Harian Kompas memang dilahirkan pada 28 Juni 1965, atau lima puluh tahun yang lalu, dengan kata lain ini adalah HUT Emas dari Harian terbesar di Indonesia ini. Tetapi bisa juga dikatakan bahwa umur Kompas bisa panjang sampai hari ini ditentukan juga pada dini hari 5 Februari 1978, di sebuah ruangan di kantornya di Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Selatan.
Dari 4 Februari tengah malam sampai dengan 5 Februari dini hari itu terjadi pembicaraan serius antara dua pendiri Kompas: P.K. Ojong dengan Jakob Oetama mengenai tawaran dari penguasa Presiden Soeharto, jika ingin terbit kembali setelah dilarang terbit (dibredel).
Harian Kompas, salah satu dari 12 koran dan majalah yang dilarang terbit sejak 21 Januari 1978, diperbolehkan terbit kembali dengan syarat harus bersedia menandatangani pernyataan tertulis. Isinya permintaan maaf sekaligus berjanji tidak memuat tulisan yang menyinggung penguasa. Permintaan maaf itu merupakan suatu pengakuan bersalah. Disertai suatu sikap yang menyatakan kesetiaan dan kepatuhan kepada Presiden Soeharto.
Pada intinya pernyataan dan janji itu berisi empat poin penting, yakni:
Pertama, tidak akan menulis tentang keluarga Presiden Soeharto dan asal-usul kekayaan keluarganya.
Kedua, tidak akan mempersoal dwi fungsi ABRI.
Ketiga, tidak akan menulis tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Keempat, tidak akan menurunkan tulisan yang memperuncing konflik.
Apa itu suatu tulisan yang tidak menyinggung perasaan penguasa, khususnya Soeharto dan keluarganya? Tidak ada kepastian, tergantung selera dan sensitifitas penguasa. Oleh karena itu Ojong yang dikenal berkepribadian teguh dan tegas menolak tawaran tersebut. “Jakob, jangan minta maaf. Mati dibunuh hari ini, nanti tahun depan, sama saja,” kata Jakob mengutip apa yang dikatakan Ojong.