Lalu bagaimana dengan sekolah anak-anak ketika terjadi perang? Kemungkinan besar akan muncul mata pelajaran baru yakni mata pelajaran untuk berperang. Anak-anak akan dipersiapkan untuk itu.Â
Cita-cita mereka yang berwarna-warni akan berubah menjadi seragam coklat bersenapan. Dengan demikian, bukan tidak mungkin bahwa anak-anak akan menjadi korban di medan pertempuran.
Lalu apabila konflik sudah selesai mereka harus menyesuaikan diri dengan teman-teman seumuran meraka di negara lain? Yang pasti mereka sudah ketinggalan dalam segi penguasaan ilmu pengetahuan.Â
Padahal dalam dunia modern kekuatan berpikir lebih dibutuhkan daripada kekuatan fisik. Orang yang hanya mengandalkan kekuatan fisik akan menjadi budak orang yang mengandalakan otak.Â
Secara tidak langsung ini akan membuat anak-anak korban perang menjadi budak yang miskin di masa depan. Ini adalah sebuah permainan masa depan anak-anak yang licik.
Siapa yang peduli nasib anak-anak korban perang? Orang tuanya  pun agaknya juga tidak peduli terhadap masa depan mereka. Yang terpenting bagi mereka sekarang adalah tentang menyelamatkan hidup, rumah, wilayah, harta benda, keluarga dan kekuasaan sekarang.Â
Padahal sebenarnya yang diserang dengan lebih kejam itu adalah nasib anak-anak mereka. Yang dibom sebenarnya bukan rumah atau perkantoran mereka, tetapi sebenarnya yang sedang dibom itu adalah cita-cita dan masa depan anak-anak.
Maka mari kita lihat fenomena lima belas sampai dua puluh tahun lagi. Apakah ada banyak anak-anak korban perang yang menjadi pengusaha sukses atau bos besar? Para pemimpin pemerintahan harus memperhatikan nasib anak-anak mereka.Â
Jangan sampai terkecoh pada bom di rumah atau perkantoran, namun sadari bom yang ada di cita-cita dan masa depan anak-anak. Masa depan setiap negara ada di tangan anak-anak. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H