Mohon tunggu...
Burdani Dani
Burdani Dani Mohon Tunggu... Insinyur - Sastra Mengubah Dunia

Saya senang membaca, saya juga berusaha menuliskan sesuatu yang berguna bagi orang. Boleh jadi menjadikannya hiburan atau penggugah inspirasi bagi orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Delon di Tahun 1990

12 Februari 2024   15:34 Diperbarui: 13 Februari 2024   08:41 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba hatiku bergumam pada diriku sendiri,

“Aku ini hanya apa, lelaki biasa yang jauh dari penilaian sempurna di mata orang, ketika orang bilang aku bak Bunga Flamboyan namun aku merasa bak bunga Melati diantara semak belukar di puncak gunung nan sunyi. Aku jauh dari berkecukupan untuk membahagiakan atau membuat takjub seseorang. Tak bisa dipungkiri jika orang tak mengistimewakan kepribadian yang baik namun lebih melihat sempurna harta dan kedudukan seseorang. Mungkin aku harus tetap menjadi ilalang kering sebagai atap yang bisa melindungi orang dari hujan dan terik matahari. Atau menjadi ilalang yang bergoyang tertiup angin menghibur hati seseorang yang sedang menyendiri karena sedih. Aku belum saatnya bahagia kini !”

                                                                                                                                         ***

Jantung Mama sudah membengkak, nafas tersengal-sengal, Mama hanya bisa terpejam di pembaringannya. Dokter ahli sudah mendiagnosa Mama terkena Leukemia. Aku sangat kaget mendengarnya dan terasa lemas badanku. Semua ketakutanku kini ada di pelupuk mataku, seakan semuanya segera akan terjadi.

Ayahku segera mengabari semua sanak saudara dan menceritakan segalanya tentang keadaan Mama. Kami bergantian menjaga Mama yang dalam keadaan kritis setiap malamnya. Kami hanya mampu berdoa dan tak bisa lakukan hal yang lebih untuk Mama, semua kami serahkan pada Team Dokter yang tangani Mama.

Semua sudah TakdirNya, pukul 10.35 malam Mama meninggalkan kami semua untuk selamanya. Tangis kakaku yang sulung menyambut kedatangan jenazah Mama di rumah. Ayahku tak menangis, mungkin beliau masih kaget. Selang beberapa saat ayahku pun mengeluarkan air mata cinta dan sayangnya buat Mama. Aku memperhatikan semua keadaan itu, meski hatiku hancur tak karuan namun aku tak bisa menangis. Aku faham betul keadaan Mama sebelumnya dan kedekatanku dengan Mama. Aku menerima semua takdir ini dalam bagian perjalanan hidupku.

1 minggu pemakaman Mama, surat Dina sampai di rumahku. Dina menceritakan bahwa dia tahu khabar kematian Mama dari temanku. Dia ceritakan turut berduka cita, dia juga ceritakan musibah yang menimpa kamarnya di lantai 2 rumahnya yang terbakar, entah sumber api dari mana. Aku membacanya dengan hati yang dingin dan tak mau melibatkan perasaan cintaku lagi pada Dina. Bukan aku sakit hati atau kecewa pada sikap Dina namun aku memandang peristiwa ini adalah pembelajaran bagi kedewasaan hati dan naluriku.

Aku pun tak membalas lagi surat Dina sejak itu.

Hatiku terombang-ambing riak gelombang biru

Terhempas bersama buih dan sampah di pesisir pantai abu-abu

Aku tak mengenal lagi cinta nan indah dipaksa tak bicara karena kelu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun