“Tetapi kalau begitu Tulang… biayanya nanti sangat Mahal…”, Amrin berusaha menggelitik ego Timbul.
“Bah…jangan kau singgung sama aku masalah biaya… berapapun tak masalah…!”, Timbul menegaskan.
“Agai amang tabo nai… mangallangi nama au… anggo on pe tombus namarjalang i…” (waduh bapak enaknya… makan besar saya… kalau begini berhasillah perantauanku…), Amrin tersenyum dan berkata dalam hatinya.
“Begini saja… mulai besok kau mulailah mencari arsitek yang hebat dari Bali… kau aturlah semua… kaulah pelaksananya….”, Timbul memberi tugas langsung pada Amrin. Ini sudah diduganya.
“Apala holan mangombak adong tarbirsak gambo tu pamangan, apalagi ma hepeng mar milliyar…” (memacul sawahpun akan terpercik lumpur ke mulut… apalagi proyek milliyaran..) Begitu prinsip Amrin.
Dengan semangat Amrin sibuk menghubungi para Arsitek, juga orang orang yang akan mensuplay bahan-bahan untuk pembuatan tugu, tentunya dengan potongan uang taba taba sekian persen.
Tugu yang di bangun Timbul itu memang sangat megah dan indah. Maklum, arsiteknya dari Bali, seorang arsitek yang cukup terkenal. Bahkan para pembuat ukir ukiran patungnya pun dari Bali. Tenaga tukang dari Balige hanya sebagai pembantu, sebagai tukang kocok semen.
Saran saran dari petukang Balige yang berpengalaman dan tau adat Batak itu tidak diindahkan. Ketika mereka mengatakan bahwa tidak baik membuat anak tangga yang berjumlah genap karena itu adalah symbol keluarga “Hatoban”, seharusnya mesti ganjil, milik para Radja, mereka tak menghiraukan.
***
Semenjak dari awal pendirian tugu, nyonya Napitupulu boru Sianipar, cuma geleng geleng kepala, sedikitpun dia tak merasa tertarik. Dia juga tak mau mengomentari ketika orang orang Sakkar ni Huta membicarkan keberhasilan Timbul dan kemegahan tugu yang di bangunnya, di laponya. Dia tak bisa melupakan pemandangannya ketika dia menemukan mayat Ompu ni Jonggara ayahanda Timbul yang telah kaku dengan posisi membungkuk di atas balai-balainya sudah mulai bau. Yang lebih parah lagi karena posisinya yang membungkuk, penduduk desa sangat kesulitan memasukkan mayat Ompu ni Jonggara kedalam abal-abal buatan Amang Sintua Siahaan Par-Sibulele. Mereka tak tega menekan atau menarik terlalu keras, karena takut mungkin ada bagian tubuh yang akan patah. Memang dia sudah tidak merasakan lagi, tetapi tetap saja tidak tega.
Boru Sianipar juga masih mengingat bagaimana sedihnya perasaannya bila melihat Ompu ni Jonggara meringis menahan sakit dikala penyakit rheumatik dan maagnya kambuh. Dia tak dapat berbuat banyak, mau membawanya berobat ke dokter dia pun kesulitan sebab dia juga harus membiayai sekolah anak anaknya. Membawa Ompu ni Jonggara berobat ke Rumah sakit Balige… lebih parah lagi, sebab Rumah Sakit milik HKBP ini yang nota bene, dibiayai oleh Persembahan durung-durung dan iyuran tahunan ruas (masyarakat umum) ternyata tak bisa diandalkan. Masyarakat HKBP memberikan durung-durung dan iyuran tahunan dengan ikhlas dan tanpa pamrih, tetapi ketika uang itu sampai ditangan Yayasan Rumah Sakit, mereka tak pernah ikhlas memberi pelayanan tanpa bayaran. Tak ada tempat bagi si miskin.