Mohon tunggu...
Daniel EkaSaputra
Daniel EkaSaputra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA di Magelang

saya adalah bagian dari masyarakat -------------------------------------- saya adalah individu yang penuh dengan cerita ----------------------------------------------------------------- ada banyak cerita ------------------ semuanya benar-benar bisa menjadi ceria ---------------------------------------------------------- tetapi tidak semuanya adalah candu -----------------------------------------------.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Pemenang Perang dengan Menghancurkan Anak-anak

18 Agustus 2022   09:35 Diperbarui: 18 Agustus 2022   09:40 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perang adalah sebuah kata yang sering diidentikkan dengan kematian. Ada bayangan tentang pertumpahan darah dan perjuangan. Menurut laman detik.com dalam Perang Dunia II (1939-1945) ada 418.500 korban meninggal dunia. 

Itu saja baru satu perang, padahal di dunia ini sudah ada banyak sekali perang, dengan berbagai alasan, entah itu perebutan daerah kekuasaan hingga perebutan wanita.

Perang adalah sesuatu yang mengerikan, bahkan untuk menghindarinya negara-negara di dunia mendirikan PBB, organisasi antarbangsa terbesar di dunia. Salah satu tujuan dibentuknya PBB adalah menjaga perdamaian antarnegara.

Namun perang tidak benar-benar menghilang dari dunia ini. Menurut buku The Catholic Way, secara prinsip bisa dikatakan, keadaan-keadaan buruk, seperti perang dan seterusnya, adalah akibat dari manusia yang salah menggunakan akal budi, hati nurani, dan kemerdekaannnya. 

Perdamaian sulit untuk tercipta apalagi bila dihadapkan dengan ego dan nafsu. Belakangan ini kita sering mendengar beberapa istilah tentang perang, seperti: kudeta, invasi, latihan militer dan lainnya.

Situasi dunia belakangan ini memang sedang memanas dengan berbagai konflik yang pada akhirnya dapat menuju kepada perang. Yang pertama tentang kudeta di Myanmar oleh militer Myanmar. 

Menurut laman bbcnewsindonesia sudah ada sekitar 12.000 orang yang tewas. Lalu ada konflik tentang pengambilalihan kekuasaan di Afganistan oleh kelompok Taliban. Lalu pada 24 Februari 2022 Rusia melakukan invasi ke Ukraina. 

Menurut laman www.liputan6.com ada lebih dari 100 juta orang terpaksa mengungsi akibat perang Rusia-Ukraina. Ketika konflik di barat belum selesai, muncul lagi konflik yang sedang hangat di Selat Taiwan. China dan Taiwan sekarang sedang aktif dalam latihan militer yang kemungkinan besar akan menuju kepada peperangan juga.

Perang bertambah banyak dan korban pengungsi pun akan bertambah banyak pula. Menurut dataindonesia.id jumlah pengungsi di dunia pada 2021 mencapai 20,66 juta orang. Mayoritas dari para pengungsi tersebut adalah perempuan dan anak-anak.

Bagaimana nasib anak-anak ketika perang?

Apakah para pemimpin perang peduli pada mereka? Apakah Vladimir Putin peduli bagi anak-anak Ukraina? Mengapa para pemimpin perang tidak peduli pada anak-anak korban perang meraka? 

Mengapa meraka hanya menginginkan tanah dan sebuah ilusi kekuasaan? Mengapa mereka tidak menginginkan masa depan yang indah bagi anak-anak tersebut?

Mungkin mereka bisa berkata: "Saya bisa membuat masa depan mereka lebih cerah dengan membuat mereka hidup dibawah kepimpinan saya." 

Bagaimana itu mungkin bisa terjadi ketika meraka tidak lagi memiliki bagian tubuh yang lengap akibat serangan yang salah sasaran? 

Bagaimana meraka mungkin bisa memiliki masa depan yang bahagia ketika meraka memiliki luka batin, sebab orang tuanya meninggal menjadi korban perang? 

Bagaimana mereka bisa sukses ketika sekolah mereka terputus selama beberapa tahun karena mengungsi? Siapa yang peduli pada nasib anak-anak korban perang?

Mengapa nasib anak-anak perlu menjadi perhatian? Jawabannya simple, karena mereka adalah masa depan dunia ini. Nasib dunia di masa mendatang ini bergantung pada anak-anak. Apa yang ditanamkan pada mereka sekarang akan selalu ada buahnya di masa mendatang, entah itu buah yang baik ataupun buah yang buruk.

Menurut buku Bahagia Itu Sederhana, anak-anak cenderung belum mempunyai pola berpikir yang kompleks. Pikiran mereka masih sederhana sekali. 

Maka bila diberi sebuah pengalaman yang traumatis, anak-anak akan cenderung mengalami kesedihan yang cukup mendalam, mereka cenderung belum bisa untuk menerima bahkan mengolah pengalaman traumatis tersebut. 

Pengalaman menjadi korban perang biasanya juga membentuk kepribadian mereka yang cenderung tidak percaya diri, contohnya masyarakat Indonesia. 

Masyarakat Indonesia sudah terjajah selama lebih dari tiga ratus tahun. Pengalaman ini cukup mempengaruhi kepribadian bangsa ini menjadi kurang percaya diri. 

Masyarakat Indonesia sebenarnya punya potensi untuk bersing di negara luar, tetapi sebagaian besar masyarakat Indonesia kurang percaya diri untuk melangkah lebih jauh.

Lalu bagaimana dengan sekolah anak-anak ketika terjadi perang? Kemungkinan besar akan muncul mata pelajaran baru yakni mata pelajaran untuk berperang. Anak-anak akan dipersiapkan untuk itu. 

Cita-cita mereka yang berwarna-warni akan berubah menjadi seragam coklat bersenapan. Dengan demikian, bukan tidak mungkin bahwa anak-anak akan menjadi korban di medan pertempuran.

Lalu apabila konflik sudah selesai mereka harus menyesuaikan diri dengan teman-teman seumuran meraka di negara lain? Yang pasti mereka sudah ketinggalan dalam segi penguasaan ilmu pengetahuan. 

Padahal dalam dunia modern kekuatan berpikir lebih dibutuhkan daripada kekuatan fisik. Orang yang hanya mengandalkan kekuatan fisik akan menjadi budak orang yang mengandalakan otak. 

Secara tidak langsung ini akan membuat anak-anak korban perang menjadi budak yang miskin di masa depan. Ini adalah sebuah permainan masa depan anak-anak yang licik.

Siapa yang peduli nasib anak-anak korban perang? Orang tuanya  pun agaknya juga tidak peduli terhadap masa depan mereka. Yang terpenting bagi mereka sekarang adalah tentang menyelamatkan hidup, rumah, wilayah, harta benda, keluarga dan kekuasaan sekarang. 

Padahal sebenarnya yang diserang dengan lebih kejam itu adalah nasib anak-anak mereka. Yang dibom sebenarnya bukan rumah atau perkantoran mereka, tetapi sebenarnya yang sedang dibom itu adalah cita-cita dan masa depan anak-anak.

Maka mari kita lihat fenomena lima belas sampai dua puluh tahun lagi. Apakah ada banyak anak-anak korban perang yang menjadi pengusaha sukses atau bos besar? Para pemimpin pemerintahan harus memperhatikan nasib anak-anak mereka. 

Jangan sampai terkecoh pada bom di rumah atau perkantoran, namun sadari bom yang ada di cita-cita dan masa depan anak-anak. Masa depan setiap negara ada di tangan anak-anak.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun