Arabella keluar dari Bandara, melambaikan tangan pada Mang Diman, betapa kangennya ia pada supir keluarga yang sudah mengabdi 30 tahun pada keluarganya. Dahulu saat SD ia dan Mang Diman sering kongkalingkong diam-diam jajan es lilin karena takut ketahuan Mamah.
Melewati Kota Jakarta yang panas, kali ini agak berbeda, jalanan sedikit lengang dari hampir tak ada kemacetan. Virus COVID-19 memang kejam, sadis dan pembunuh berdarah dingin. Semua manusia di dunia ini dikecam ketakutan, begitu kota-kota di Indonesia.
Arabella agak bergidik, bukan karena dinginnya AC BMW yang dikemudikan Mang Diman tapi ia membayangkan jika Indonesia seperti Wuhan beberapa bulan yang lalu. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan, trotoar, selasar lorong rumah sakit dan orang sekitar banyak yang takut menolongnya.Â
Kremasi besar-besaran yang China lakukan untuk mengamankan mayat bervirus bahaya itu membuat asap putih berkabut naik ke langit menyelimuti kota. "Semoga Indonesia bisa cepat menangani ini semua !"
Dinginnya udara Lembang Bandung menyelusup masuk lewat jendela mobil yang dibuka sedikit, tapi tak sedingin di Belanda tadi yang alami musim dingin dari bulan Desember hingga Maret.
Bagi Arabella udara sejuk Lembang terasa sangat harum dan memeluknya rindu. Ia sangat menikmatinya sebelum Mang Diman dengan nada agak keras memperingatinya, "Tutup jendelanya neng ! zaman COPID bahaya pisan ahh !"
Maklum Mang Diman orang Sunda gak bisa bilang V dan F, bisanya bilang P.
Arabella tertawa, "Yang benar COVID-19 Mang bukan COPID !"
"Nyak, pokona etalah neng, hehehe......, takut mamang mah, kalau di Villa ada yang tertular kan bisa bahaya ke semuanya pan !"
Mang Diman, bermimik serius sekali wajahnya berceloteh. Kumis, janggut dan alisnya bak anggota opera di wajahnya yang mulai keriput menua.
Memasuki gerbang sebuah Villa tua di Jl.Setiabudi Bandung. Villa itu peninggalan kakek Arabella yang berkebangsaan Belanda, ia tak mau meninggalkan Indonesia setelah Agresi Belanda ke-2.