Ketika ketidakkonsistensi Mabes Polri tentang praperadilan itu dipertanyakan kepada Irjen Ronny Sompie, ia berdalih, pernyataan kuasa hukum Mabes Polri pada 2009 lalu itu untuk institusi. Sedangkan, kasus praperadilan Budi Gunawan bukan atas nama institusi. “Artinya kalau mempertanyakan kenapa sikap kita berbeda, kita lihat yang dilakukan (Budi Gunawan) bukan atas nama institusi tapi pribadi,” katanya.
Ronny juga mengingatkan bahwa dalam putusan Hakim Sarpin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, perkara praperadilan memang tak bisa ditolak. “Hakim harus memeriksa, hakim harus melakukan upaya untuk memeriksa,” katanya. Itu merupakan kewenangan hakim, bukan pengaruh pihak tertentu (Rappler.com).
Pertanyaannya, meskipun sebagai pribadi pun, apakah Budi Gunawan sebagai seorang perwira tinggi polisi tidak mengerti hukum bahwa penetapan status tersangka kepadanya sesungguhnya tidak bisa digugat sidang praperadilannya?
Ronny juga tidak menjawab: kalau gugatan praperadilan itu atas nama Budi pribadi, apakah menurut Mabes Polri itu salah atau benar? Kalau salah, kenapa ada pernyataan Mabes Polri yang diwakili oleh Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar (Pol.) Rikwanto malah mendukung upaya hukum Budi tersebut, sebagaimana disebutkan di atas?
Entah sadar atau tidak, pernyataan ikutan Ronny itu sendiri juga malah memperlihatkan lagi ketidakkonsistensi dan keberpihakan subyektifnya yang mewakili Mabes Polri dalam menghadapi suatu kasus, dan anggota polisi sendiri sebagai salah satu pihak. Dia bilang, “Perkara praperadilan memang tidak bisa ditolak, ..” artinya menurut dia tindakan Budi Gunawan menggugat penetapan tersangka oleh penyidik (KPK) itu dibenarkan secara hukum. Padahal di tahun 2009, Mabes Polri sendiri yang mengatakan di depan hakim bahwa penetapan tersangka oleh penyidik (polisi) tidak bisa digugat.
Hakim Sarpin Rizaldi Pasti Diperiksa
Hakim tunggal yang menyidangkan sidang praperadilan itu, Sarpin Rizaldi, dipastikan segera diperiksa oleh Komisi Yudisial (KY), mulai minggu depan. Untuk memeriksa Sarpin KY akan menggelar sidangKode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Jika terbukti ia melakukan pelanggaran etika sebagai hakim maka sanksi etika akan dijatuhkan kepadanya oleh KY, bilamana perlu dengan rekomendasi pemecatan ke Mahakamah Agung (MA).
MA, atau tepatnya Badan Pengawas MA juga akan memeriksa Sarpin dari aspek penerapan hukum. Apakah ia terbukti telah dengan sengaja melakukan kesalahan penerapan hukum (penyelundupan hukum) dalam memutuskan sidang praperadilan tersebut ataukah tidak. Hasil pemeriksaan KY juga akan dijadikan bahan pertimbangan MA. Jika terbukti dengan sengaja melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum, maka sanksi hukum dari MA akan dijatuhkan kepadanya, dari larangan menyidangkan perkara, sampai sanksi pemecatan. Tak tertutup kemungkinan perkara tersebut juga dilimpahkan ke kepolisian atau kejaksaan untuk dituntut secara pidana.
Minggu depan KY akan mengundang Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang melaporkan hakim Sarpin, dan mengundang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung Prof Bernard Arief Sidharta (ahli yang memberi keterangan dalam persidangan praperadilan Budi Gunawan, dan dikutip pendapatnya oleh Sarpin), -- dosen favorit saya ketika kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Ilmu Logika di Unpar, Bandung.
Komisioner KY, Taufiqurahman Syahuri, di Jakarta, Sabtu (21/2), mengungkapkan, secara spesifik KY juga akan mendalami dugaan kekeliruan hakim Sarpin menafsirkan pendapat ahli Bernard dalam persidangan praperadilan.
Arief Sidharta perlu diundang KY untuk mendengar keterangannya sendiri, karena menurutnya hakim Sarpin telah salah menafsirkan kesaksian yang diberikannya di sidang praperadilan tersebut. Menurut Arief akibat kesalahan tafsir itu keputusan Sarpin yang membatalkan penetapan tersangka Budi sudah di luar kewenangan praperadilan.