yang ada adalah Roy yang jahat, yang berpura-pura menjadi Aaron.

Ternyata, Roy adalah sungguh-sungguh seorang pembunuh psikopat yang sangat cerdik, sehingga mampu memperdayai seorang pengacara sehebat Martin Vail, dan juga mengelabui Pengadilan Amerika Serikat.

Simak ending scenedari "Primal Fear" yang paling mengejutkan itu:

**

Demikianlah dua kisah pembunuhan dari novel yang berjudul “The Confession” dan dari film yang berjudul “Primal Fear”, yang saya bandingkan dengan kisah nyata kasus pembunuhan Mirna dengan terdakwa Jessica itu.

Apa pun putusan hakim terhadap Jessica, akan tetap bisa saja meninggalkan pertanyaan: Apakah putusan hakim itu sudah sungguh-sungguh sesuai dengan fakta sebenarnya?

Kalau putusan Hakim: Jessica bersalah, terbukti secara sah dan meyakinkan telah membunuh Mirna;  apakah Jessica benar-benar pembunuh itu, ataukah ia telah menjadi korban salah vonis seperti yang dialami Donté Drumm?

Kalau putusan hakim: Jessika tidak bersalah, oleh karena itu harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum; apakah dia benar-benar tidak bersalah, ataukah dia ternyata sosok psikopat yang sangat cerdik bermain sandiwara seperti seperti Roy (Aaron Stampler), yang bahkan mampu memperdayai pengacaranya sendiri, dan Pengadilan? ******

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun