Saat memimpin koran Kompas di saat Presiden Soeharto mulai menunjukkan gaya pemerintahannya yang represif, tirani dan diktatoris, dengan mulai mengawasi dan membredel media massa yang kritis terhadap pemerintahan dan keluarganya, Ojong pun mulai menunjukkan sikap antipatinya. Hal tersebut terekspresikan dengan “mogoknya” dia menulis rubrik favoritnya yang juga sangat disukai pembaca Kompas ketika itu: “Kompasiana.”
Rubrik Kompasiana oleh P.K. Ojong mulai hadir di koran Kompas edisi 2 April 1966, dan berakhir di Kompas edisi 22 Februari 1971. Rubrik Kompasiana berisi aneka ragam thema, mulai dari yang ringan-ringan, seperti mengenai kegemarannya menanam tanaman-tanaman hias, kegemarannya terhadap buku, kehidupan dia dan keluarganya, keadaan lalu lintas di Jakarta, sampai ke masalah politik.
Kepada orang-orang yang bertanya kepadanya, kenapa tidak lagi menulis Kompasiana, Ojong menjawab, “Sibuk.” Namun demikian, banyak orang tidak percaya kebenaran alasannya itu. Termasuk sahabatnya Mochtar Lubis. Hal tersebut seiring dengan mulai berubahnya sikap pemerintahan Soeharto yang semula demokratis menjadi represif, diktatoris dan tiranis, termasuk kepada suara-suara media yang kritis terhadap pemerintahannya. Siapa pun media yang berani bersikap kritis terhadap Soeharto akan langsung dibredel begitu saja, tanpa perlu memberi alasannya. Media-media itu harus tahu sendiri kenapa mereka ditutup pemerintah.
Pada 2008, nama rubrik Kompasiana itulah yang kemudian diadopsi oleh Pepih Nugraha sebagai nama blog yang semula diperuntukkan untuk kalangan internal para wartawan Kompas, yang kemudian pada 2009 berubah menjadi blog publik sebagai media jurnalis warga biasa yang kita kenal sekarang ini (Kompasiana, Etalase Warga Biasa, oleh Pepih Nugraha, Gramedia Pustaka Utama, 2013).
Ya, Kompasiana kita yang sekarang ini!
Kembali ke pertemuan P.K. Ojong dengan Jakob Oetama tersebut di atas.
Sikap Ojong yang terlalu teguh memegang prinsip untuk menolak permintaan maaf dan berjanji setia kepada pemerintahan Soeharto sebagai syarat Kompas bisa terbit kembali itu diimbangi oleh sikap yang lebih luwes, penuh pertimbangan dan memandang jauh ke depan dari Jakob Oetama.
Jakob berpandangan pembredelan Kompas di 1978 itu berbeda dengan ketika semua koran dilarang terbit oleh militer di bawah kendali Soeharto pada 1965. Penutupan semua koran selain harian Angkatan Bersenjata milik ABRI yang dikelola oleh Kepala Puspen ABRI dan Berita Yudha milik TNI AD yang dikelola oleh Kepala Dinas Penerangan TNI AD itu, mutlak karena krisis politik dan keamanan saat itu pasca terjadinya peristiwa G30S. Penutupan di 1965 itu pun hanya berlangsung empat hari, yaitu dari 2 – 5 Oktober 1965.
Terhadap pembredelan 1978 yang tanpa batas waktu itu, Jakob berpandangan: “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di antaranya melalui media massa.”
Jakob pun mengambil alih tanggung jawab, ia menandatangani persoalan, maju ke depan, siap memikul risiko, menandatangani pernyataan maaf dan janji tertulis kesetiaan yang diminta penguasa Soeharto.