“Bah… boasa pola pittor lao ibana… tu dia ninna tujuanna…?” (Wah… kenapa dia langsung pergi… kemana katanya tujuannya) Ompu ni Jonggara bertanya, dia merasa sedikit was was.
“Ai ima da Tulang, ala na nidok ni Tulangi naung tilaha ni Tulang ibana, gabe palungunhu rohana ninna, alai ibana pe dang diboto tu dia tujuanna Tulang” (itula paman karena paman mengatakan dia dianggap sudah mati… dia merasa sangat sedih, tetapi diapun tidak tau hendak pergi kemana), Marlon menerangkan.
Mulai hari itu Timbul menghilang bak ditelan bumi, tidak ada satu orang pun yang tau kemana dia pergi. Baru setelah tiga puluh tahun kemudian ada orang yang bercerita kalau Timbul ada di Batam dan menjadi orang yang sangat sukses, seorang pengusaha terkenal, export import dari Singapura. Ada sebagian orang mengatakan kalau Timbul adalah parsimokkel kelas kakap dan punya kapal sendiri.
Namun semua itu tak dapat mengurangi kesedihan Ompu ni Jonggara, karena dia belum melihat bagaimana wajah anak nya yang telah lama tidak kembali, bahkan suratpun tidak ada sama sekali.
Ada orang yang mengabarkan bahwa Timbul sudah menikah dan punya anak. Seharusnya dia tidak lagi dipanggil Ompu “ni” Jonggara. Harusnya dia dipanggil Ompu…, sesuai nama anak Timbul. (kalau cucu dari anak perempuan pakai “ni” di tengah tengah misal Ompu ni Radot, Ompu ni Sahat, kalau dari anak laki laki hanya nama misalnya Ompu Lambok, Ompu Jogal).
Ompu ni Jonggara sudah berpuluh kali menyampaikan pesan dan surat melalui orang orang Balige yang pulang dari Batam, tetapi tak ada kabar balasan. Dia sangat ingin menemui anaknya itu. Ingin menyampaikan penyesalannya, ingin membelai wajahnya, ingin memeluknya dan juga ingin memeluk cucu panggoarannya. Tetapi apa daya, dia sudah sakit sakitan, tak punya cukup uang untuk ongkos, sementara dua orang putrinya pun hidup pas-pasan sebagai buruh tani.
Nai Jonggara tinggal di Silaen, menjadi petani, sementara sawah yang dikelolanyapun milik orang lain, bukan miliknya. Nai Lambok tinggal di Gasaribu, juga buruh tani, sambil berdagang ikan Jahir di pasar Sirongit, itupun tidak setiap hari karena akhir-akhir ini ikan mujahirpun seolah mogok makan sehingga kurus kering kurang vitamin.
Dia tidak berani mengungkapkan perasaannya kepada dua orang putrinya itu, perasaannya hanya diungkapkan dengan mangandung menangis sambil memeluk makam istrinya yang ada dibelakang rumahnya, hampir setiap hari.
“Bah gabe tangis ho Oppung ala ni lagu i…” (Wah kakek menjadi menangis karena lagu itu) Boru Sianipar kembali menyadarkannya dari lamunan.
“Ima da… gabe huingot si Timbul… ai tung na adong do nuaeng di ae jolma na asing songon lagu on ?, ate ito…” (ya itulah saya jadi teringat si Timbul… apakah mungkin ada orang lain yang mengalami seperti isi lagu ini?) Ompu Jonggara menyahut sambil menghapus air matanya.
“Martangiang ma ho Ompung… pos roham mulak doi…” (berdoalah kakek… percayalah dia akan pulang) Boru Sianipar berusaha menenangkan, walaupun hatinya tak yakin.