Mohon tunggu...
Dania Sabrina Ziliwu
Dania Sabrina Ziliwu Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Hukum President University

Imago Dei

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Persamaan Hak Perempuan dalam Hukum Waris Masyarakat Patrilineal

16 Maret 2021   12:10 Diperbarui: 16 Maret 2021   12:19 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hak mewaris, pengaturan mengenai pembagian besaran warisan, dan hukum adat merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Setiap wilayah masyarakat adat di Indonesia pasti memiliki peraturannya sendiri dalam membagi hak waris dan juga objek waris itu sendiri. Hal yang membedakan hanyalah bagaimana sistem kekeluargaan atau kekerabatan yang digunakan di wilayah tersebut.

Di Indonesia pada dasarnya mengenal 3 (tiga) sistem kekerabatan atau kekeluargaan, yakni: pertama, sistem kekerabatan patrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Sistem ini biasa ditemukan pada suku Batak, Nias, Bali, dan lain-lain. Kedua, sistem kekeluargaan matrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu). Sistem ini biasa digunakan oleh suku Minangkabau. Ketiga, sistem kekerabatan parental, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah) dan pihak perempuan (ibu). Sistem ini dianut oleh suku Jawa, Madura, dan lain-lain.[1]

Singkatnya, status perempuan dalam sistem kewarisan di masyarakat patrilineal tidak diperhitungkan. Sebab, sistem kekerabatan patrilineal mutlak menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Anak perempuan hanya sekadar bisa menikmati dan menggunakan harta warisan dari orang tuanya, tanpa bisa memiliki dan meneruskan peninggalan tersebut. 

Perkembangan Hak Waris Perempuan dalam Hukum Adat Bali

Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal atau dalam bahasa Bali garis purusa. Hal ini menyebabkan hanya anak laki-laki saja yang bisa meneruskan warisan dari orangtuanya, sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan status sebagai pewaris dan tidak mendapatkan bagian. Objek warisan di Bali pun tidak melulu tentang harta benda yang memiliki nilai ekonomis, tetapi ada juga warisan berupa benda pusaka yang bernilai magis religious.[1] 

Sebelum adanya Pesamuhan Agung III yang akhirnya mengeluarkan sebuah aturan baru yang mengatur bahwa anak yang berstatus perempuan bisa mendapatkan warisan, anak perempuan di Bali tidak mendapatkan status sebagai ahli waris serta juga tidak mendapatkan bagiannya dalam pembagian objek waris.

Setelah bertahun-tahun hukum waris adat Bali mengatur bahwa hanya anak yang berstatus sebagai anak laki-laki saja atau purusa yang bisa mendapatkan status sebagai ahli waris. Hingga akhirnya pada tahun 2010, Majelis Desa Pakraman Bali menetapkan bahwa  anak perempuan bisa menjadi ahli waris melalui Keputusan Pesamuhan Agung III.

Setelah dikeluarkannya Keputusan Pesamuhan Agung III, posisi predana[2] adalah status anak perempuan dalam hukum waris adat Bali bisa mendapatkan setengah dari hak purusa[3] setelah dipotong satu per tiga untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian.[4] Namun, tidak semua predana bisa mendapatkan status sebagai ahli waris serta objek warisnya. Dalam Keputusan Pesamuhan Agung III, ada ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang alasan seorang perempuan (predana) tidak bisa mendapatkan hak warisnya, yaitu: untuk predana yang sudah berpindah keyakinan dari Hindu ke agama lain (tidak beragama hindu lagi). Sebab, seperti dalam penjelasan 3.1, objek waris di Bali tidak hanya yang bersifat ekonomis, namun juga ada yang bersifat magis-religius. Objek waris yang bersifat magis-religius inilah yang biasanya digunakan masyarakat adat Bali yang beragama Hindu untuk melakukan ritual-ritual keagamaan. 

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2826 K/Pdt/2017, anak perempuan alm. I Wayan Nardo berjumlah 5 (lima) orang. Tetapi 2 dari 5 anaknya sudah meninggalkan agama Hindu dan berpindah agama menjadi Islam. Hal ini lah yang menurut penulis menarik untuk dibahas. Bagi anak yang tetap memeluk agama Hindu, sudah seharusnya ketiga anak tersebut mendapatkan bagian warisnya sesuai dengan Keputusan Pesamuhan Agung III. Karena ketiga anak tersebut memenuhi ketentuan dalam pembagian waris menurut Keputusan Pesamuhan Agung III, yaitu tidak berpindah agama.

Lantas mengapa 2 anak lainnya tidak bisa mendapatkan bagiannya? Bukankah mereka juga berstatus sebagai perempuan? Alasan yang menjadikan 2 anak lainnya tidak bisa mendapatkan hak warisnya adalah karena kedua anak lainnya sudah berpindah agama, sedangkan dalam Keputusan Pesamuhan Agung III, jika sudah berpindah agama tidak bisa diakui sebagai ahli waris. Seperti yang sudah kita ketahui, harta peninggalan dalam siste waris Bali juga meliputi benda-benda yang bersifat magis-religius. Benda-benda tersebut memang lazim digunakan masyarakat adat Bali yang beragama Hindu untuk melakukan aktivitas keagamaan. Jika benda-benda tersebut jatuh ke tangan ahli waris yang sudah berpindah agama, maka benda tersebut tidak bisa dilestarikan lagi dan tidak bisa berfungsi apa-apa. Karena jelas agama diluar Hindu sudah pasti tidak menggunakan benda magis-religius tersebut untuk melakukan aktivitas keagamaan. 

Maka dari itu, dalam membela hak-hak waris perempuan juga perlu diperhatikan aspek lain, seperti keagamaan dan kebudayaan. Nilai-nilai agama dan pelestarian kebudayaan juga sudah sepatutnya tidak boleh dikesampingkan. Terlebih jika hal tersebut juga sudah diatur dalam sebuah peraturan (dalam hal ini Keputusan Pesamuhan Agung III).

Penyelesaian Sengketa Hak Waris di Masyarakat Bali

Sebagaimana mestinya sebuah desa adat, pasti memiliki kepala adat yang berwenang untuk mengatur desa tersebut. Desa-desa adat di Bali juga memiliki seorang kepala desa adat yang biasa dikenal dengan nama Prajuru Desa Adat. Prajuru Desa Adat ini diatur juga dalam Peraturan Daerah (Perda) Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Bali. Menurut Pasal 30 huruf e, yang berbunyi "Tugas dan kewajiban Prajuru Desa Adat; e. menyelesaikan perkara adat/wicara yang terjadi dalam Wewidangan[1] Desa Adat". Hal ini berarti bahwa jika ada permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat adat Bali, maka dapat dilakukan musyawarah terlebih dahulu oleh Prajuru Desa Adat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun