Pada kesempatan itu, ada acara Megawati membagi-bagi tumpeng kepada beberapa tamu tertentu, termasuk kepada Jusuf Kalla dan Ahok. Saat giliran Ahok, suasana pesta tiba-tiba berubah semakin meriah, dengan tepuk tangan dan teriakan: “Ahok, Ahok.”
Ahok pun menjadi bintang di pesta HUT Megawati itu. Ke sudut mana saja dia berjalan, selalu saja ada peserta pesta yang mengikutinya, jabatan tangan, dan minta foto bersama (kompas.com)
Cara Ahok Menghargai Temannya
Dari pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh tentang Ahok, dan semakin akrabnya Ahok dengan PDIP/Megawati, wajar jika lalu muncul spekulasi bahwa Ahok akan digandeng partai politik, terutama sekali oleh PDIP. Meskipun, berulangkali Ahok telah menyatakan tetap memegang komitmennya untuk maju dari jalur independen bersama Teman Ahok, tanpa menepis dukungan dari partai politik asalkan mereka satu misi dan visi dengannya.
Namun, dari berbagai hasil survei, dan dari berbagai opini yang beredar di masyarakat dan dunia maya, dapat dikatakan bahwa publik, jauh lebih senang jika Ahok maju dari jalur perorangan (independen). Sikap ini dikemukakan karena persepsi publik terhadap partai politik secara umum sudah terlanjur rusak. Maka itu, publik juga khawatir Ahok akan ikut rusak jika mau dan berhasil dirangkul partai politik manapun juga.
Jika Ahok adalah seorang oportunis dan penggila jabatan sejati, besar kemungkinan dia akan tergoda dengan begitu hebatnya godaan dari partai politik untuk bergabung dengan mereka demi tercapai cita-citanya menjadi gubernur DKI Jakarta lagi untuk periode 2017-2022 mendatang. Apalagi dengan tingkat elektabilitas yang sedemikian tinggi, ditambah dengan kekuatan politik dari partai pendukung.
Jika dua partai besar, seperti Nasdem dan PDIP berkoalisi berhasil merangkul Ahok, tentu parpol-parpol lain, terutama sesama parpol yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat akan ikut tertarik untuk bergabung, maka betapa luar biasanya dukungan politik yang akan diperoleh Ahok, demikian pula akan semakin besarnya peluang dia menang di pilkada DKI 2017 mendatang itu.
Dengan sedemikian kuatnya dukungan partai politik serta peluang keuntungan besar yang diperolehnya, maka jika Ahok adalah seorang oportunis dan penggila jabatan sejati, mengejar jabatan demi kepentingan pribadinya, maka ia bisa saja akan tidak menghargai perjuangan Teman Ahok, mengkhianati mereka, melupakan, meninggalkan mereka sendirian dengan seluruh KTP pendukung yang sudah mereka peroleh dengan sangat susah payah itu, demi bergabung dengan partai politik. Ia bisa saja membuat berbagai alasan ala pejabat dengan hipokrit untuk membenarkan tindakannya itu.
Tetapi, karena Ahok bukan seorang oportunis, hipokrit, dan penggila jabatan sejati, maka ia tetap dapat bertahan dari godaan partai politik itu, ia tetap dengan prinsip dan komitmennya dengan tetap setia kepada rakyat DKI Jakarta secara langsung. Karena jika rakyat banyak sudah percaya dan menentukan pimpinannya, maka sebesar dan sekuat apapun partai politik, termasuk jika mereka semua bergabung melawan Ahok, maka dapat dipastikamn Ahok tetap menang. Karena yang dipilih rakyat itu adalah pimpinannya secara langsung, bukan melalui partai politik.
Seperti yang tejadi di Pilkada DKI 2012, ketika 11 partai politik besar dan menengah bersatu padu bersama pasangan calonnya melawan Jokowi-Ahok, yang hanya didukung oleh PDIP dan Partai Gerindra. Kemenangan besar justru diperoleh oleh Jokowi-Ahok.
Selain itu, Ahok juga pasti punya komitmen moral, bahwa adalah tindakan yang sangat hina, jika saja ia demi mendapat dukungan parpol itu, lalu berkhianat kepada Teman Ahok yang selama setahun belakangan ini dan masih terus berjuang, dengan sukarela mengumpulkan dukungan kepadanya.
Lebih baik berpegang pada prinsip moral dengan tetap bersikukuh berpegang pada komitmen semula untuk maju dari jalur independen bersama Teman Ahok, serta sebanyak mungkin rakyat Jakarta, meskipun toh akhirnya kalah, daripada menang bersama partai politik, tetapi menjadi seorang pengkhianat.