(1) jumlah penduduk yang sangat besar;
(2) jaringan yang tercipta menggambarkan keterkaitan bukan saja berskala nasional tapi juga internasional;
(3) dari sudut ruang, menggambarkan adanya keterkaitan antar berbagai kota secara individual bahkan penggabungan (“Mengelola Megapolitan Jakarta: Quo Vadis”, Jurnal oleh Irfan Ridwan Maksum, Departemen Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, Juli 2009).
Dengan statusnya sebagai sebuah megapolitan, maka seharusnya Jakarta juga memiliki sarana dan prasarana transportasi massal yang memadai, terjaminnya kepastian hukum, ketertiban, dan keamanan, terjaminnya kesejahteraan dan kesehatan penduduknya, sistem pendidikan yang berkwalitas dunia, terbebas dari masalah sampah, banjir, kemacetan, dan sebagainya.
Untuk terpenuhinya semua hal tersebut, maka sangat penting adanya koordinasi dan kerjasama komprehensif antara gubernur DKI Jakarta dengan kepala-kepala pemerintahan daerah di sekitar Jakarta yang juga berfungsi sebagai kota-kota penyanggah Jakarta, seperti Depok, Bogor dan Bekasi (Jawa Barat), dan Tangerang (Banten).
Namun, dalam kenyataannya kerjasama tersebut selama ini belum terjalin baik, sebaliknya tak jarang menimbulkan berbagai persoalan antara DKI Jakarta dengan daerah-daerah penyanggahnya itu. Salah satu paling aktual adalah perselihan mengenai tempat pengolahan sampah terpadu Bantargebang antara Bekasi dengan DKI Jakarta.
Kekisruhan itu bisa terjadi karena meskipun koordinasi dan kerjasama antara DKI dengan daerah-daerah penyanggahnya itu sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang DKI Provinsi Jakarta sebagai Ibukota NKRI, tetapi pengaturan tentang kewenangan gubernur DKI Jakarta sebagai koordinatornya belum diatur secara jelas. Gubernur DKI Jakarta tidak bisa ikut mengatur di daerah-daerah penyanggah Ibu Kota tersebut.
Akibatnya, persoalan transportasi massal, kemacetan, banjir, dan sebagainya di DKI Jakarta itu seperti lingkaran setan yang kian lama kian ruwet. Karena sebagai Ibu Kota dan sebuah megapolitan Jakarta sangat tergantung pada daerah-daerah penyanggahnya itu. Dari daerah-daerah itu pula mengalir sangat banyak para pekerja yang setiap hari kerja datang dan pergi ke dan dari Jakarta.
Sehebat apapun seorang gubernur di DKI Jakarta, tetapi kalau daerah-daerah penyanggahnya itu “tidak mau diatur”, maka berbagai persoalan klasik dan super pelik Ibukota tidak akan pernah bisa diatasi.
Banjir Jakarta tak akan bisa tuntas diatasi jika penataan kawasan-kawasan penyanggah itu tidak sinkron dengan penataan wilayah di DKI, demikian juga dengan pengaturan sistem integrasi sarana dan prasarana transportasi massal, termasuk kelak MRT. Jika tak ada yang bisa mengordinasi dan mengatur daerah-daerah penyanggah itu bersama dengan DKI, maka akan sulit menyatukan jalur MRT DKI Jakarta dengan daerah-daerah penyanggah tersebut.