Mohon tunggu...
Dandy Dermawan Umar
Dandy Dermawan Umar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Rakyat Sipil

Yang sulit bukan lah memilih tetapi bertahan dengan pilihan itu.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mirisnya Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia

19 April 2021   15:06 Diperbarui: 10 November 2022   21:28 1364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai negara hukum keadilan dan penegakan hukum di Indonesia sangatlah dijunjung tinggi. Penegakan hukum yang adil sudah dipatenkan oleh pemerintah dalam tatanan pemerintahan yang sedemikian rupa adanya. Dimana Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar  1945 UUD 1945 semua masyarakat Indonesia berhak mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum. 

Status Indonesia sebagai negara hukum, mengharuskan warganya untuk menerapkan segala prinsip - prinsip yang dijalankan oleh negara hukum. Disini setiap individu wajib mendapatkan keadilan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal itu pun diperjelas lagi dalam dasar negara Indonesia, yakni Pancasila sila ke-5 “keadlian bagi seluruh rakyat Indonesia”. 

Keadilan ini sangat mutlak harus dirasakan oleh seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali. Keadilan juga dituntut untuk tidak memandang status atau posisi sosial masing – masing individu dalam masyarakat, baik para elite, rakyat kecil, orang kaya atau miskin. Tujuan diberlakukannya hukum yakni  memberikan rasa keadilan yang seadil – adilnya bagi setiap warga negara Indonesia.

Mirisnya saat ini keadilan bagi masyarakat Indonesia semakin lama kian dimarginalkan oleh negara. Keadilan tidak lagi menjadi aspek penting dan pedoman dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia juga sudah semakin memaklumi ketidakadilan yang dilakukan oleh negara terutama pada rakyat kecil. Namun dalam prakteknya hal ini sudah tidak terjadi lagi di Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia sama sekali tidak memberikan dan memperjuangkan keadilan bagi masyarakat kecil yang tertindas. Hukum justru dijadikan sebagai indikator kontrol para pejabat tinggi negara untuk berperilaku sewenang – wenang kepada rakyat. Keadilan penegakan hukum dirasa – rasa hanya dimiliki orang yang berkuasa dalam negara. 

Orang yang memiliki materi terbanyak yang sudah sangat jelas akan mendapatkan kemenangan dalam hukum Indonesia dan tidak akan diganggu gugat keadilan yang didapatkannya jika melanggar aturan negara. Kesalahan sedikit yang dilakukan oleh rakyat kecil pastinya langsung dihakimi dan dijatuhi hukum dengan sebelah mata oleh hukum tanpa memikirkan nurani. 

Bahkan hukum dengan bebas menjebloskan masyarakat tak bersalah ke dalam bui. Sedangkan para petinggi  negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik Negara dapat berkeliaran dengan bebasnya dan diberikan kelonggaran pada setiap celahnya dalam hukum. Bahkan jatuhan hukuman semakin hari kian dipangkas untuk para koruptor, bahkan keberadaan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seharusnya secara independen bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya justru kini dibatasi wewenangnya oleh negara.

Ketidakadilan hukum yang dirasa hanya berlaku bagi orang miskin dan tidak berlaku bagi orang kaya, sehingga tidak sedikit orang yang menilai bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang. Dimana hukum berjalan layaknya seperti drama dalam meja hijau yang menampilkan tangis, ketidakadilan, dan skenario-skenario dari orang yang tidak tersentuh hukum secara silih berganti. 

Rakyat harus terus menonton bagaimana koruptor dihukum rendah, pejabat hidup bermewah-mewahan, dan kemiskinan terus merajalela. Indonesia sejahtera akan terus menjadi 'sebatas' tema kampanye dari masa ke masa tanpa adanya kejelasan kapan itu terjadi. Hukum yang diberlakukan sama sekali tidak tepat sasaran atau dapat dikatakan tumpul ke atas dan hanya mencederai masyarakat golongan bawah saja.

Padahal jika kita menilik pemikiran Rawls, konsep keadilan seharusnya menjadi suatu keadaan dimana masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara sama-rata. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions) (Rawls, 1973 : 10). 

Pada saat ini lebih sering dijumpai penegak hukum yang  lebih mengutamakan kepastian hukum dari pada keadilan padahal sudah jelas-jelas salah masih saja di bela-bela sehingga untuk menanggkap seorang koruptor di perlukan akal jitu. Itupun setelah tertangkap bukannya takut malahan melambai-lambaikan tangan di layar kamera seolah-olah tidak terjadi sesuatu atau tidak ada penyesalan yang telah dilakukan sambil berpikir sedikit pun. Hal ini semakin diperparah dalam beberapa waktu belakang, hukum seolah tidak dijadikan lagi sebagai pedoman dasar negara Indonesia. Banyak pengakuan hingga stigma dari masyarakat bahwa hukum saat ini dapat dibeli dengan mudah dan para penegak hukum yang terhormat sama sekali tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil.

Sejalan dengan pemikiran aliran Sociological Jurisprudence, para penegak hukum dan pemerintah Indonesia  saat ini belum berpihak  terhadap rakyat bahkan tak jarang mereka tidak membantu rakyat kecil untuk mendapatkan keadilan ketika berhadapan dengan hukum (Rawls, 2005). Hukum hanya tajam jika ke bawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. Penerapan hukum yang tumpul terhadap kalangan atas dapat dilihat ketika hukum tidak dapat diterapkan kepada mereka dengan ekonomi tinggi. 

Proses hukum mereka berbelit-belit bahkan putusan hakim sering tidak sesuai dengan undang-undang. Banyak faktor yang dijadikan alasan untuk tidak sepenuhnya menerapkan hukum kepada mereka dengan ekonomi tertentu. Namun bagi kalangan dengan ekonomi rendah, hakim menerapkan undang-undang secara tegas tanpa memperhatikan hak mereka. Aspek keadilan yang merujuk pada kesamaan hak di depan hukum tidak dirasakan oleh kalangan ekonomi rendah.

Dengan demikian, untuk mewujudkan masayarakat yang adil Rawls berusaha untuk memosisikan kebebasan akan hak-hak dasar sebagai nilai yang tertinggi dan kemudian harus diikuti dengan adanya jaminan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu (Rawls, 2005). Pada akhirnya, Rawls juga menisbatkan bahwa adanya pembedaan tertentu juga dapat diterima sepanjang meningkatkan atau membawa manfaat terbesar bagi orang-orang yang paling tidak beruntung. 

Menurut pemikiran kelompok libertarian seperti Nozick, teori keadilan Rawls juga dianggap kurang maksimal dalam memberikan perhatian dan perlindungan pada kebebasan individu (Nozick, 2004). Khususnya untuk yang bersifat sepele, tidak sedikit para pelakunya adalah ‘wong cilik’ yang buta akan hukum dan akhirnya menjadi bulan-bulanan di pengadilan karena ketidaktahuannya dan juga faktor lain, walaupun aksi kejahatannya dapat dikatakan sangat ringan. 

Namun tidak sedikit pula para penjahat kelas kakap dapat melenggang tanpa beban atau juga sudah dipenjara namun masih dapat bebas melakukan aktivitasnya. Apabila suatu ketidakadilan dipertontonkan oleh penegak hukum sebagai agenda tertentu dari oknum yang berkuasa untuk menghancurkan oposisi (yang konsisten mengkritisi pemerintah), dan ketidakadilan itu terus dibiarkan, maka akan timbul kepecayaan diri dari oknum-oknum penguasa tersebut untuk meneruskan penggunaan aparat penegak hukum demi menghancurkan pihak–pihak yang berseberangan sebagai suatu “kebiasaan”.

Selama pembiaran atas ketidakadilan ini berlangsung, maka pemerintahan yang baik (good governance) tidak akan pernah dapat berdiri. Contohnya, seorang nenek yang mencuri Tiga Buah Kakao, dihukum satu bulan. Terbaru kasus pelajar yang membunuh pelaku begal untuk menyelamatkan sang kekasih terancam hukuman seumur hidup. Kasus ini seolah menjadi cermin betapa penegakan hukum di Tanah Air masih tebang pilih. 

Ketika koruptor yang merampok uang rakyat masih bebas berkeliaran, mereka yang lemah secara ekonomi dan status sosial begitu mudahnya diseret ke meja hijau bahkan dibui. Suatu ketidakadilan diperbolehkan apabila diperlukan untuk menghindari ketidakadilan yang lebih besar (Munir, 2007:94).

REFERENSI :

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi Kelima, UI Press, Jakarta, 1993, hlm. 51.

Munir Fuadi. Dinamika Teori Hukum. 2007, Jakarta : PT Rineka Cipta : hal 94.

Nozick, Robert. 2004. “The Entitlement Theory of Justice.” dalam Contemporary Political Theory: A Reader, ed. Colin Farelly. London: Sage Publication.

https://uns.ac.id/id/uns-update/keadilan-hukum-harus-ditegakkan.html

Rawls, John, 1973, A. Theory of Justice, London: Oxford University

Rawls, John, A Theory of Justice, edisi revisi, Belknap Press, Cambridge, 2005.

Rawls, John, Justice As Fairness: A Restatement, edisi ke-3, Harvard University Press, London, 2003.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun