Ia lantas berdiri, melangkah, dan berlari mengejar laki-laki yang bertelanjang dada, memakai celana pendek, dengan parang di pinggangnya, yang tadi telah menyelamatkan nyawanya.
Baran ingin mengucapkan terimakasih kepada orang itu. Namun sia-sia, bayangan itu telah lenyap bersama angin.
Baran mulai melanjutkan perjalanannya. Ia menyimpan pesan lelaki itu dalam benaknya.
***
Di langit, piringan matahari mulai beranjak menghilang, meninggalkan peraduan. Semburat cahayanya warna tembaga, menyelinap di sela-sela lebatnya daun pepohonan raksasa.
Hari telah senja ketika Baran menemukan warung itu. Telapak tangannya masih tampak kecoklatan, karena sisa-sisa darah yang sudah mengering.
“Suka kopi tubruk mas ?” Sapa seseorang ketika Baran baru saja sampai di bibir pintu masuk warung.
Warung itu luasnya tidak seberapa, di dalam temaram. Sumber cahaya hanya dari satu-satunya pintu yang terbuka, dan sedikit cahaya yang menerobos dari celah-celah dinding gedek yang tidak begitu rapat. Lantai tanah, permukaannya tidak rata.
Tidak tampak seorang pun di dalam, kecuali meja kayu seadanya, dikelilingi bangku bambu memanjang yang sudah tua. Beberapa gelas kopi tinggal ampasnya, dan sebuah asbak penuh puntung rokok klobot.
Baran meneruskan langkahnya ke dalam. Sosok wanita muncul dari balik meja, tidak terlalu muda tidak juga tua. Tingginya seimbang dengan badannya yang sintal. Rambut hitam diikat semacam sanggul kecil di kepala.
Wajah bagai kencana dalam hamparan tanah hitam. Pandang matanya memanggil, lembut melambai, selembut sampur penari, menebar harum melati.
Berpakaian kebaya motif bunga-bunga, dada sedikit terbuka, kain batik pudar warnanya, melilit tubuh yang padat itu.