Mohon tunggu...
Dania Sabrina Ziliwu
Dania Sabrina Ziliwu Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Hukum President University

Imago Dei

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Persamaan Hak Perempuan dalam Hukum Waris Masyarakat Patrilineal

16 Maret 2021   12:10 Diperbarui: 16 Maret 2021   12:19 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anotasi ini ditulis berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2826 K/Pdt/2017 yang didaftarkan oleh Prof. Dr. Hj. Made Sadhi Astuti alias Ni Made Astuti, Ni Nyoman Sarini, Ni Luh Gede Sawitri, Ni Ketut Sukarini, dan Ni Made Suyatni untuk melawan I Gede Sadha. Sebelumnya, para pemohon dan termohon sudah terlebih dahulu berperkara di Pengadilan Negeri Banyuwangi yang tercatat dalam Putusan Nomor 55/Pdt.G/2015/PN.Bwi, serta di Pengadilan Tinggi Surabaya yang tercatat dengan Putusan Nomor 620/PDT/2016/ PT.SBY. Ketiga putusan tersebut memutus perkara mengenai sengketa hak waris.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi dalam putusannya menyatakan bahwa I Gede Sadha merupakan ahli waris satu-satunya dalam sengketa hak waris ini. Putusan di Pengadilan Negeri Banyuwangi ini pun semakin dikuatkan dengan putusan di Pengadilan Tinggi Surabaya, dengan 'memenangkan' I Gede Sadha sebagai satu-satunya ahli waris dati alm. I Wayan Nardo. Para tergugat hanya diakui haknya sebagai anak-anak kandung dari alm. I Wayan Nardo atau Wajan Nardo Pak Gede Ardo. Lantaran anak-anak perempuan dari alm. I Wayan Nardo tidak mendapatkan status sebagai ahli waris, maka permohonan atas pembatalan terhadap Putusan Nomor 55/Pdt.G/2015/PN.Bwi didaftarkan ke Mahkamah Agung.

 Melalui tulisan ini, penulis akan membahas setidaknya 3 (tiga) permasalahan mengenai sengketa waris diatas. Pertama, penulis akan memaparkan perkembangan hak waris perempuan dalam adat Bali. Kedua, jurnal ini akan membahas mengenai penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang berperkara jika suatu saat terjadi sengketa hak waris. Ketiga, tulisan ini juga memuat penjelasan mengenai implikasi putusan Mahkamah Agung ini terhadap pemohon, termohon, dan juga masyarakat.

 Tulisan ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan menjadikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2826 K/Pdt/2017 sebagai objek kajian. Penulis juga menggunakan data hukum primer berupa peraturan perundang-undangan seperti UU Nomor Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga Yurisprudensi dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 179 K/SIP/1961. Data hukum sekunder juga digunakan dalam tulisan ini untuk mendukung argument penulis dalam membangun tulisan ini. Data hukum sekunder yang digunakan berupa jurnal-jurnal nasional dan juga artikel online.

Posisi Kasus

Melalui musyawarah majelis hakim Mahkamah Agung tanggal 11 Desember 2017, diputuskan bahwa majelis hakim Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang dilayangkan oleh Prof. Dr. Hj. Made Sadhi Astuti alias Ni Made Astuti, Ni Nyoman Sarini, Ni Luh Gede Sawitri, Ni Ketut Sukarini, dan Ni Made Suyatni untuk melawan I Gede Sadha dalam perkara sengketa hak waris.

Permohonan dan Pokok Permohonan

Pemohon kasasi dalam perkara sengketa hak waris ini terdiri dari 5 (lima) orang, yaitu Prof. Dr. Hj. Made Sadhi Astuti alias Ni Made Astuti (beragama Islam), Ni Nyoman Sarini (beragama Hindu), Ni Luh Gede Sawitri (beragama Hindu), Ni Ketut Sukarini (beragama Islam), dan Ni Made Suyatni (beragama Hindu) yang merupakan anak-anak kandung dari alm. I Wayan Nardo untuk melawan I Gede Sadha (beragama Hindu) yang juga merupakan anak kandung dari alm. I Wayan Nardo.

Para pemohon mengajukan kasasi sebab merasa dirugikan dengan adanya putusan sebelumnya, baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Tinggi. Dalam memori kasasinya, pemohon menuliskan bahwa para pemohon juga termasuk ahli waris dari alm. I Wayan Nardo, bahwa objek yang disengketakan merupakan sebuah tanah dengan SHM No. 941 di Desa Watukebo, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi seluas 21.910 meter persergi atas nama Pak Gede Ardo serta tanah dengan SHM No. 942 di Desa Watukebo, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi seluas 21.950 meter persergi atas nama Pak Gede Ardo, dan bahwa sudah ada pengaturan terbaru tentang pembagian hak waris yang diatur dalam Keputusan MUDP Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP/ MDP Bali/X/2010 dan baik Pengadilan Negeri Banyuwangi maupun Pengadilan Tinggi Surabaya telah lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam keputusan tersebut.

Atas dasar alasan-alasan diatas, maka para pemohon meminta Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan-putusan yang telah ada sebelumnya.

Amar Putusan Mahkamah Agung

Kewenangan Mahkamah Agung dalam membatalkan suatu putusan atau penetapan dari pengadilan, diatur dalam Pasal 30 ayat (1) tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yaitu: "Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan."[1] 

Pertimbangan hakim dalam mengadili perkara ini adalah alasan-alasan yang diberikan oleh para termohon tidak dapat dibenarkan sebab Pengadilan Negeri Banyuwangi dan dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tidak salah menerapkan hukum. Yang mana kedua pengadilan tersebut sama-sama menggunakan pertimbangan berdasarkan hukum adat Bali, hanya anak laki-laki lah yang bisa memperoleh status sebagai pewaris dan mendapatkan objek waris, semua anak perempuan alm. I Wayan Nardo telah melakukan kawin keluar[2] bahkan tergugat I dan IV telah berpindah agama, dan pertimbangan terakhir adalah hukum waris Bali juga mengatur tentang hal-hal yang menghalangi anak laki-laki untuk menjadi ahli waris, diantaranya durhaka terhadap orang tua, kawin nyentana[3], memiliki penyakit kejiwaan, dan tidak beragama Hindu. Sedangkan I Gede Sadha tidak satupun melanggar ketentuan tersebut, sehingga hal ini menjadikannya satu-satunya pewaris atas harta peninggalan orang tuanya. 

Mengacu pada pemaparan diatas, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan ataupun menolak melakukan pembatalan atas putusan pengadilan sebelumnya. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Prof. Dr. Hj. Made Sadhi Astuti, dkk. Selain itu, Mahkamah Agung juga menghukum para pemohon kasasi untuk membayar perkara di tingkat kasasi ini sebesar Rp 500.000.

Kedudukan Perempuan dalam Hukum Waris Masyarakat Adat Patrilineal

Hak mewaris, pengaturan mengenai pembagian besaran warisan, dan hukum adat merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Setiap wilayah masyarakat adat di Indonesia pasti memiliki peraturannya sendiri dalam membagi hak waris dan juga objek waris itu sendiri. Hal yang membedakan hanyalah bagaimana sistem kekeluargaan atau kekerabatan yang digunakan di wilayah tersebut.

Di Indonesia pada dasarnya mengenal 3 (tiga) sistem kekerabatan atau kekeluargaan, yakni: pertama, sistem kekerabatan patrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Sistem ini biasa ditemukan pada suku Batak, Nias, Bali, dan lain-lain. Kedua, sistem kekeluargaan matrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu). Sistem ini biasa digunakan oleh suku Minangkabau. Ketiga, sistem kekerabatan parental, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah) dan pihak perempuan (ibu). Sistem ini dianut oleh suku Jawa, Madura, dan lain-lain.[1]

Singkatnya, status perempuan dalam sistem kewarisan di masyarakat patrilineal tidak diperhitungkan. Sebab, sistem kekerabatan patrilineal mutlak menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Anak perempuan hanya sekadar bisa menikmati dan menggunakan harta warisan dari orang tuanya, tanpa bisa memiliki dan meneruskan peninggalan tersebut. 

Perkembangan Hak Waris Perempuan dalam Hukum Adat Bali

Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal atau dalam bahasa Bali garis purusa. Hal ini menyebabkan hanya anak laki-laki saja yang bisa meneruskan warisan dari orangtuanya, sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan status sebagai pewaris dan tidak mendapatkan bagian. Objek warisan di Bali pun tidak melulu tentang harta benda yang memiliki nilai ekonomis, tetapi ada juga warisan berupa benda pusaka yang bernilai magis religious.[1] 

Sebelum adanya Pesamuhan Agung III yang akhirnya mengeluarkan sebuah aturan baru yang mengatur bahwa anak yang berstatus perempuan bisa mendapatkan warisan, anak perempuan di Bali tidak mendapatkan status sebagai ahli waris serta juga tidak mendapatkan bagiannya dalam pembagian objek waris.

Setelah bertahun-tahun hukum waris adat Bali mengatur bahwa hanya anak yang berstatus sebagai anak laki-laki saja atau purusa yang bisa mendapatkan status sebagai ahli waris. Hingga akhirnya pada tahun 2010, Majelis Desa Pakraman Bali menetapkan bahwa  anak perempuan bisa menjadi ahli waris melalui Keputusan Pesamuhan Agung III.

Setelah dikeluarkannya Keputusan Pesamuhan Agung III, posisi predana[2] adalah status anak perempuan dalam hukum waris adat Bali bisa mendapatkan setengah dari hak purusa[3] setelah dipotong satu per tiga untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian.[4] Namun, tidak semua predana bisa mendapatkan status sebagai ahli waris serta objek warisnya. Dalam Keputusan Pesamuhan Agung III, ada ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang alasan seorang perempuan (predana) tidak bisa mendapatkan hak warisnya, yaitu: untuk predana yang sudah berpindah keyakinan dari Hindu ke agama lain (tidak beragama hindu lagi). Sebab, seperti dalam penjelasan 3.1, objek waris di Bali tidak hanya yang bersifat ekonomis, namun juga ada yang bersifat magis-religius. Objek waris yang bersifat magis-religius inilah yang biasanya digunakan masyarakat adat Bali yang beragama Hindu untuk melakukan ritual-ritual keagamaan. 

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2826 K/Pdt/2017, anak perempuan alm. I Wayan Nardo berjumlah 5 (lima) orang. Tetapi 2 dari 5 anaknya sudah meninggalkan agama Hindu dan berpindah agama menjadi Islam. Hal ini lah yang menurut penulis menarik untuk dibahas. Bagi anak yang tetap memeluk agama Hindu, sudah seharusnya ketiga anak tersebut mendapatkan bagian warisnya sesuai dengan Keputusan Pesamuhan Agung III. Karena ketiga anak tersebut memenuhi ketentuan dalam pembagian waris menurut Keputusan Pesamuhan Agung III, yaitu tidak berpindah agama.

Lantas mengapa 2 anak lainnya tidak bisa mendapatkan bagiannya? Bukankah mereka juga berstatus sebagai perempuan? Alasan yang menjadikan 2 anak lainnya tidak bisa mendapatkan hak warisnya adalah karena kedua anak lainnya sudah berpindah agama, sedangkan dalam Keputusan Pesamuhan Agung III, jika sudah berpindah agama tidak bisa diakui sebagai ahli waris. Seperti yang sudah kita ketahui, harta peninggalan dalam siste waris Bali juga meliputi benda-benda yang bersifat magis-religius. Benda-benda tersebut memang lazim digunakan masyarakat adat Bali yang beragama Hindu untuk melakukan aktivitas keagamaan. Jika benda-benda tersebut jatuh ke tangan ahli waris yang sudah berpindah agama, maka benda tersebut tidak bisa dilestarikan lagi dan tidak bisa berfungsi apa-apa. Karena jelas agama diluar Hindu sudah pasti tidak menggunakan benda magis-religius tersebut untuk melakukan aktivitas keagamaan. 

Maka dari itu, dalam membela hak-hak waris perempuan juga perlu diperhatikan aspek lain, seperti keagamaan dan kebudayaan. Nilai-nilai agama dan pelestarian kebudayaan juga sudah sepatutnya tidak boleh dikesampingkan. Terlebih jika hal tersebut juga sudah diatur dalam sebuah peraturan (dalam hal ini Keputusan Pesamuhan Agung III).

Penyelesaian Sengketa Hak Waris di Masyarakat Bali

Sebagaimana mestinya sebuah desa adat, pasti memiliki kepala adat yang berwenang untuk mengatur desa tersebut. Desa-desa adat di Bali juga memiliki seorang kepala desa adat yang biasa dikenal dengan nama Prajuru Desa Adat. Prajuru Desa Adat ini diatur juga dalam Peraturan Daerah (Perda) Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Bali. Menurut Pasal 30 huruf e, yang berbunyi "Tugas dan kewajiban Prajuru Desa Adat; e. menyelesaikan perkara adat/wicara yang terjadi dalam Wewidangan[1] Desa Adat". Hal ini berarti bahwa jika ada permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat adat Bali, maka dapat dilakukan musyawarah terlebih dahulu oleh Prajuru Desa Adat.  

Dalam hal sengketa objek waris yang terjadi diantara anak-anak alm. I Wayan Nardo ini, I Gede Sadha tidak mencoba membawa perkara ini untuk dimusyawarahkan kepada petua-petua adat seperti bendesa adat ataupun prajuru desa. Padahal tergugat menggunakan hukum adat Bali dalam argumentasinya. Tergugat beralasan bahwa dalam hukum adat Bali, hanya anak laki-laki atau anak perempuan yang diberikan status sebagai anak laki-laki yang bisa mendapatkan status sebagai ahli waris dan juga mendapatkan bagiannya dalam pembagian objek waris.

Dengan kata lain, tergugat sangat selektif untuk membangun argumentasinya dan juga menggunakan argumentasi tersebut untuk mendukung kepentingannya agar bisa menguasai objek waris berdasarkan hukun adat Bali lama tanpa memperhatikan eksistensi dari Keputusan Pesamuhan Agung III atau MUDP Bali 2010.

Penggugat menggunakan Keputusan Pesamuhan Agung III sebagai dasar argumenatasinya agar para penggugat bisa mendapatkan status sebagai ahli waris dan juga mendapatkan bagiannya dalam pembagian objek waris ini. Namun sayangnya, majelis hakim baik majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi, Pengadilan Tinggi Surabaya, maupun Mahkamah Agung tidak mengindahkan adanya peraturan terbaru di Bali yang mengatur tentang hak waris, yaitu Keputusan Pesamuhan Agung III. Tentu hal ini bisa dipertanyakan, mengapa majelis hakim tidak menggunakan Keputusan Pesamuhan Agung III sebagai dasar pertimbangannya dan dasar penilaian dalam memutus perkara ini. Apakah hakim tidak setuju dg keputusan MUDP? Atau hakim menganggap bahwa keputusan MUDP itu bukan sumber hukum? Atau hakim mungkin berpandangan bahwa keputusan MUDP hanya berlaku di Bali, sedangkan perkara ini terjadi untuk orang yang tinggal di luar Bali dan objek sengketanya juga di luar Bali.

Untuk menjawab pertanyaan diatas, penulis berargumen bahwa majelis hakim tidak mempertimbangkan Keputusan Pesamuhan Agung III karena memang dalam praktiknya Keputusan Pesamuhan Agung III belum dilaksanakan dengan baik. Dalam artian masyarakat adat Bali pun masih menggunakan hukum adat Bali yang lama.[2] Namun, memang sebaiknya Keputusan Pesamuhan Agung III dijadikan pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara ini. Sebab Keputusan Pesamuhan Agung III dapat menjadi jawaban untuk persamaan hak waris perempuan dan juga laki-laki. 

Sementara itu, melihat hakim memutus perkara dengan menggunakan hukum adat Bali meskipun objek waris tidak berada di Bali, dapat disimpulkan bahwa hukum adat Bali mengikuti 'orangnya'. Sebab hakim memutus perkara sengketa waris ini dengan menggunakan hukum adat Bali, sekalipun objek warisnya berada di Banyuwangi, Jawa Timur. Dengan demikian, dapat juga disimpulkan bahwa hukum adat itu 'berjalan' mengikuti orangnya kemanapun mereka pergi.

Pada dasarnya, hakim sudah menjalankan kewajibannya untuk menerapkan hukum yang hidup dalam masyarakat, sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat."  Akan tetapi dalam menerapkan Pasal 5 UU Kehakiman ini pun, hakim abai memperhatikan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat itu pun mengalami perkembangan. Dengan kata lain, hukum yang hidup di dalam masyarakat itu bersifat dinamis, contohnya Keputusan Pesamuhan Agung III.

Implikasi Putusan Mahkamah Agung Terhadap Masyarakat Bali

Dengan adanya Putusan Mahkamah Agung ini tentunya memberikan dampak, baik kepada para penggugat dan tergugat, juga memberikan dampak kepada masyarakat adat Bali. Hakim tidak menerapkan Keputusan Pesamuhan Agung III, dan bahkan tidak menjadikan Keputusan Pesamuhan Agung III sebagai dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini.

Selain Keputusan Pesamuhan Agung III yang diabaikan oleh hakim, hakim juga mengabaikan Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 yang sudah menjadi yurisprudensi bagi penyelesaian sengketa waris. Meskipun Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 menyelesaikan sengketa waris dalam masyarakat adat Karo, namun tetap saja putusan tersebut bisa dikaitkan dalam kasus sengketa waris di Bali ini. Sebab kedua wilayah adat tersebut sama-sama menggunakan sistem patrilineal. Yang mana, dalam putusan Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 menyatakan bahwa Mahkamah Agung mengakui atas dasar kemanusiaan, keadilan, dan persamaan hak waris antara perempuan dan laki-laki dianggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia. Maka dari itu, di Tanah Karo juga dapat diterapkan hukum ini sehingga anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris dan berhak menerima bagian dari harta warisan yang dimiliki oleh orangtuanya.

Atas dasar itulah, patut dipertanyakan mengapa hakim tidak menggunakan Keputusan Pesamuhan Agung III dan juga Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 yang jelas memaparkan keberpihakannya terhadap persamaan hak waris antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan Mahkamah Agung inkonsistensi dalam menyelesaikan perkara waris. Dengan tidak diaplikasikannya Keputusan Pesamuhan Agung III serta penolakan Mahkamah Agung dalam putusan sengketa waris di bali ini maka dapat dikatakan bahwa eksistensi Keputusan Pesamuhan Agung III hanya sebagai formalitas saja untuk memperlihatkan adanya kesamaan hak waris dalam masyarakat adat Bali.

Kesimpulan

Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menganut sistem patrilineal. Sistem kekerabatan patrilineal merupakan sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari laki-laki (ayah). Maka dari itu status ahli waris hanya bisa diberikan kepada anak laki-laki saja atau anak yang diberi status sebagai laki-laki (purusa). Namun, pada tahun 2010 Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali mengeluarkan Keputusan Pesamuhan Agung III yang mengatur tentang hukum waris terbaru, yang menyatakan bahwa anak perempuan atau anak yang diberi status sebagai perempuan (predana) bisa mendapatkan harta warisan.

Dalam kasus ini, penggugat menggunakan Keputusan Pesamuhan Agung III untuk membangun argumentasinya agar bisa mendapatkan haknya sebagai ahli waris. Namun hakim tidak mengindahkan bahkan tidak menyinggung Keputusan Pesamuhan Agung III dan juga Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 1961 tentang sengketa waris di tanah Karo sebagai pertimbangan dalam memutus perkara ini. Atas dasar itulah, patut dipertanyakan mengapa hakim tidak menggunakan Keputusan Pesamuhan Agung III dan juga Putusan Nomor 179 K/SIP/1961 yang jelas memaparkan keberpihakannya terhadap persamaan hak waris antara laki-laki dan perempuan. Dengan tidak diaplikasikannya Keputusan Pesamuhan Agung III serta penolakan Mahkamah Agung dalam putusan sengketa waris di bali ini maka dapat dikatakan bahwa eksistensi Keputusan Pesamuhan Agung III hanya sebagai formalitas saja untuk memperlihatkan adanya kesamaan hak waris dalam masyarakat adat Bali.

Mahkamah Agung juga inkonsistensi dalam memutus perkara waris ini, hal mungkin bisa menjadi bahan penelitian baru bagi para pemerhati hukum untuk bisa dikaji lebih lanjut mengenai mengapa Mahkamah Agung memiliki keputusan yang berbeda dalam memutus perkara waris diantara laki-laki dan perempuan.

Daftar Pustaka

Dangin, Ni Luh Gede Isa Praresti., Adi, Koesno., Permadi, Iwan., Kedudukan Hak Mewaris Wanita Hindu dalam Sistem Hukum Adat Waris di Bali, Jurnal Universitas Brawijaya.

Hakim, Amrie, Hak Waris Perempuan Menurut Hukum Adat Bali, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f6ac3987ac0e/hak-waris-perempuan-menurut-hukum-adat-bali-/, diakses pada Januari, 2021

Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 30 ayat (1) tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 179 K/SIP/1961

Sari, Ni Ketut Novita, Pelaksanaan Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Terkait Kedudukan Perempuan Hindu Bali Sebagai Ahli Waris, Artikel Ilmiah Universitas Brawijaya, 2015, hlm 12

Surata, I Gede, Kedudukan Ahli Waris Predana Menurut Hukum Adat Bali Hubungannya dengan Hak Atas Tanah Terkait dengan Pesamuan Agung III Tahun 2010, Jurnal Hukum Kertha Widya, Vol. 7, No. 2, Desember 2019, hlm. 20.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun