Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Hari Bersejarah yang Menentukan "Kompas" Bisa Eksis Sampai Sekarang

29 Juni 2015   09:34 Diperbarui: 29 Juni 2015   09:34 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan ikhlas hati, kami menerima ajakan agar kami mawas diti. Itulah sikap dasar yang paling wajar, apabila orang tertimpa musibah. Dan selama ini harian ini tidak diperknenakan terbit, introspeksi itu kami lakukan.

.....

Dengan gagah berani dan benar, orang bisa bilang, manusia hidup tidak hanya dari roti. Namun ada juga ungkapan yang sama benarnya: orang perlu hidup lebih dulu, untuk bisa berfilsafat.”

Setelah semuanya itu berlalu, tekanan kepada Kompas dan media massa lainnya dari penguasa Soeharto tetap saja semakin kuat. Meskipun sudah berusaha sekuat mungkin untuk netral, tetap saja ada pihak penguasa yang merasa tidak puas dan menyampaikan ancamannya kepada Kompas.

Pada acara peringatan Hari Pers Nasional ke-32, 9 Februari 1978, di Solo, ketika acara para wartawan  berjabat tangan dengan Soeharto, saat giliran Jacob Oetama, Soeharto menyambut uluran tangannya, menjabat tangannya sambil tersenyum dengan senyuman khasnya (yang membuat ia dijuluki juga “The General’s Smile”), ia berkata pendek kepada Jacob: “Aja meneh-meneh!” Singkat padat, tetapi menyentak.

Jacob menerjemahkan peringatan Soeharto itu dengan kalimat lanjutannya: “Jangan lagi kamu lakukan, saya habisi kamu!”

Soeharto mengulangi ancamannya itu sekali lagi, saat berada di atas pesawat dalam penerbangan lawatan kenegaraan dari Yugoslavia dan Uni Soviet pulang ke Tanah Air, tahun 1980-an.

“Tak Gebuk!,” jawab Soeharto sambil mengepal tinjunya, diikuti dengan tawanya yang terbahak-bahak, saat menjawab pertanyaan wartawan tentang sikapnya terhadap media yang memberitakan berbagai aksi demonstrasi para mahasiswa di tahun 1970-an dibandingkan dengan saat itu (1980-an).

Sampai sekarang, Jakob yakin bahwa keputusan untuk menandatangani pernyataan minta maaf dan setia kepada pemerintahaan Soeharto itu sudah tepat, bukan suatu tindakan menjual diri atau kompromis, melainkan bentuk dari prinsip teguh dalam perkara tetapi lentur dalam cara. Prinsip dan cara Jakob dalam menghadapi setiap masalah seperti ini mungkin tak lepas dari kulturnya sebagai orang Jawa, dan pernah mengikuti pendidikan di Seminari selama beberapa tahun. Prinsip sebagai pedoman kerja tersebut telah dikembangkan sejak Kompas lahir.

Kees de Jong dari Universitas Nijmegen, pada 1990, dalam disertasi doktornya tentang Kompas, menemukan bahwa filsafat humanisme trasedental, merupakan pandangan hidup koran Kompas. Manusia seyogyanya banyak menenggang rasa karena setiap manusia bisa berbuat salah. Tidak ada malaikat di dunia ini. Manusia amatlah kecil dibanding kebesaran Tuhan. Manusia memiliki keagungan sekaligus kekerdilan. Kalau menunjuk pada kekurangan, amatlah banyak kekurangan setiap orang, tetapi setiap orang niscaya ada baiknya.

Kalimat-kalimat itu menghujam dalam hati sanubari Jakob, tidak lagi sebagai slogan atau tag line, tetapi dihidupi dan menjadi nilai-nilai kemanusiaan yang senantiasa dia sampaikan dalam berbagai kesempatan dan tulisan. Critic with understanding. No angel in the world. Keagungan dan kekerdilan manusia. Itulah tiga dari puluhan kalimat-kalimat kunci dan kalimat-kalimat mutiara yang dia coba sampaikan agar menjadi milik diri setiap wartawannya dalam bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun