Salah satu “kekejaman” Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah soal pecat-memecat para PNS di Pemprov DKI jakarta. Mulai dari PNS tingkat rendah sampai dengan tingkat tinggi sudah menjadi korban “kekejaman” Ahok itu. Ahok sendiri mengaku, sampai dengan medio September 2015, dia sudah memecat sebanyak 120 orang PNS, dan sebanyak 2.500 PNS telah didemosi atau diturunkan dari jabatannya.
Belum cukup sampai di situ, Ahok juga menjelaskan bahwa setelah itu, masih ada sekitar 30 PNS dari Pemprov DKI Jakarta yang juga akan dipecatnya.
Ahok mengatakan, pemecatan, atau demosi terhadap mereka itu didasarkan pada penilaian perilaku dan kinerja mereka, yang tidak lepas dari prinsip-prinsip yang dipegang teguh Ahok di dalam menjalani kepimpinannya di Pemprov DKI Jakarta. Di antaranya adalah soal prestasi kerja, tanggung jawab terhadap profesinya, kemalasan, ketidakjujuran, suap-menyuap, manipulasi keuangan dan korupsi. Mengenai hal-hal tersebut, apalagi menyangkut suap dan korupsi, Ahok menyatakan tidak ada toleransi dan kompromi sedikit pun. Bagi siapa saja bawahannya yang melakukan hal tersebut dengan alasan apapun akan dipecatnya.
Itulah pula yang mendasari keputusan Ahok untuk memecat sekitar 120 PNS, dan mengdemosi sekitar 2.500 lainnya.
"Jadi kalau kamu nyolong sedikit saja di Jakarta saya pecat sebagai PNS, bukan pecat sebagai jabatan. Rata-rata terima suap. Kamu terima suap Rp1,5 juta pun saya pecat jadi PNS," ucap Ahok, Selasa (15/9/2015), seperti dikutip dari beritajakarta.com.
Selama ini, terlalu banyak orang Indonesia yang hidup tidak disiplin baik terhadap diri sendiri, maupun terhadap orang lain, terbiasa menolerir pelanggaran-pelanggaran, sehingga juga terbiasa dalam melakukan pelanggaran terhadap suatu peraturan, baik itu peraturan di dalam rumah tangga, perusahaan, sampai ke pelanggaran terhadap suatu undang-undang negara. Sehingga muncullah berbagai pameo sarkistis, seperti: “Peraturan (undang-undang) itu dibuat untuk dilanggar”, “Hukum (undang-undang) dibuat untuk menjadi pajangan saja”, “Hukum di Indonesia itu hanya bagus di atas kertas”, dan “Hukum di Indonesia itu seperti macan ompong”.
Ironis memang, tetapi, bukankah itulah kenyataannya?
Ketika ada pejabat berwenang yang hendak menegakkan suatu peraturan hukum dengan berlandaskan pada suatu kedisplinan dan ketagasan tingkat tinggi dengan penerapan prinsip toleransi nol (“zero tollerance”), dan tanpa kompromi, kebanyakan orang malah melihatnya sebagai pejabat aneh, yang sok, sombong, yang kaku, bahkan kejam terhadap anak buahnya sendiri, maupun rakyat. Padahal jelas-jelas itu semua demi kebaikan bersama. Untuk apa peraturan itu dibuat, kalau pelaksanaannya serba longgar, serba toleran, serba kompromi terhadap setiap pelanggarannya?
Demikianlah penilaian yang biasa ditujukan kepada Ahok oleh mereka yang secara subyektif sedari awal memang sudah tidak menyukainya dengan berbagai alasan dan motif.
Misalnya, awal September 2015 lalu, Ahok juga memecat Ahmad Sotar Harahap dari jabatannya sebagai Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD DKI Jakarta. Menurut Ahok, ada beberapa faktor yang menjadi dasar pencopotan Sotar dari jabatannya itu, namun pada intinya kinerjanya mengecewakan.
Beberapa di antaranya soal kelalaian Sotar selaku Sekwan yang tidak memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan DKI tahun 2014 pada sidang paripurna, Senin (6/7/2015) lalu. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, laporan BPK dilaporkan kepada kepala daerah saat sidang paripurna. Ahok sempat naik pitam karena peristiwa itu, dan mengatakan ia bisa saja memecat Sotar karena perbuatannya itu.
Reaksi dari kalangan DPRD DKI ketika itu, diwakili oleh M Taufik, seperti diduga, dia balik mengecam Ahok, katanya, masa cuma begitu saja mau pecat orang. Tetapi, ternyata bukan itu saja yang membuat Ahok memecat Sotar.
Selain itu, Ahok menilai Sotar ikut bertanggungjawab atas adanya PNS DKI yang memungut uang secara liar (pungli) pada parkir di basement DPRD.
"Ya bisa memang gara-gara laporan BPK kemarin, bisa urusan KUAPPAS (Kebijakan Umum Anggaran Plafon Prioritas Anggaran Sementara), bisa urusan parkiran, macam-macam," kata Ahok saat itu (Metrotvnews.com).
Sama "Kejam" dengan Ahok
Tentu, meskipun tergolong pimpinan yang langka, bukan hanya Ahok saja yang yang mempunyai gaya kepimpinan yang begitu “kejam” kepada anak buahnya yang korup dan berkinerja buruk. Cuma belum tereksposkan saja.
Salah satunya dari pimpinan seperti Ahok khususnya dalam hal “kekejaman” terhadap anak buahnya yang berkinerja buruk, biasa mengabaikan peraturan, apalagi yang korup, adalah Andy Flores Noya, atau biasa dikenal dengan nama Andy Noya saja. Ya, itu dia pembawa acara (host) salah satu acara paling populer di Metro TV: Kick Andy!
“Kekejaman” Andy Noya itu baru terungkap setelah beredarnya buku biografinya yang saat ini menjadi salah satu buku best seller di Indonesia, berjudul: “Sebuah Biografi: Andy Noya, Kisah Hidupku”. Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada Juli 2015, dan merupakan hasil kolaborasi Andy Noya dan Robert Adhi Ksp. itu belum genap satu bulan saja sudah mengalami tiga kali cetak ulang.
Di buku itu antara lain terungkap bagaimana gaya kepimpinan Andy Noya selama memimpin koran Media Indonesia, kemudian yang terlama di Metro TV milik Surya Paloh. Di situ tergambar dengan jelas, betapa Andy Noya selama memimpin Metro TV itu sangat luar biasa tegasnya dalam menerapkan peraturan perusahaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Disiplin tingkat tinggi juga diterapkan, dan tidak ada toleransi dan tidak ada kompromi bagi pelanggarnya, mulai dari anak buah level rendah sampai yang tertinggi di Metro TV. Bahkan demi menegakkan aturan itu, Andy Noya tak segan-segan berhadapan langsung, muka dengan muka, dengan the big boss-nya sendiri yang sekaligus pemilik Metro TV: Surya Paloh.
Dari urusan yang bagi orang lain sepele, seperti urusan seragam karyawan Metro TV sampai dengan urusan paling serius, seperti masalah suap dan korupsi uang perusahaan, Andy Noya ternyata memang sangat “kejam” terhadap para anak buahnya yang melakukan pelanggaran itu.
Misalnya, untuk urusan “sepele” seragam karyawan Metro TV. Ketika peraturan tentang wajib seragam Metro TV bagi semua karyawan Metro TV, kecuali untuk level manajer, diterapkan. Sebenarnya ada saja karyawan Metro TV yang tidak menyukainya, mereka merasa “malu” karena harus mengenakan seragam itu ke mana-mana ketika sedang bertugas. “Seperti anak sekolah saja”, komentar mereka. Tetap seragam itu tetap saja dikenakan, dan sekarang sudah menjadi sesuatu yang lazim di Metro TV.
Ketika peraturan itu baru diterapkan, Andy bercerita di bukunya itu, ada seorang karyawan yang suka membandel. Beberapakali dia kepergok Andy, tidak mengenakan seragam itu. Ketika ditegur Andy, ada saja alasannya. Sampai suatu ketika kesabaran Andy pun habis. Saat di dalam suatu rapat, karyawan itu lagi-lagi tidak mengenakan seragam, saat itu juga Andy mengatakan kepadanya untuk keluar dari ruangan itu, dan mengemasi semua barang-barangnya. “Sekarang juga, kamu saya pecat!” seru Andy kepadanya.
Andy mengakui, dalam menegakkan aturan dan disiplin perusahaan, banyak orang menilainya terlalu kejam. Selama menjadi Pemimpin Redaksi Metro TV, cukup banyak wartawan yang dia pecat. Baik yang berkaitan dengan disiplin, kode etik, maupun kejujuran. Dalam tiga hal itu, Andy menerapkan prinsip “zero tollerance”, “toleransi nol” yang sebenar-benarnya. Bahkan atas sikapnya itu, Surya Paloh, boss-nya sendiri yang sebenarnya juga orang yang tegas, sering mengritiknya. Surya menilai Andy terlalu keras dan kaku. Tapi keyakinannya itu sangat kuat bahwa untuk meletakkan fondasi yang kokoh bagi sebuah lembaga terutama lembaga penyiaran yang kredibel, tiga hal tersebut merupakan syarat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar. Tidak ada kompromi sedikit pun!
Sejak awal Metro TV berdiri, kepada seluruh jajaran di redaksi, selalu diingatkan Andy soal sikapnya mengenai tiga hal di atas. Karena itu, ia tidak menolerir pemberian “amplop” oleh nara sumber kepada wartawan Metro TV dengan alasan apapun juga. Termasuk dengan alasan kemanusiaan, sekalipun!
Secara ekstrem Andy menjelaskan sikapnya itu: “Jangankan menerima amplop. Berani menyentuhnya saja akan saya pecat!”
Andy tak main-main dengan prinsipnya itu. Selama ia memimpin Metro TV, sudah banyak jatuh korban “kekejamannya”, dari para karyawan biasa sampai dengan karyawan senior, “anak emas”, dan sahabat dekatnya sekalipun. Bahkan “anak emas”-nya sang boss besar Surya Paloh, pun pernah dipecat Andy gara-gara mereka melanggar tiga prinsip tersebut di atas. Akibatnya dia dengan Surya Paloh terlibat perang mulut. Andy berani mengambil risiko atas sikapnya itu, termasuk dikeluarkan dari Metro TV sekali pun.
Memecat Reporter yang Baik Hati
Suatu hari Andy menerima laporan bahwa ada reporter Metro TV menerima amplop dalam suatu liputan peluncuran buku seorang Jenderal TNI. Andy meminta Dewan Redaksi menyidangkannya. Reporter itu mengakui perbuatannya, tetapi uang di dalam amplop itu diambil untuk diserahkan seluruhnya kepada sopir mobil reportase Metro TV untuk biaya berobat ayahnya yang sedang sakit.
Bagaimana sikap Andy Noya?
Reporter, sopir, dan camera person semuanya dipecat! Camera person juga dipecat karena dia melihat kejadian tersebut, tetapi tidak melaporkan.
Andy mengatakan, sepintas orang menilainya kejam, manusia yang tidak punya hati atas keputusannya itu. Bukankah niat sang reporter untuk membantu sopir yang sedang kesusahan merupakan niat mulia?
Andy mengakui sempat terjadi perang bathin di dalam dirinya sendiri sebelum mengambil keputusan tegas itu, antara niat baik sang reporter dan pelanggaran yang dialakukan. Tetapi, Andy tak ingin alasan kemanusiaan seperti itu akan menjadi awal melemahnya penegakan prinsip soal amplop. Sekali saja ditolerir soal amplop itu, dengan alasan apapun, sejak saat itu Andy yakin prinsip yang hendak ditegakkan itu akan runtuh.
Setelah memecat ketiga orang itu, Andy menghubungi temannya di stasiun televisi lain dan memohon agar dia mau menampung ketiga orang yang dipecat itu. Kepada temannya itu, Andy menjelaskan apa yang terjadi. Andy menjamin ketiganya merupakan tenaga andal dan baik. Mereka diberhentikan karena “terpeleset” menabrak aturan yang berlaku di Metro TV. Syukur, temannya itu setuju menerima ketiga orang tersebut.
Seperti Ahok
Kasus pemecatan reporter yang baik hati itu mirip dengan kasus Ahok yang memecat seorang lurah. Lurah itu dipecat Ahok karena kinerjanya buruk. Tidak lama setelah pemecatan itu dilakukan, Ahok menerima pesan singkat berisi komplain dari seorang anak yang mengaku ayahnya baru saja dicopot dari jabatan lurah. Gara-gara ayahnya dipecat itu, dia tidak bisa lagi melanjutkan kuliahnya, karena selama ini biaya kuliah dari sang ayah didapat dari tunjangan kinerja daerah (TKD) yang diterima sang ayah sebagai lurah.
Ahok langsung meminta stafnya mengecek kebenaran informasi tersebut, ternyata memang benar, sang anak sangat membutuhkan biaya kuliah. Apa yang dilakukan Ahok? Secara pribadi dia membiayai biaya kuliah anak itu, sedangkan tentang pemecatan ayahnya, Ahok meminta maaf, tidak bisa diubah lagi. "Urusan dinas ya dinas, pekerjaan ya pekerjaan. Begitu kesulitan uang, bilang ke saya, asal jangan mencuri anggaran," kata Ahok dalam suatu testimoninya (Kompas.com).
Memecat Tim Papua, Berdebat dengan Surya Paloh
Kisah lain “kekejaman” Andy Noya adalah ketika dia memecat tim liputan khusus Metro TV yang ditugaskan di Papua, pada tahun 2000. Selama tiga bulan, mereka yang terdiri dari enam orang: tim reporter dan tim teknik untuk siaran langsung itu bertugas di Papua. Saat kembali dan menyerahkan laporan keuangannya, ternyata laporan itu bermasalah. Ditemukan ada manipulasi. Setelah Dewan Redaksi bersidang dan menemukan adanya kecurangan keuangan tersebut, Andy langsung memecat mereka semua.
Tanpa sepengetahuan Andy, mereka menghadap Surya Paloh untuk meminta pengampunan. Kepada Surya Paloh mereka mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan semacam itu. Hati Surya Paloh luluh, dia mengatakan kepada mereka, jika mereka mau mengakui kesalahannya secara terbuka, meminta ampun disiarkan Metro TV, mereka boleh kembali bekerja di Metro TV. Tim itu menyanggupinya, Surya Paloh lalu menganulir keputusan pemecatan dari Andy itu.
Ketika mengetahui hal itu, Andy kaget dan marah. Ia langsung menghadap Surya Paloh di ruang kerjanya. Andy menyatakan tidak bisa menerima keputusan Surya Paloh yang menganulir keputusannya itu. “Mereka bukan lalai, tetapi sengaja mencuri uang perusahaan. Ini kesalahan yang tidak bisa dimaafkan,” kata Andy kepada Surya Paloh.
Surya Paloh bersikeras bahwa setiap manusia bisa berbuat salah, bisa khilaf. Karena itu, asalkan mereka mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf secara terbuka, mereka layak menerima pengampunan dan boleh bekerja kembali. Andy tetap berkeberatan. Terjadilang perdebatan sengit antara dia dengan boss-nya itu.
“Tuhan saja maha pengampun. Harusnya kamu juga bisa memaafkan mereka!” ujar Surya Paloh dengan nada tinggi.
“Saya bukan Tuhan!”, balas Andy tak kalah tinggi nadanya. “Karena itu saya tidak bisa menolerir perbuatan mereka. Saya akan memecat mereka kembali!”
Mendengar keberanian Andy itu, Surya Paloh bertambah marah, wajahnya bertambah merah. “Keputusan sudah saya ambil. Sudah final. Selain itu, kamu juga harus menjaga muka saya!”
Tetapi, Andy tetap pada pendiriannya. Andy bertanya, kenapa Surya Paloh tidak juga meminta pandangannya terlebih dahulu sebagai pemimpin redaksi sebelum menganulir keputusannya itu. Andy juga mengingatkan kepada Surya Paloh bahwa sejak awal dia selalu mengingatkan agar jangan membuat peraturan kalau kita tidak mampu menegakkannya. “Saat ini saya sedang menegakkan peraturan yang sudah kita buat. Saya ingin membangun fondasi yang kuat bagi perusahaan ini. Kalau sejak awal Anda menolerir perbuatan semacam ini, fondasi yang kita bangun akan rapuh dan Metro TV akan runtuh!”
Cukup lama Andy dan Surya Paloh terlibat perdebatan sengit itu. Tak ada yang mau mengalah. Andy bersikukuh tetap memecat kembali wartawan dan orang teknik yang “mencuri" uang perusahaan, sebaliknya Surya Paloh bersikukuh untuk mengerjakan kembali mereka.
Akhirnya, Surya Paloh berteriak dengan nada tinggi, “Terserah kamu saja! Kamu yang pemimpin redaksi. Silakan putuskan sendiri!”
Keluar dari ruang kerja Surya Paloh, Andy langsung memanggil dan memerintahkan manajer HRD untuk mengeluarkan surat perintah PHK kepada enam orang itu. Manajer itu sempat bingung, karena dalam waktu singkat mendapat perintah yang bertolak belakang. Andy berkata, kepadanya, “Tidak usah takut. Saya yang tanggung jawab!” Maka, hari itu juga surat PHK kedua diberikan kepa tim liputan Papua tersebut.
Setelah itu Andy menunggu, apakah sanksi yang akan dijatuhkan Surya Paloh kepadanya. Ia sudah siap menerima semua risiko, apapun itu. Termasuk jika dia dicopot dari pemimpin redaksi, bahkan dikeluarkan dari Metro TV, sekali pun. Namun reaksi dari Surya Paloh itu tak pernah ada.
Memecat Sahabat Dekat
Suatu ketika Andy mendengar seorang sahabat baiknya di Media Indonesia terindikasi beberapakali menerima amplop. Oleh karena itu pemimpin redaksi hendak memintanya untuk mengundurkan diri. Andy yang mendengar kabar itu, meminta kepada pemimpin redaksi Media Indonesia itu untuk memindahkan saja sahabat baiknya itu ke Metro TV, langsung di bawah pengawasannya. Kebetulan Metro TV sedang membutuhkan wartawan ekonomi, dan sahabatnya itu termasuk wartawan ekonomi yang handal.
Andy sudah lama bersahabat baik dengan temannya itu. Istrinya juga sahabat baik Andy. Mereka bahkan beberapa kali bepergian bersama-sama keluarga masing-masing.
Dengan kondisi itu, Andy berharap sahabatnya itu lebih bermanfaat dan terkendali. Andy juga beberapakali mengingatakn sahabatnya itu tentang prinsip kepimpinan Andy yang tak berkompromi soal uang perusahaan. Bahkan kepada istrinya, Andy juga minta tolong agar mengingatkan suaminya tentang itu.
Tapi, apa mau dikata. Suatu hari Andy mendapat laporan, sahabatnya itu memanipulasi laporan keuangan perusahaan dalam suatu liputan ke luar kota. Andy meminta Dewan Redaksi menyidangkan kasus itu. Hasil sidang menyimpulkan, sahabatnya itu terbukti menggelapkan uang perusahaan. Andy kecewa berat. Rasanya tidak percaya dia tega mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya itu. Apalagi jumlahnya yang dimanipulasi tidak seberapa dibandingkan risiko yang harus dipikulnya.
Dewan Redaksi mengrekomendasikan kepada Andy agar sahabatnya itu dijatuhi sanksi peringatan keras atau diskorsing saja, mengingat jumlah yang dimanipulasi juga tidak besar. Tetapi, Andy memutuskan lebih dari itu, sahabatnya itu pun dia pecat hari itu juga. Di hadapan Andy, temannya itu menangis tersengguk-sengguk, menyesali perbuatannya itu. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Sahabat baiknya itu tetap dipecat.
Sebulan kemudian, temannya itu menelepon Andy, mengatakan bahwa dia sudah mendapat pekerjan baru di sebuah perusahaan, dan mengharapkan pertemannya dengan Andy tetap berjalan baik. Sampai skearang orang itu masih berteman dengan Andy.
Seperti Ahok
Pada 13 Agustus lalu, Ahok juga memecat Syamsuddin Noor dari jabatannya sebagai Walikota Jakarta Selatan. Alasannya, meskipun Syamsuddin termasuk pejabat yang baik, tetapi tidak bisa tegas terhadap bawahannya, terutama mengenai masalah PKL liar, dan kebersihan di wilayah Jakarta Selatan, sesuai dengan yang sudah diperintahkan Ahok beberapakali kepadanya. Syamsuddin didemosi menjadi staf di bawah kendali Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta.
Setelah pemecatan itu, hubungan Ahok dengan Syamsuddin Noor tetap baik. Bahkan dia dipilih Ahok untuk menjadi salah seorang anggota Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) tahun 2015. Dengan demikian Syamsuddin pun ikut naik haji, yang diberangkatakan pada medio Agustus 2015 lalu (Kompas.com).
Memecat “Anak Emas” Surya Paloh
Kisah lain tentang “kekejaman” Andy Noya dalam hal pecat-memecat bawahannya itu seolah mencapai puncaknya ketika seorang karyawan senior sekaligus “anak emas” Surya Paloh pun menjadi korban “kekejamannya” itu.
Peristiwa itu berawal dari informasi yang diperolah Andy bahwa ada lima orang wartawan Metro TV yang pergi ke sebuah kota di Sumatera sampai beberapa hari lamanya, padahal di sana tidak ada peristiwa apapun yang perlu diliput. Setelah dicek, mereka ternyata berada di sana untuk membantu gubernurnya mempersiapkan pendirian sebuah televisi lokal di kota itu. Apalagi gubernur itu adalah sahabat baik Surya Paloh. Andy bisa menerima alasan itu, tetapi yang membuatnya marah adalah kepergian mereka itu tanpa sepengetahuan koordinator liputan dan pemimpin redaksi, alias sembunyi-sembunyi.
Andy memutuskan pada hari itu juga memecat lima orang karyawan Metro TV itu, salah satu dari mereka memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Bahkan, dulu Andy sendiri yang mengajaknya pindah ke Metro TV dari sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta. Orangnya baik, kemampuannya pun di atas rata-rata. Selama ini Andy sangat mengandalkannya. Hubungan mereka juga sangat dekat. Surya Paloh juga sangat suka dengan orang itu, bahkan menjadi “anak emasnya”. Tetapi, apa yang dilakukan bersama empat orang pegawai Metro TV lainnya itu yang membuat Andy memutuskan memecatnya pada hari itu juga.
Ketika hal itu Andy sampaikan kepada Surya Paloh, dia marah besar. “Kamu sudah gila? Orang sebaik itu kamu pecat?” Suaranya makin meninggi, “Yang lain boleh kamu pecat, tapi dia tidak. Dia itu anak baik! Segera anulir keputusanmu!”
Tapi Andy bersikukuh dengan keputusannya itu, dia menolak perintah Surya Paloh. Andy memberi alasan dasar keputusannya itu yakni demi menjaga kewibawaan perusahaan, dan harus adil terhadap semua orang. Surya Paloh tetap tidak mau tahu alasan Andy itu, saking marahnya dia mengeluarkan kata-kata yang membuat Andy tersinggung, “Dia itu telah teruji kesetiaannya pada kita. Jangan-jangan kalau Metro TV tenggelam, kamu yang lebih dulu pindah ke televisi lain sementara dia akan loyal dan siap tenggelam bersama Metro TV!”
Keesokan harinya, Andy menemui Surya Paloh di ruang kerjanya untuk membicarakan masalah pemecatan “anak emas” Surya Paloh itu. Sambil menatap tajam mata Andy, dia bertanya, “Sekarang saya tanya kembali apakah sampai pagi ini kamu tetap yakin pada keputusanmu itu?”
Andy membenarkan, “Sampai detik ini saya tetap yakin pada keputusan saya.”
Surya Paloh terdiam sejenak, kemudian berkata kepada Andy, “Kalau begitu, kamu pegang teguh keputusanmu itu. Cuma satu permintaan saya, beri dia pesangon yang terbaik.” Pernyataan atasannya itu membuat Andy lega. Dia setuju. Termasuk ketika Surya Paloh mengajukan kemungkinan untuk merekrut sahabatnya itu untuk proyek pendirian stasiun televisi di Jayapura dan Batam.
Kemudian Andy menemui sahabatnya yang baru dipecat itu, menyampaikan tawaran Surya Paloh untuk bergabung di proyek televisi di Jayapura dan Batam itu. Beberapa hari setelahnya, sahabatnya itu bilang, istrinya tidak setuju kalau dia harus bekerja di luar Jakarta. Setelah itu hubungan Andy dengan sahabatnya itu tetap baik. Bahkan beberapa tahun kemudian, setelah Andy mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi di Metro TV, mereka berdua bekerja sama dalam sebuah proyek televisi.
Seperti Ahok
Pemecatan yang dilakukan Andy Noya terhadap “anak emas” Surya Paloh beserta empat orang karyawan Metro TV lainnya tersebut di atas (tanpa sepengetahuan koordinator liputan, diam-diam ke sebuah kota di Sumatera untuk memberi pelatihan pembangunan stasiun televisi di sana) sesungguhnya “hanya” menyangkut kedisplinan dan tanggung jawab mereka terhadap jabatan mereka di Metro TV. Tetapi, bagi Andy Noya, soal kedisiplinan itu juga sama sekali bukan hal yang bisa dikompromikan atau ditoleransi.
Kasus ini mirip juga dengan pemecatan yang pernah dilakukan Ahok melalui Dinas Pendidikan DKI Jakarta terhadap Retno Lisyarti dari jabatannya sebagai Kepala SMA Negeri 3 Jakarta. Retno dipecat karena dinilai tidak disiplin dan kurang punya tanggung jawabnya sebagai kepala sekolah itu. Pada 14 April 2015, saat waktu pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Retno malah tidak berada di sekolah yang dipimpinnya itu. Dia lebih memilih menghadiri sebuah acara talk show di sebuah stasiun televisi yang berbicara mengenai kecurangan dalam Ujian Nasional.
"Bu Retno kalau menurut saya, guru ya harus mengajar tugasnya. Tugas utama guru kan mengajar dan kepala sekolah tugas tambahan yang diberikan oleh Dinas Pendidikan," kata Ahok, sedikit memberi alasan pemecatan Retno tersebut.
Ahok mengaku cukup akrab dengan Retno. Namun, dia mempertanyakan tanggung jawab Retno sebagai kepala sekolah saat Ujian Nasional berlangsung di sekolahnya dan memilih meladeni wawancara dengan salah satu televisi swasta.
Sebaliknya, Retno merasa tidak melakukan kesalahan karena saat itu ia sedang diwawancarai sebuah stasiun televisi dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Jenderal FSGI. Menurut dia, tugasnya di FSGI diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Lagi pula, kata dia membela dirinya, dia meninggalkan sekolahnya itu cuma satu jam. Setelah itu kembali lagi, sesaat sebelum UN selesai.
"Saat itu saya hanya keluar satu jam dan itupun untuk memenuhi permintaan salah satu stasiun televisi swasta yang mau wawancara tentang kecurangan UN. Setelahnya, saya kembali ke SMAN 3 dan telah sampai sesaat sebelum UN," kata Retno.
Apakah masuk akal hanya perlu waktu satu jam untuk pergi-pulang mengisi acara talk show di stasiun televisi itu? Kenapa tidak berbicara dengan pihak televisi itu agar mengatur jadwal wawancaranya di luar jam kerjanya?
Retno yang tidak puas dengan pemecatannya itu, pada 4 Agustus 2015 lalu telah menggugat Dinas Pendidikan DKI Jakarta ke PTUN.
Alasan Retno terebut juga menunjukkan bahwa dia termasuk orang yang berkarakter tidak terlalu merasa penting perlunya suatu sikap disiplin yang tinggi dan mungkin juga terbiasa dengan kompromi dan toleransi terhadap hal yang berkaitan dengan tanggung jawab seseorang dengan tugas jabatannya. Suatu sikap yang bertentangan dengan prinsip yang dipegang teguh oleh orang-orang seperti Ahok dan Andy Noya. *****
** Sumber artikel tentang Andy F Noya diambil dari sebagian Bab 11, buku “Sebuah Biografi: Andy Noya, Kisah Hidupku”, Penerbit Buku Kompas, cetakan kedua, Agustus 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H