Pada waktu peresmian tugu, pembukaan acara sangat meriah, dihadiri beberapa pejabat. Music pengiring dari Jakarta, ada penyanyi penyanyi ibu kota yang tampil menghibur.
Pesta diadakan selama dua minggu nonstop, siang dan malam siapa saja boleh makan sepuasnya, boleh minum bir sepuasnya. Untuk kebutuhan ini setiap saat truk dari produsen bir siap mengantar kapan saja.
Setiap orang yang mau manortor mesti di beri saweran uang. Benar benar pesta yang fantastis. Ketika malam tiba penyanyi ibu kota menghibur bergantian. Tidak lupa beberapa gadis bule yang cantik cantik “Rekan Bisnis” Timbul berjoged dansa, disco, cha cha diatas pentas.
Masyarakat benar benar menikmati pertunjukan dan limpahan uang mendadak yang mereka dapat dari pesta ini. Mereka tak segan-segan berkata pada Timbul : “Ah… ho do na toho namarjalang i bah…. ho nama naummora di halak hita…” (andalah yang paling berhasil di perantauan… andalah yang terkaya di tengah orang Batak). Mendengar ini Timbul semakin kambang birrik birriknya.
Hanya satu keluarga yang tidak pernah tampak di pesta itu, boru Sianipar Parlapo.
Ada beberapa orang mengajaknya. “Bah beta… na masi hepeng on… ai holan sahali mangurdot nungnga dapotan hepeng…” ( marilah… mendapatkan uang… sekali berjoget saja sudah di beri uang… )
Boru Sianipar Cuma berkata : “Hamu ma tusi… dang tarpaida-ida au angka engkel muna i… Sai huingot natua-tua i nahinan… hansit nai ditaon….” (kalianlah ke sana… saya tak sanggup melihat tawa kalian… saya jadi teringat pada Almarhum… betapa sakit penderitaannya… )
Ketika malam terahir pesta itu, suara music yang hiruk pikuk dari pengeras suara, orang orang desa berpesta pora… uang berhamburan ditengah pesta sangat meriah. Boru Sianipar duduk sendiri dilaponya, semua pintu sorong laponya sengaja ditutup. Dia merenung, tak bergairah melayani pembeli.
Anehnya selama pesta berlangsung alam seolah olah protes, tak bersahabat. Hari selalu mendung dan hujan turun setiap hari, tak biasanya seperti ini.
Boru Sianipar duduk di bangku panjang laponya, disudut sambil bersandar. Dia teringat kembali pada Ompu ni Jonggara semasa hidupnya. Beliau yang sudah dianggapnya sebagai kakek kandungnya sendiri, sebatang kara menahan derita, tak ada yang perduli. Bahkan meninggal pun tak ada yang melihatnya. Ketika itu, seandainya dirinya tak penasaran atas ketidak munculan Ompu Jonggara di lapo, mungkin sampai beberapa lama tak ada yang mencarinya hingga membusuk.
Sekarang, setelah dia meninggal, jasadnya pun tak bisa tenang. Harus digali dari kuburnya. Tulang belulangnya diangkat, dimasukkan kedalam peti kecil terbuat dari kaca, sebagai pajangan agar semua orang bisa melihat tengkoraknya tanpa daging.