Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kenapa Hanya "Deadpool" yang Dipermasalahkan?

14 Februari 2016   09:40 Diperbarui: 4 Maret 2017   22:00 3493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di media sosial saat ini sedang ramai dibicarakan tentang film “superhero” Deadpool. Bukan tentang filmnya, tetapi tentang penontonnya yang masih di bawah umur, padahal filmnya sudah berating Dewasa (D).

“Superhero” ditulis dengan tanda kutip, karena karakter tokoh Deadpool di film itu hanya kostumnya saja yang mirip dengan karakter superhero pada umumnya, sedangkan perilakunya jauh dari perilaku para superhero yang “sebenarnya.”

Deadpool bukan sosok pembela kejahatan, dia bertempur dengan para musuhnya hanya demi kepentingan pribadinya, membunuh demi dendam pribadinya, dan membunuh dengan sadis juga merupakan kegemarannya. Banyak mulut, suka mengeluarkan kata-kata makian kasar, tak senonoh, juga merupakan ciri khasnya.

Film ini juga dipenuhi dengan adegan kekerasan yang bedarah-darah, adegan telanjang, dan seks. Intinya film ini sangat tidak layak ditonton oleh anak-anak. Ini bukan film “superhero” yang boleh dilihat anak-anak.

Di negara asalnya sendiri, Amerika Serikat, oleh MPAA, Deadpool diklasifikasi sebagai film dengan rating R (Restricted), artinya, mereka yang belum dewasa (17 tahun) hanya boleh menontonnya jika didampingi orangtua/dewasa.

Di Tiongkok, karena faktor kontennya itu, Deadpool dilarang masuk ke negara tersebut.

Sedangkan di Indonesia, Lembaga Sensor Film (LSF) meloloskan Deadpool, dengan memberikannya rating D (Dewasa), artinya, hanya boleh ditonton oleh orang yang telah berusia 17 tahun ke atas.

Beberapa adegan yang dinilai terlalu sadis, adegan telanjang dan seks kena gunting LSF. Jadi, seperti biasa, meskipun sebuah film sudah di-rating “Dewasa,” LSF tetap saja yang menentukan adegan mana yang boleh atau tidak boleh dilihat para penonton dewasa itu.

Sedangkan, untuk adegan-adegan yang memperdengarkan umpatan-umpatan kasar dan tidak senonoh sepanjang film itu tidak dipotong LSF, karena pertimbangan dialog dan jalan ceritanya yang akan sangat terganggu jika adegan-adegan itu juga ikut digunting sensor LSF.

Dalam kondisi demikianlah saat Deadpool diputar di Indonesia, sejak 10 Februari lalu, justru banyak anak-anak di bawah umur yang dibawa orangtuanya ke bioskop-bioskop untuk menonton film itu. Demikian juga banyak anak-anak remaja (di bawah 17 tahun) yang nonton bareng film itu, tanpa didampingi orangtuanya.

Dari situasi inilah yang membuat film Deadpool itu menjadi pembicaraan ramai di media sosial. Para netizen pun ramai-ramai mengecam para orangtua “bodoh” dan “goblok” yang membawa anak-anak mereka menonton film penuh dengan unsur kekerasan, darah, telanjang, dan seks itu.

Sebuah grup guru-guru di WhatsApp (?) pun sampai menyebarkan seruan mereka kepada para orangtua agar jangan membawa anak-anak mereka yang masih di bawah umur untuk menonton film Deadpool itu.

Seruan itu pun dengan cepat menyebar luas di dunia maya, sampai mendapat respon dari LSF. LSF menyatakan apresiasi mereka terhadap inisiatif grup para guru dengan penyebaran seruan tentang melarang anak-anak menonton film itu. Psikolog Anak pun ikut meramaikan diskusi tentang anak-anak yang dibawa orangtuanya menonton film Deadpool itu, padahal sudah jelas dari LSF mengklasifikasikan film itu khusus Dewasa (D).

Anna Surti Ariani, seorang psikolog anak dan keluarga, misalnya, memberi resep, bagaimana jika ada orangtua yang sudah terlanjur membawa anak(-anak) yang masih kecil menonton film Deadpool, sebagaimana ditulis Tempo.co.

Jika situasinya sudah terlanjur, orangtua dan anak-anaknya sudah duduk manis di depan layar yang memutar Deadpool, maka pada adegan-adegan yang mengandung pornografi dan agresivitas, mata anak-anak bisa langsung ditutup.

"Tutup saja mata anak kita. Bilang kalau bagian itu tidak boleh ditonton," ujar Nina.

Jika adegan terlarang berjalan beberapa kali, maka tidak ada toleransi lagi. Segera ajak anak keluar dan jelaskan bahwa ternyata film tersebut bukan buat anak-anak. Sehingga mereka tidak boleh menonton.

Kalau anak protes dan memaksa tetap tinggal, teruskan untuk menutup mata mereka setiap kali muncul adegan yang tidak berkenan. "Toh, akhirnya mereka akan tidak betah. Keluar dari bioskop, alihkan dengan mengajak anak ke tempat makan atau main," Nina menyarankan.

Setelah anak-anak lebih tenang dan bisa duduk manis, pada anak yang besar, tanyakan apa saja yang mereka lihat tadi dan tanyakan pendapat mereka. "Anda bisa mengajukan pertanyaan seperti, 'menurut kamu baik, enggak film tadi? Layak tidak?' Diskusikan secara terbuka. Sekalian ambil kesempatan ini untuk mengedukasi mereka," pungkas Nina. *

Saran yang dikemukakan psikolog anak ini rada aneh. Sudah tahu Deadpool itu filmnya seperti apa, kok bukannya menyerukan orangtua jangan membawa anaknya yang masih di bawah umur menonton film itu, malah kasih resep bagaimana jika sudah terlanjur.

Terlanjur itu tak mungkin terjadi, karena sekarang para orangtua sudah tahu Deadpool itu memang bukan film anak-anak. Kecuali jika memang orangtua itu sendiri tidak peka terhadap pentingnya anak-anak dijauhkan dari materi-materi tak pantas sebagaimana banyak terdapat di Deadpool.

**

Membaca ulasan tersebut di atas, kesan apa yang kita peroleh?

Kesan saya: Kok, jadi begini ramai, rumit, ruwet, njlimet, ya, “hanya” mengenai anak-anak di bawah umur yang menonton film untuk orang dewasa (dalam hal ini Deadpool).

Padahal, masalahnya sebenarnya simpel saja, demikian juga solusinya, yang terpenting hanyalah tekad untuk menjalankan peraturan yang sudah lama ada.

Secara substantif masalah ini sebenarnya bukan masalah baru. Masalah ini sebenarnya sudah menahun, terus dipelihara sampai hari ini, sampai menjadi seolah-olah sudah bukan lagi suatu pelanggaran.

Demi kepentingan bisnis hal tersebut diabaikan, atau karena persepsi dan wawasan masyarakat kita yang memang masih rendah terkait adanya pengaruh besar yang berpotensi besar mempengaruhi jiwa seorang anak di kemudian hari dalam proses tumbuh kembang mentalnya dari film-film yang pernah dia tonton.

Saya sendiri pernah beberapakali menyinggung masalah ini di Kompasiana. Secara khusus, saya menulisnya dengan judul Ketika Anak-Anak Bebas Menonton Film-Film Dewasa di Bioskop. http://www.kompasiana.com/danielht/ketika-anak-anak-bebas-menonton-film-film-dewasa-di-bioskop_55f5bc16d192735d050420e0

Selama ini, bukankah memang sudah merupakan suatu pemandangan yang lazim, saat kita menonton suatu film dengan rating Dewasa, kenyataannya juga dengan bebas ditonton oleh anak-anak di bawah umur? Baik bersama orangtuanya, maupun hanya bersama teman-teman seusianya. Itu artinya apa? Artinya, selama ini pula klasifikasi umur, khususnya Dewasa yang diberikan oleh LSF pada film-film tertentu, dalam prakteknya selalu diabaikan oleh pihak bioskop. Pihak bioskop, dalam hal ini penjaga pintu bioskop tidak pernah menolak anak-anak di bawah umur yang hendak menonton sebuah film dengan rating Dewasa.

Sepengetahuan saya, penjual karcis bioskop juga tidak pernah mempermasalahkan pembeli karcis film dewasa, meskipun pembelinya adalah anak di bawah umur.

Dan, selama ini pula pihak pemerintah yang berwenang, khususnya LSF, dan pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak pernah serius mempersoalkannya dan mengatasinya, dahulu, sekarang, dan entah kapan lagi.

Termasuk dalam kasus film Deadpool ini, saya yakin, ramai-ramainya masyarakat mempersoalkan anak-anak di bawah umur menonton film ini, hanya berlangsung sesaat saja. Tanpa mampu mempengaruhi pihak yang berkompeten di pemerintahan menindaklanjutinya, agar kasus Deadpool ini menjadi kasus yang terakhir.

Buktinya, meskipun sudah ramai menjadi bahan pembicaraan, pihak bioskop masih tetap menerima dengan tangan terbuka jika ada anak-anak di bawah umur yang hendak menonton film ini. Alasannya, karena mereka dibawa orangtuanya, padahal jika mau konsekuen dengan rating yang sudah ditetapkan LSF, pihak bioskop dapat saja tetap menolak anak-anak itu, meskipun didampingi orangtuanya. Tiket yang sudah terlanjur dibeli, dikembalikan uangnya utuh. 

Pelaksanaan peraturan ini juga harus disertai dengan sosialisasi dari pihak bioskop dengan cara-cara tertentu yang efektif dan efesien.

Selain itu, seperti biasa, saat ini, bukan hanya Deadpool yang ditonton dengan bebas oleh anak-anak di bawah umur, tetapi juga film berating Dewasa lainnya, yang juga penuh dengan konten kekerasan dan kesadisan, di antaranya adalah The Revenant, yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio dan Tom Hardy, tanpa ada yang mempersoalkannya. Hanya Deadpool yang bikin ramai, seperti sekarang.

Keponakan saya punya sebuah pengalaman saat hendak menonton sebuah film dewasa di sebuah bioskop di Singapura. Saat hendak membeli tiketnya, petugas penjual tiket bertanya kepadanya, siapa yang hendak menonton film itu, Ketika dia menjawab, dia yang mau nonton, petugas itu bertanya, berapa usianya. Demikian juga saat keponakan saya itu hendak masuk bioskop, penjaga pintu menanyakan umurnya, dan meminta ID Card, untuk memastikan keponakan saya yang bertampang “baby face” itu benar sudah dewasa.

Kejadian seperti ini tak pernah terjadi di Indonesia, setidaknya demikianlah pengalaman saya selama ini.

Saya sendiri sudah cukup sering, saat menonton film dengan rating Dewasa, ada juga anak-anak di bawah umur yang ikut menontonnya, baik yang dibawa orangtuanya, maupun bersama teman-temannya. Mereka bisa masuk, tentu karena seizin penjaga pintu bioskop tersebut.

Dan, selama ini pula seolah-olah, itu bukan masalah.

Sekarang, setelah film Deadpool banyak ditonton anak-anak barulah dimasalahkan, ramai dibicarakan di media sosial, psikolog anak pun sampai ikut bicara, bahkan LSF pun ikut mengapresiasi para guru yang meng-broadcast seruan agar orangtua jangan membawa anak-anak di bawah umurnya. 

Padahal kuncinya ada pada pihak bioskop sebagai ujung tombak dari semua proses tersebut. Jika pihak bioskop sungguh-sungguh hendak mengimplementasikan secara konsekuen dan konsisten ketentuan tentang batas umur penonton film sesuai dengan rating yang ditentukan oleh LSF, maka tidak perlu ada lagi ramai-ramai seperti pada kasus Deadpool ini.

Jauh yang lebih penting dari pelaksanaan ketentuan batas usia penonton film di bioskop secara konsekuen dan konsisten itu adalah masyarakat kita menjadi teredukasi untuk selalu menonton film sesuai dengan usianya. *****

Sumber gambar: comingsoon.net

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun