Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

BPK Bukan Lembaga Terpercaya

18 Juni 2016   23:02 Diperbarui: 18 Juni 2016   23:33 3580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanda betapa seriusnya seriusnya KPK menangani kasus ini antara lain adalah dengan cara mereka mengundang para ahli untuk memberikan keterangan seputar kasus tersebut, di antaranya ahli dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI).

Dari keterangan para ahli itu, semuanya mengarah pada kesimpulan bahwa tidak ada unsur pelanggaran hukum, kerugian negara, dan korupsi di dalam transaksi pembelian lahan Sumber Waras itu.

"Dari pendapat ahli tidak seperti itu (audit BPK). MAPI ada selisih, tapi tidak sebesar itu. Ahli ada yang berpendapat terkait NJOP (nilai jual obyek pajak) itu harga bagus," jelas Ketua KPK Agus Rahardjo kepada para wartawan di Gedung DPR (Rabu, 15/6/2016).

Namun, seperti yang sudah bisa diduga, sekalipun KPK telah menyatakan keputusannya tersebut secara profesional sesuai dengan kewenangannya, musuh-musuh politik Ahok tetap saja tidak mau menerimanya. Mereka tak mau menghormati proses hukum yang sudah dituntaskan KPK itu, karena itu dianggap menguntungkan Ahok, maka itu mereka pun mulai mencampuradukkan kasus hukum itu dengan kepentingan politik mereka. Fakta hukum diabaikan, faktor politik mulai dikedepankan, dengan cara-cara yang konyol dan memuakkan.

DPR sebagai salah satu musuh politik Ahok sengaja mempertanyakan hal yang tak masuk akal: kenapa antara BPK dengan KPK punya keputusan yang berbeda? Kenapa BPK bilang ada unsur merugikan negara (korupsi), tetapi KPK bilang sebaliknya.

Konyolnya, DPR cenderung lebih percaya BPK yang terdiri dari orang-orang parpol itu,  ketimbang KPK yang sampai detik ini merupakan lembaga yang paling dipercaya rakyat. Padahal BPK bukan lembaga penegak hukum kasus korupsi, sebaliknya KPK-lah lembaga penegak hukum itu, yang secara eksklusif diberikan Undang-Undang untuk melakukan pemeriksaan, penyelidikan, dan penyidikan kasus-kasus korupsi.

Eddy Os Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, dalam tulisannya berjudul KPK vs BPK, di Harian Kompas, Sabtu, 18 Juni 2016, menyebutkan alasan kenapa di dalam perbedaan kesimpulan tentang pembelian lahan Sumber Waras itu, hasil penyelidikan KPK-lah yang harus dipegang, bukan hasil audit BPK, antara lain bahwa audit yang dilakukan seorang auditor pada hakikatnya adalah menguji kepatutan terhadap peraturan perundang-undangan, prosedur atau sistem dan kepatutan. Jika ditemukan penyimpangan, maka dapat dilanjutkan dengan audit investigasi. Audit investigasi dilakukan untuk mendalami temuan yang diduga suatu penyimpangan, menemukan, dan mengumpulkan bukti kepada pihak yang berwajib untuk ditindaklanjuti.

Sedangkan penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik adalah serangkaian tindakan untuk menemukan dan mengumpulkan bukti dalam rangka menentukan ada-tidaknya suatu tindak pidana.

Kedua, adanya indikasi kerugian keuangan negara berdasarkan temuan BPK pada hakikatnya hanyalah berupa fakta. Apakah kerugian negara tersebut berada dalam ranah administrasi ataukah ranah perdata ataukah ranah pidana, harus dilakukan klarifikasi lebih lanjut. Klarifikasi itu bukanlah kewenangan BPK, bahkan BPK tidak memiliki preknowledge untuk menjustifikasi apakah kerugiannegara tersebut berada dalam ranah administrasi, ranah perdata, ataukah ranah pidana.

Ketiga, in casu a quo, dengan asumsi pemberitaan yang dilansir oleh berbagai media adalah benar bahwa dasar aturan yang digunakan oleh BPK untuk mengaudit sudah tidak lagi berlaku, maka telah terjadi error juris dalam menganalisis suatu peristiwa hukum. Dalam hukum berlaku adagium lex posteriori derogat lege priori, yang berarti aturan hukum yang baru mengesampingkan aturan hukum terdahulu.

Seandainya jika pada saat audit dilakukan terjadi perubahan peraturan perundang-undangan, maka dalam konteks yang demikian berlaku prinsip lex favor reo. Artinya, jika terjadi perubahan perundang-undangan, maka harus digunakan aturan yang lebih menguntungkan (bagi pihak yang diaudit).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun