Mengapa meraka hanya menginginkan tanah dan sebuah ilusi kekuasaan? Mengapa mereka tidak menginginkan masa depan yang indah bagi anak-anak tersebut?
Mungkin mereka bisa berkata: "Saya bisa membuat masa depan mereka lebih cerah dengan membuat mereka hidup dibawah kepimpinan saya."Â
Bagaimana itu mungkin bisa terjadi ketika meraka tidak lagi memiliki bagian tubuh yang lengap akibat serangan yang salah sasaran?Â
Bagaimana meraka mungkin bisa memiliki masa depan yang bahagia ketika meraka memiliki luka batin, sebab orang tuanya meninggal menjadi korban perang?Â
Bagaimana mereka bisa sukses ketika sekolah mereka terputus selama beberapa tahun karena mengungsi? Siapa yang peduli pada nasib anak-anak korban perang?
Mengapa nasib anak-anak perlu menjadi perhatian? Jawabannya simple, karena mereka adalah masa depan dunia ini. Nasib dunia di masa mendatang ini bergantung pada anak-anak. Apa yang ditanamkan pada mereka sekarang akan selalu ada buahnya di masa mendatang, entah itu buah yang baik ataupun buah yang buruk.
Menurut buku Bahagia Itu Sederhana, anak-anak cenderung belum mempunyai pola berpikir yang kompleks. Pikiran mereka masih sederhana sekali.Â
Maka bila diberi sebuah pengalaman yang traumatis, anak-anak akan cenderung mengalami kesedihan yang cukup mendalam, mereka cenderung belum bisa untuk menerima bahkan mengolah pengalaman traumatis tersebut.Â
Pengalaman menjadi korban perang biasanya juga membentuk kepribadian mereka yang cenderung tidak percaya diri, contohnya masyarakat Indonesia.Â
Masyarakat Indonesia sudah terjajah selama lebih dari tiga ratus tahun. Pengalaman ini cukup mempengaruhi kepribadian bangsa ini menjadi kurang percaya diri.Â
Masyarakat Indonesia sebenarnya punya potensi untuk bersing di negara luar, tetapi sebagaian besar masyarakat Indonesia kurang percaya diri untuk melangkah lebih jauh.