Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

(Larangan Ojek) Hukum untuk Manusia, Bukan Manusia untuk Hukum

19 Desember 2015   23:57 Diperbarui: 20 Desember 2015   11:08 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang melalui Kementeriannya, pada Kamis (17/12/2015) sempat mengumumkan larangan beroperasinya moda transportasi berbasis aplikasi internet, seperti Go-Jek, Uber, dan GrabTaxi, membuktikan masih ada pejabat tinggi negara yang cara berpikirnya masih sangat kaku, zakelijk, formalistik, letterlijk, terpasung hanya pada ketentuan hukum tertulis, tidak memperhitungkan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang terjadi di masyarakat.

Tak heran, begitu pengumuman itu diumumkan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono, pada Kamis itu, spontan mendapat reaksi negatif yang sangat cepat dan bertubi-tubi dari masyarakat, terutama dari netizen di dunia maya. Hashtag (tagar) #SaveGojek pun sempat menjadi trendic topic di Twitter. Kenapa “Go-Jek”? Karena memang di antara sekian banyak transportasi berbasis aplikasi itu Go-Jek-lah yang paling populer, dan yang paling dibutuhkan masyarakat perkotaan daripada yang lain.

Tulisan ini juga lebih fokus kepada moda transportasi ojek daripada taksi, yang lebih menonjolkan kontroversialnya dan kurang begitu dibutuhkan masyarakat pada umumnya. 

Presiden Jokowi pun cepat tangap. Dia langsung bercuit di akun Twitter-nya menyatakan ketidaksetujuan atas kebijakan yang diambil Menhub Ignasius itu, alasannya, karena ojek dibutuhkan rakyat. Dia memerintahkan Ignasius agar mencabut kembali peraturan tersebut, dan segera akan memanggilnya. Setelah cuitannya itu, Jokowi masih beberapakali menyatakan hal yang sama tentang kebijakan kontroversial Ignasius itu melalui beberapa kali keterangannya kepada wartawan, di akun Face Book-nya, dan di situs www.presidenri.go.id.

Ini, membuktikan Jokowi benar-benar serius dengan kasus ini.

Ignasius Jonan Tidak Memahami Perubahan Sosial

Hanya sehari umur pengumuman Menteri Perhubungan itu, Ignasius pun mematuhi perintah Presiden, dengan mencabutnya pada Jumat siang (18/12/2015).

Dilihat dari dasar pertimbangan yang membuat Menhub Ignasius Jonan mengeluarkan pengumuman yang melarang transportasi berbasis teknologi internet (aplikasi) itu tak diragukan lagi bahwa Ignasius memang tipe menteri yang kurang mengikuti perkembangan zaman. Zaman sudah berubah, ia masih berkutat dengan cara-cara berpikir konvensional.

Dia kurang berkomunikasi dengan masyarakat untuk mengetahui perkembangan sosial dan kebutuhan masyarakat masa kini yang terus berkembang seiring dengan berkembangnya tingkat kemampuan ekonomi, kebutuhan hidup dan teknologi.

Sementara itu, dia juga merupakan tipe pejabat yang, seperti saya sebutkan di atas terlalu kaku pada peraturan hukum yang berlaku, hanya berpegang kepada ketentuan-ketentuan tertulis di dalam undang-undang (letterlijk), kurang punya inovasi, untuk bisa mengaitkan antara hukum dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat (perubahan sosial).

Saya masih ingat di Kompasianival 2014 lalu, di  Gedung Sasono Utomo dan Sasono Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Ignasius Jonan yang menjadi salah satu pembicara waktu itu, pernah mengakui bahwa dia kurang tertarik dengan media sosial. Padahal, di masa kini peran media sosial semakin lama semakin penting. Dari media sosial pula kita, termasuk pejabat tinggi negara bisa mengetahui tren dan kebutuhan-kebutuhan baru apa yang berkembang di masyarakat. Dari media sosial bisa diketahui perubahan-perubahan sosial di dalam suatu masyarakat.

Pengetahuan terhadap perkembangan sosial di masyarakat itu sangat penting bagi pejabat tinggi negara seperti Ignasius, agar dapat pula mengambil kebijakan-kebijakan yang aspiratif sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.

Presiden Jokowi sendiri menyadari hal itu, maka itu tak heran, betapa dia begitu antusias dan mengapresiasi keberadaan media sosial seperti Kompasiana. Ketika tak bisa memenuhi undangan di Kompasianival 2015, dia malah mengundang balik 100 kompasianer yang datang ke Istana Negara, dalam acara khusus santap siang bersama sekaligus mendengar curhat beberapa penulis Kompasiana, dan juga memberi wejangannya terhadap mereka yang aktif menulis di media sosial agar benar-benar berguna bagi masyarakat, dan pembangunan bangsa dan negara.

Selain itu, Jokowi juga punya akun resmi Twitter dan Facebook.

Semua kegiatannya yang berkaitan dengan media sosial itu demi bisa mengetahui aspirasi dan perubahan-perubahan sosial di dalam masyarakat. Maka itulah, Jokowi begitu tanggap dengan keberadaan moda transportasi berbasis aplikasi seperti Go-Jek, dan lain-lain itu. Dia pun sempat mengundang mereka santap siang bersama juga di Istana Negara.

Herannya, justru Ignasius Jonan melakukan hal yang sebaliknya, mau melarang Go-Jek, dan sejenisnya itu, dengan alasan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sepeda motor tidak termasuk angkutan umum. Sementara itu sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, mereka malah membutuhkan moda transportasi berbasis aplikasi seperti Go-Jek. Masyarakat yang kian melek dengan teknologi internet begitu merasa bermanfaat, efektif dan efesiennya menggunakannya.

Hukum Statis, Masyarakat Dinamis

Mungkin karena Ignasius tidak akrab dengan media sosial, dan kurang punya kreatifitas dan inovasi, maka cara berpikirnya itu terlalu terpaku kepada ketentuan yang ada di Undang-Undang. Padahal, setiap produk undang-undang itu sifatnya statis, sebaliknya masyarakat itu sangat dinamis, apalagi di zaman seperti sekarang ini, ketika perkembangan teknologi (internet) sudah sedemikian pesat dan akrab dengan masyarakat.

Masyarakat urban itu suka kepada efektivitas dan efisiensi, maka itu pula seiring dengan perkembangan teknologi internet, inovasi, dan kreativitas, yang bisa dikaitkan dengan hampir semua kebutuhan masyarakat moderen, seperti internet banking, toko dan belanja daring (on-line), dan moda transportasi berbasis aplikasi, yaitu Go-Jek, dan teman-temannya itu, masyarakat merasa begitu membutuhkannya.

Ignasius Jonan seolah-olah tidak mengetahui fenomena sosial ini, ia masih berpikir semuanya harus berdasarkan undang-undang. Kalau undang-undang sudah mengatakan demikian, maka tidak boleh dilanggar, tidak boleh bergeser sedikitpun, dengan alasan apapun. Seolah-olah manusia menjadi robot di bawah undang-undang.

Ignasius harus mengerti bahwa hukum (undang-undang) itu dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya, bukan manusia untuk hukum. Undang-undang itu statis, sedangkan masyarakat itu sangat dinamis, terlebih-lebih di era serba teknologi tinggi ini.

Hukum (dalam artian undang-undang) memang berfungsi untuk mengatur ketertiban, keteraturan, keadilan, dan kepastian hukum di dalam masyarakat, ia dapat dengan sifatnya yang memaksa mengatur masyarakat agar berperilaku sebagaimana diinginkan pembuat undang-undang sesuai dengat budaya dan adat-istiadat yang berlaku di masyarakat itu, tetapi karena sifatnya tertulis, maka hukum juga sering tertinggal di belakang dinamisasi masyarakat (perubahan sosial). Maka itulah diperlukan adalanya interaksi perubahan sosial dengan perubahan hukum agar selalu bisa mengakomodasikan kebutuhan masyarakat dengan tetap menjaga unsur-unsur terpenting di dalam hukum itu sendiri, yaitu ketertiban, keteraturan, keadilan, dan kepastian itu.

Apabila hukum sedemikian tertinggal dengan perubahan sosial dan kebutuhan akan hal-hal baru di dalam masyarakat, sedangkan belum ada undang-undangnya, atau tidak termasuk klasifikasi dari undang-undang terkait, sehingga terjadi semacam “kekosongan hukum”, maka pejabat negara berwenang harus bisa melihat manakah yang lebih penting, kebutuhan masyarakat itu ataukah penegakan hukum berdasarkan undang-undang yang sebetulnya sudah ketinggalan zaman itu.

Dari sumber-sumber seperti inilah kemudian lahirlah undang-undang baru, yang sebelumnya tidak pernah ada sama sekali, seperti lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Juga nanti akan ada undang-undang yang mengatur tentang toko dan belanja daring, yang sampai saat ini belum ada regulasinya yang memadai (suatu bukti dari tertinggalnya hukum di belakang dinamisasi dan kebutuhan masyarakat moderen).

Presiden Jokowi sangat menyadari hal itu, maka itu dia pun berkata menanggapi kebijakan Menhub itu, sebagaimana dikutip dari www.presidenri.go.id :  bahwa moda transportasi umum dengan menggunakan aplikasi internet hadir ‎karena dibutuhkan masyarakat.

Oleh karena itu, jangan ada yang dirugikan karena adanya sebuah aturan. “Aturan yang buat siapa sih? Yang membuatkan kita. Sepanjang itu dibutuhkan masyarakat, saya kira tidak ada masalah,” katanya, di istana Bogor, Jumat, 18/12/2015.

Semestinya, kata Jokowi lagi, aturan menyesuaikan dengan kondisi yang ada, sehingga misalnya disiapkan aturan transisi hingga tansportasi massa sudah bagus dan sudah nyaman.‎ “Saya kira nanti secara alami orang akan memilih, ke mana dia akan menentukan pilihannya.”

Artinya, jangan sampai kita mengekang sebuah inovasi. Go-Jek adalah salah satu contoh aplikasi anak-anak muda yang ingin memperbaharui dan melakukan inovasi sebuah ide kreatif. “Jadi jangan sampai mengekang sebuah inovasi,” ujar Presiden.

Presiden juga berharap adanya penataan dari Dinas Perhubungan dan Kementerian Perhubungan. “Memberikan pembinaan, menata sehingga keselamatan dari penumpang bisa dijaga,” ujar Jokowi.

 

Jadi, di sini, sebenarnya, substansinya bukan soal legal, atau ilegal ojek, tetapi lebih pada memahami dan mengakomodasikan kebutuhan masyarakat, di tengah-tengah pemerintah yang sampai detik ini belum juga mampu menyediakan moda transortasi (massal) yang memadai.

Yang sangat penting juga adalah perusahaan yang membawahi moda-moda transportasi berbasis aplikasi itu harus jelas status hukumnya, harus berbadan hukum, pengemudi kendaraan yang digunakan harus mempunyai SIM yang sah, demikian juga kendaraan bermotornya juga harus mempunyai surat-surat yang sah, dan kendaraan itu sendiri wajib memenuhi standar laik jalan sebagaimana ditetapkan di Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Koran Kompas (Sabtu, 19/12/2015) mengutip beberapa pendapat mengenai tindakan blunder Menhub Ignasius Jonan itu, yakni: Praktisi industri digital Shinta Dhanuwardoyo menyarankan ada komunikasi antarkementerian yang lebih intens sehingga inovasi tidak dimatikan regulasi. Aplikasi sebagai aset anak bangsa di dunia teknologi informasi lebih baik dirangkul dan dibukakan jalan agar bisa berkembang.

Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf mengatakan, angkutan umum berbasis aplikasi merupakan bentuk kreativitas ekonomi yang sudah diterima masyarakat.

"Kemajuan teknologi di bidang transportasi tidak bisa dihindarkan. Jika ada kreativitas ekonomi berbasis teknologi, jangan dilarang. Aturan yang ada disesuaikan dengan perkembangan itu," tuturnya.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Perkasa Roeslani pada Rapat Pimpinan Kadin Sumatera Utara di Medan menyebutkan, selama 2015, angkutan berbasis aplikasi membukukan investasi 250 juta dollar AS. Industri ini juga menyerap 250.000 tenaga kerja. Oleh karena itu, pemerintah semestinya menata, bukan melarang. Apalagi, industri digital cukup berkembang dan cocok dikembangkan di Indonesia.

Sedangkan, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menawarkan solusi bagi angkutan yang bermitra dengan perusahaan aplikasi agar bisa dilakukan uji kelayakan kendaraan (KIR).

"Agen pemegang merek harus menyediakan pelayanan supaya bisa KIR di tempat. Setelah itu, kendaraan akan ditempeli stiker, harus ada asuransi, dan bayar pajak," ujar Ahok.

Perlukah Revisi UU LLAJ?

Dengan megikuti cara berpikir Ignasius, bahwa karena sepeda motor tidak disebutkan sebagai alat trasportasi umum di dalam Undang-Undang lalu Lintas dan Angkutan Jalan 2009 itu, maka harus dilarang, maka apakah toko-toko daring yang mengalami pertumbuhan yang jauh lebih dahsyat lagi itu seharusnya dilarang pula? Karena sampai hari ini undang-undang hanya mengatur tentang toko-toko konvensional.

Peraturan pemerintah/menteri tentang toko dan transkasi daring itu sudah ada, untuk mengisi kekosongan hukumnya, berupaya untuk mengakomadsi kebutuhan masyarakat yang semakin tergantung dengan teknologi internet, sekaligus menetapkan beberapa peraturan untuk melindungi para pihak, terutama konsumen yang biasanya selalu dalam posisi lebih lemah. Tak lama lagi, akan lahir pula undang-undangnya.

Di dalam penjelasannya tentang alasan pelarangan tersebut yang dibacakan oleh Djoko Sasono, Ignasius menyatakan: pengoperasian ojek dan uber taksi tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan.

"Ketentuan angkutan umum adalah harus minimal beroda tiga, berbadan hukum dan memiliki izin penyelenggaraan angkutan umum," kata Djoko.

Djoko mengaku pihaknya tidak masalah dengan bisnis "start-up" (pemula) namun menjadi bermasalah apabila menggunakan angkutan pribadi untuk angkutan umum yang tidak berizin dan tidak memenuhi ketentuan hukum.

"Apapun namanya, pengoperasian sejenis, Go-Jek, Go-Box, Grab Bike, Grab Car, Blue Jek, Lady-Jek, dilarang," tegas Djoko (cnn.com), tentu saja

Ignasius Jonan mengatakan sendiri alasan larangannya itu, yaitu karena, "Hal ini melanggar undang-undang. Ini bukan soal aplikasi, melainkan sarana transportasinya," ucap dia.

Setelah ditegur Presiden Jokowi, barulah dia mencabut larangan itu dan berkata, meskipun Go-Jek dan sebagainya itu melanggar Undang-Undang, namun, dia tetap membuka peluang penggunaan kendaraan roda dua sebagai angkutan berbasis aplikasi. Hal ini menjadi solusi sementara hingga kondisi transportasi publik baik.

Nah, di sini dia sendiri mengakui, dan memang kita semua tahu faktanya demikian, bahwa sampai saat ini transportasi umum (massal) masih jauh dari memadai, baik dari segi kwantitasnya, apalagi kwalitasnya. Faktor ini juga merupakan alasan utama membuat masyarakat lalu membutuhkan moda transportasi berbasi aplikasi itu. Saat pemerintah sampai kini belum sanggup menyediakan moda transportasi umum (massal) yang baik dari kuantitas, dan kualitasnya bisa diandalkan, dan masyarakat mendapat alternatif terbaiknya, kok malah tiba-tiba Menhub malah ingin menyetopkannya.

Tetapi, dia sudah terlanjur membuat heboh sehari, kritik dan berbagai kecaman dari masyarakat, terutama netizen terlanjur menyerangnya habis-habisan, terutama apalagi kalau bukan di media sosial, seperti Twitter dengan berbagai meme sarkastisnya. Ignasius mungkin tidak mengetahuinya, karena tidak tertarik dengan media sosial, tetapi teguran dan perintah dari Presiden Jokowi itu pasti jelas baginya.

Jika dia memang hendak melarang, seharusnya sejak awal dia sudah melakukan itu. Sekarang, setelah Go-Jek dan sejenisnya itu mengalami pertumbuhan dahsyat seperti sekarang ini, mennyerapkan ratusan ribu tenaga kerja baru, dan dibutuhkan masyarakat, barulah dia tiba-tiba mau melarangnya. Menantang masyarakat. Sungguh sangat terlambat.

Seharusnya larangan itu tidak perlu dilakukan, yang lebih tepat dilakukan adalah menerbitkan surat edaran untuk menatanya agar lebih tertib dan aman, misalnya, semua kendaraan yang digunakan sebagai transportasi umum berbasis aplikasi itu mempunyai kewajiban juga untuk mengikuti uji kelayakan di jalan umum, demi keselamatan semua orang sebagaimana diatur di Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Apakah perlu juga dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan itu, supaya dimasukkan pula moda transportasi berbasis aplikasi itu, supaya tidak lagi ilegal? Hal tersebut perlu dikaji lebih dalam lagi, karena harus juga dipikirkan jangka panjangnya, apakah ke depan, ketika semua moda transportasi massal di Indonesia sudah memadai, masihkah masyarakat memerlukan moda transportasi roda dua semacam Go-Jek dan teman-temannya itu? *****

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun