[caption caption="Sumber gambar ilustrasi: skalanews.com"][/caption]Rabu, 17 Februari 2016, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa korupsi suap, Gubernur nonaktif Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan. Sedangkan istri muda Gatot, Evi Susanti yang juga menjadi terdakwa kasus itu, dituntut empat tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan.
Tentu saja ini merupakan tuntutan yang super ringan dibandingkan dengan jumlah uang korupsi yang telah diperoleh, apalagi Gatot adalah seorang pejabat tinggi negara, seorang gubernur, saat melakukan perbuatannya itu. Jumlah denda Rp. 200 juta itu bagi Gatot dan istrinya hanyalah recehan, belanja sehari-hari mereka saja bisa lebih dari itu.
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, vonis hakim pun kelak biasanya sama atau tidak jauh-jauh dari tuntutan jaksa.
Bahkan bukan tak mungkin jika kelak vonis hakim malah lebih ringan daripada tuntutan jaksa, seperti yang pernah terjadi dalam kasus korupsi pengadaan sarana dan prasarana di Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun, jaksa menuntut Dwi Enggo Tjahjono dengan 8 tahun penjara, tapi hakim mala memvonisnya hanya 2 tahun penjara.
Maka, besar kemungkinan vonis terhadap Gatot dan istrinya itu akan menambah daftar panjang koruptor yang dihukum super ringan, yang dari masa ke masa terus meningkat.
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam konferensi persnya pada Agustus 2015 sudah melaporkan kecenderungan semakin banyaknya hakim Tipikor yang memvonis ringan para koruptor. Fenomena ini masih terus berlanjut sampai sekarang.
Laporan ICW: Rata-rata vonis penjara terhadap koruptor pada semester I tahun 2015 adalah 2 tahun 1 bulan penjara. Rata-rata ini mengalami penurunan jika dibandingkan semester I tahun 2014 yang mencapai 2 tahun 9 bulan dan semester I tahun 2013 yaitu 2 tahun 6 bulan.
Angka rata-rata tersebut diperoleh dari pemantauan ICW terhadap 193 kasus korupsi dengan 230 terdakwa, dari Pengadilan Tipikor, banding di pengadilan tinggi, sampai dengan kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
Menurut peneliti ICW Emerson Yuntho, dari 230 terdakwaitu, hanya ada 4 koruptor yang dihukum berat. Di antara mereka adalah mantan Bupati Klungkung-Denpasar I Wayan Candra yang terlibat kasus korupsi dana pembangunan dermaga. Dia dihukum 12 tahun penjara.
Vonis berat lainnya dijatuhkan pada Direktur Utama PT Sanjico Abadi, Asep Aaan Priandi, yang terlibat kasus korupsi dana pengadaan alat kesehatan. Ia dihukum 12 tahun penjara. Direktur PT MAPNA Indonesia Mohammad Bahalwan dalam kasus korupsi Perusahaan Listrik Negara divonis 11 tahun penjara.Â
Yang keempat adalah politisi Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Ia dinyatakan bersalah dalam tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait dengan proyek pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang. Pengadilan menghukumnya 14 tahun (rappler.com).