Melalui sidang MKD, rakyat Indonesia dipertontonkan permainan sinetron super konyol dan memuakkan melebihi sinetron konyol manapun di televisi-televisi swasta Indonesia oleh ketua dan para anggota MKD, saat para pengikut setianya di MKD itu berbagi peran, “bermain sidang-sidangan”, menyidangkan “the big boss”-nya sendiri, Setya Novanto itu.
Permainan sandiwara anggota-anggota DPR ini kembali terlihat saat kedudukan Setya Novanto kembali terancam. Kali ini jauh lebih serius, karena kasusnya itu bukan lagi diproses secara politik saat di MKD, tetapi, kini ditangani secara hukum oleh Kejaksaan Agung. Maka, peluang Setya menjadi tersangka, ditahan, disidangkan, dan dipenjarakan, terbuka lebar. Jika itu sampai terjadi, maka dapat dipastikan akan banyak pula anggota DPR yang ikut terseret bersama Setya Novanto.
Dengan memanfaatkan rapat kerja antara Komisi III dengan Jaksa Agung, pada 19 Januari lalu, sebagian besar anggota Komisi III, yang di antaranya juga pernah menjadi anggota MKD penyidang kasus etik Setya Novanto itu, kembali melakukan pembelaan dan perlindungannya terhadap Setya Novanto. Mereka mencecarkan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan kepada Jaksa Agung terkait penanganan perkara Setya Novanto oleh Kejaksaan Agung itu, dan terkesan kuat ingin mengintervensi kewenangan Kejaksaan Agung itu, agar kasus tersebut dihentikan penngusutannya.
Ketika Jaksa Agung HM Prasetyo tidak memenuhi kehendak mereka itu, mereka hendak membalasnya dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) kasus Freeport. Dalihnya, Panja dibentuk untuk membantu Kejaksaan Agung dalam mengusut perkara tersebut. Padahal, maksud mereka sebenarnya ingin mengintervensi kewenangan Kejaksaan Agung dalam melakukan pengusutan kasus itu.
Prasetyo sendiri berkali-kali sudah menjelaskan bahwa Kejaksaan Agung sama sekali tidak membutuhkan bantuan itu. Bahkan berkali-kali pula Prasetyo mengatakan kekhawatirannya bahwa jika Komisi III terus ngotot membentuk Panja, maka dikhawatirkan yang terjadi adalah suatu bentuk intervensi politik, yang hanya akan mengganggu kelancaran pengusutan kasus tersebut.
"Saya sudah sampaikan saat rapat (kerja dengan Komisi III) bahwa tidak perlu ada panja. Jika alasannya fungsi kontrol, saya rasa tidak tepat. Sebab, fungsi kontrol bukan berarti mencampuri proses hukum yang sedang berjalan," ujar Jaksa Agung HM Prasetyo, Jumat (22/1).
Prasetyo menambahkan, pihaknya mampu menangani kasus tersebut sesuai kapasitasnya. "Ini, kan, proses hukum. Proses politiknya sudah selesai di MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan). Jadi, untuk apa lagi ada panja," kata Prasetyo lagi (detik.com).
Kekhawatiran tersebut sangat beralasan.
Pencetus ide pembentukan Panja itu adalah Wakil Ketua Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman. Argumen Benny, Panja dibentuk untuk membantu secara politik Kejaksaan Agung dalam mengusut perkara yang diduga menjerat bekas Ketua DPR RI Setya Novanto.
Padahal, seperti yang disebutkan di atas, Prasetyo sendiri sudah berkali-kali secara langsung mengatakan kepada Komisi III bahwa Kejaksaan Agung tidak memerlukan bantuan seperti itu. Bantuan itu tak bisa dipungkiri lagi hanya sebuah bentuk strategi licik Komisi III untuk mengintervensi kewenangan Kejaksaan Agung mengusut kasus Setya Novanto itu, setelah permintaan mereka untuk menghentikan pengusutan kasus itu tidak dipenuhi Prasetyo.
Mereka berkali-kali menuding tekad Jaksa Agung mengusut kasus itu karena mempunyai kepentingan politik tertentu, padahal justru mereka sendiri dengan terang-benderang menunjukkan adanya kepentingan politik mereka dalam kasus Setya Novanto itu.