Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gubernur DKI Jakarta Memang Setara Menteri

22 Juli 2016   00:13 Diperbarui: 22 Juli 2016   00:34 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (sumber: jpnn.com)

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menyatakan, gubernur DKI memiliki kewenangan setara menteri, dan itu kata dia, tertulis di Undang-Undang.

Ahok mengatakan hal itu untuk menyindir Menko Kemaritiman Rizal Ramli yang mengatakan dia seperti bukan Gubernur DKI, tetapi karyawan pengembang. Rizal juga terkesan memposisikan gubernur DKI berada di bawah menteri yang harus taat terhadap keputusannya.

Pertanyaannya: Benarkah kedudukan gubernur DKI Jakarta itu setara dengan menteri, dan ada Undang-Undang yang menulis demikian?

Kekhususan, Keistimewaan, Kedudukan dan Kewenangan Gubernur DKI Jakarta

Sebenarnya, dari namanya saja: “Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta”, sudah tersirat bahwa kedudukan gubernur DKI Jakarta itu tidak sama dengan kedudukan gubernur-gubernur lainnya di seluruh Indonesia.

Dia adalah seorang gubernur di Ibu Kota Negara, pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tempat Presiden dan Wakil Presiden beserta seluruh anggota kabinetnya bekerja, pusat kegiatan perekonomian dan bisnis nasional dan internasional, jumlah penduduknya yang sangat besar, kota tempat berdomisilinya kedutaan-kedutaan besar seluruh negara sahabat dan kantor-kantor perwakilan asing lainnya, dan sebagainya.

Ada beberapa provinsi khusus/istimewa di Indonesia, yaitu Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua, dan Papua Barat, tetapi tidak satu pun guberner daerah-daerah itu yang mempunyai kekhususan dan kewenangan seperti gubernur DKI Jakarta.

Dalam posisi sebagaimana tersebut di atas, maka gubernur yang memimpin DKI Jakarta harus mempunyai keistimewaan dan kewenangan yang melebihi gubernur-gubernur lainnya di seluruh Indonesia. Dan, itu sudah diatur di Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kalau kedudukan gubernur-gubernur lainnya itu berada di bawah menteri, maka jika kedudukan gubernur DKI Jakarta yang lebih daripada mereka, bukankah memang sudah bisa ditafsirkan kedudukan gubernur DKI itu setara dengan menteri.

Undang-Undang Secara Tersirat Menyatakan Kedudukan Gubernur DKI Setara Menteri

Secara tersirat Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 sudah menyatakan kedudukan gubernur DKI Jakarta itu lebih tinggi daripada gubernur di daerah-daerah lainnya di seluruh Indonesia, status, dan kewenangannya yang melebihi gubernur-gubernur lainnya itu membuat level gubernur DKI Jakarta bisa dikatakan setara dengan menteri, meskipun hal tersebut masih harus diatur secara lebih khusus (spesifik) dan tegas lagi, dengan melalui revisi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tersebut.

Kewenangan gubernur DKI Jakarta yang tidak dipunyai oleh gubernur-gubernur lainnya di seluruh provinsi di Indonesia antara lain adalah dalam hal mengangkat dan memberhentikan wali kota, yang terdiri dari lima walikota di seluruh DKI Jakarta itu. Hanya gubernur DKI yang mempunyai kewenangan tersebut. Di provnsi lain, walikota dan bupati di provinsinya dipilih melalui mekanisme pilkada seperti biasa, langsung oleh rakyat setempat.

Kekhususan lainnya di DKI Jakarta adalah di dalam pilkada, jika di daerah lain di seluruh Indonesia pasangan calon kepala daerah cukup meraih suara minimal 50 persen plus satu, atau kalau tidak ada, maka cukup memperoleh minimal 30 persen plus satu untuk bisa ditetapkan sebagai pemenang pilkada, maka di DKI Jakarta, dengan pertimbangan statusnya sebagai Ibukota Negara itu, maka pasangan calon gubernur di pilkada DKI wajib memperoleh suara minimal 50 persen plus satu. Jika tidak ada yang memperoleh syarat tersebut, maka pilkada DKI harus memasuki putaran kedua dengan peserta dua pasangan calon yang terbanyak perolehan suaranya, agar salah satunya bisa memperoleh suara minimal 50 persen plus satu.

Selain kedua hal tersebut, beberapa poin penting di dalam Undang-Undang tentang Provinsi DKI Jakarta itu juga mengatur tentang status dan kewenangan gubernur DKI Jakarta yang bisa ditafsirkan setara dengan menteri, yaitu:

Di bagian konsideransnya, Undang-Undang itu menyatakan:

a. bahwa Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai daerah otonom yang berkedudukan sebagai

Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pasal 1 ayat 6 ayat (6), menyatakan:

6. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, selanjutnya disingkat Provinsi DKI Jakarta, adalah provinsi yang mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 4: Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsisebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.

Pasal 5: Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.

Pasal 26 ayat (7) dan (8):

(7) Dalam penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

(8) Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 31: Gubernur mempunyai hak protokoler, termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraansesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan ketentuan Pasal 26 ayat 8 di atas adalah bahwa sebagai Ibukota NKRI maka persoalan dan kepentingan DKI Jakarta juga merupakan kepentingan negara secara nasional, oleh karena itu di dalam rapat-rapat kabinet tertentu yang membahas mengenai persoalan Ibukota, maka gubernur DKI Jakarta diperlukan pula kehadirannya.

Contoh: mengenai persoalan pembahasan penghentian secara permanen reklamasi Pulau G, pantai utara Jakarta, Presiden Jokowi sudah mengagendakan rapat kabinet terbatas untuk membahasnya bersama para menteri terkait. Di dalam agenda rapat kabinet terbatas itu dipastikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta akan ikut hadir bersama para menteri terkait tersebut.

Yang dimaksud dengan ketentuan Pasal 31 tentang hak protokoler gubernur DKI Jakarta, misalnya di dalam acara-acara pelantikan pejabat tinggi negara oleh Presiden Jokowi di Istana Negara, maka Ahok sebagai Gubernur DKI biasanya juga turut diundang untuk menghadirinya bersama para menteri kabinet, seperti saat pelantikan Jendral Tito Karnavian sebagai Kapolri baru, pada 13 Juli lalu, dan pelantikan Suhardi Alius sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Istana Negara, pada 20 Juli lalu.

Jakarta sebagai Ibukota Negara dan Sebuah Megapolitan Harus Dipimpin oleh Gubernur Selevel Menteri

Dari ulasan tersebut di atas, maka tak diragukan lagi bahwa pernyataan Ahok bahwa status gubernur DKI Jakarta setara dengan menteri adalah benar, demikian juga ada dasar hukumnya. Meskipun tidak secara tegas menyebutnya seperti itu, tetapi secara tersirat Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia mengaturnya demikian.

DKI Jakarta dalam statusnya sebagaimana diulas di atas memang harus dipimpin oleh gubernur yang mempunyai kewenangan yang lebih luas dan kuat setara dengan menteri, apalagi Jakarta sekarang sudah berkembang sedemikian majunya dengan berbagai persoalan pelik khas sebuah megapolitan, ya, Jakarta sudah lebih tepat disebut sebagai suatu megapolitan daripada metropolitan.

Megapolitan adalah kota dengan ciri-ciri:

(1) jumlah penduduk yang sangat besar;

(2) jaringan yang tercipta menggambarkan keterkaitan bukan saja berskala nasional tapi juga internasional;

(3) dari sudut ruang, menggambarkan adanya keterkaitan antar berbagai kota secara individual bahkan penggabungan (“Mengelola Megapolitan Jakarta: Quo Vadis”, Jurnal oleh Irfan Ridwan Maksum, Departemen Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, Juli 2009).

Dengan  statusnya sebagai sebuah megapolitan, maka seharusnya Jakarta juga memiliki sarana dan prasarana transportasi massal yang memadai, terjaminnya kepastian hukum, ketertiban, dan keamanan, terjaminnya kesejahteraan dan kesehatan penduduknya, sistem pendidikan yang berkwalitas dunia, terbebas dari masalah sampah, banjir, kemacetan, dan sebagainya.

Untuk terpenuhinya semua hal tersebut, maka sangat penting adanya koordinasi dan kerjasama komprehensif antara gubernur DKI Jakarta dengan kepala-kepala pemerintahan daerah di sekitar Jakarta yang juga berfungsi sebagai kota-kota penyanggah Jakarta, seperti Depok, Bogor dan Bekasi (Jawa Barat), dan Tangerang (Banten).

Namun, dalam kenyataannya kerjasama tersebut selama ini belum terjalin baik, sebaliknya tak jarang menimbulkan berbagai persoalan antara DKI Jakarta dengan daerah-daerah penyanggahnya itu. Salah satu paling aktual adalah perselihan mengenai tempat pengolahan sampah terpadu Bantargebang antara Bekasi dengan DKI Jakarta.   

Kekisruhan itu bisa terjadi karena meskipun koordinasi dan kerjasama antara DKI dengan daerah-daerah penyanggahnya itu sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang DKI Provinsi Jakarta sebagai Ibukota NKRI, tetapi pengaturan tentang kewenangan gubernur DKI Jakarta sebagai koordinatornya belum diatur secara jelas. Gubernur DKI Jakarta tidak bisa ikut mengatur di daerah-daerah penyanggah Ibu Kota tersebut.

Akibatnya, persoalan transportasi massal, kemacetan, banjir, dan sebagainya di DKI Jakarta itu seperti lingkaran setan yang kian lama kian ruwet. Karena sebagai Ibu Kota dan sebuah megapolitan Jakarta sangat tergantung pada daerah-daerah penyanggahnya itu. Dari daerah-daerah itu pula mengalir sangat banyak para pekerja yang setiap hari kerja datang dan pergi ke dan dari Jakarta.

Sehebat apapun seorang gubernur di DKI Jakarta, tetapi kalau daerah-daerah penyanggahnya itu “tidak mau diatur”, maka berbagai persoalan klasik dan super pelik Ibukota tidak akan pernah bisa diatasi.

 

Banjir Jakarta tak akan bisa tuntas diatasi jika penataan kawasan-kawasan penyanggah itu tidak sinkron dengan penataan wilayah di DKI, demikian juga dengan pengaturan sistem integrasi sarana dan prasarana transportasi massal, termasuk kelak MRT. Jika tak ada yang bisa mengordinasi dan mengatur daerah-daerah penyanggah itu bersama dengan DKI, maka akan sulit menyatukan jalur MRT DKI Jakarta dengan daerah-daerah penyanggah tersebut.

Meskipun demikian, saat ini Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sudah melakukan beberapa terobosan hasil kerjasamanya dengan pemerintah daerah kota penyanggah terkait transportasi massal yang teringrasi dengan transportasi DKI Jakarta, seperti berhasil membuka enam rute baru TransJakarta.  Di antaranya tujuan Bekasi dan Depok (Universitas Indonesia), sejak 25 April lalu. Semua rute baru ini terhubung dengan koridor dan halte Transjakarta.

Tentu saja semua itu belumlah cukup, masih tetap diperlukan adanya ketentuan hukum yang secara tegas mengatur mengenai kewenangan gubernur DKI Jakarta yang dibuat selevel dengan menteri agar bisa mengordinasikan dan mengatur kawasan-kawasan penyanggah di luar wilayah DKI Jakarta, agar benar-benar sinkron dengan pengaturan kawasan di DKI Jakarta.

Salah satu cara menerapkan wacana tersebut adalah dengan menetapkan DKI Jakarta sebagai Kota Megapolitan, sebagaimana konsepnya pernah diusulkan oleh Sutiyoso kepada Presiden SBY, saat ia masih sebagai Gubernur DKI Jakarta di periode kedua: 2002-2007, tetapi tidak mendapat respon dari SBY.

Sekarang, setelah ia menjadi bagian dari pemerintahan, Sutiyosa berencana untuk menyampaikan kembali gagasannya itu kepada Presiden Jokowi.

Konsep tersebut telah ditulis Sutiyoso dalam buku berjudul "Jakarta Megapolitan" yang terbit awal 2014. Konsep Megapolitan Sutiyoso itu adalah bagaimana mengintegrasikan tata ruang yang meliputi wilayah DKI Jakarta dan kawasan penyangga di sekitarnya.

Konsep itu dilaksanakan dengan membentuk sebuah lembaga megapolitan (yang dipimpin oleh gubernur DKI Jakarta). Lembaga itulah yang akan menangani tata ruang wilayah yang berkaitan dengan berbagai masalah Jakarta dan melibatkan daerah penyangga, seperti banjir, sampah, kemacetan, dan kependudukan. Masalah-masalah itu tidak bisa diselesaikan oleh DKI sendiri, tapi harus bersama daerah-daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Usulan Sutiyoso tersebut berpotensi besar bisa diterima Jokowi, karena Jokowi juga pernah menyatakan hal yang sama tentang problem besar Jakarta (dalam sebuah wawancara dengan Majalah Tempo ketika dia masih Gubernur DKI Jakarta), yang tidak pernah bisa dituntaskan karena keterbatasan kewenangan gubernur DKI Jakarta, yang tidak bisa menjangkau sampai di kota-kota penyanggah tersebut di atas.

Salah satu solusinya adalah menentukan dengan peraturan perundang-undangan Jakarta  sebagai suatu megapolitan dan memperbesar kewenangan gubernur DKI jakarta, sehingga benar-benar selevel dengan menteri. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun