Tidak terasa ojek telah sampai di batas desa. Angin semilir menyelinap di sela-sela jemari dedaunan liar, belukar, menyambut kedatangan Baran.
“Ikuti saja jalan setapak ini Om. Kendaraan hanya boleh sampai di titik ini. Selanjutnya harus dengan jalan kaki.” Kata tukang ojek memberi petunjuk. Kemudian lindap dari pandangan setelah menerima bayaran.
Baran membetulkan sepatunya, lalu, ranselnya yang tipis digendong di belakang punggung. Ia menatap jalan setapak di hadapannya. Perlahan kakinya melangkah memulai perjalanan menuju dusun terpencil di pinggir hutan.
Ia berjalan menyusuri jalan setapak berkelok-kelok, kadang menanjak kadang menurun, lalu datar.
Di kiri-kanan jalan, rimbun tanaman liar membentuk semak belukar yang menjalar mengular menutupi seluruh badan jalan yang berkontur batu dan tanah liat.
Sesekali di balik kerimbunan terlihat kebun singkong, pisang, sedikit bagian terlihat pohon-pohon pepaya. Juga meluas rapat kebun kopi yang sudah memerah buahnya. Mereka berebut tinggi dengan pohon-pohon kayu Suren, Sengon atau Randu Alas yang sudah tinggi melangit.
Tidak ada lalu-lalang kendaraan, tidak juga hilir mudik orang. Hanya sesekali saja berpapasan dengan orang dusun, memanggul rumput untuk ternaknya, atau memanggul kayu-kayu rapuh dari hutan untuk suluh.
Tiba-tiba awan merendah, menggamit permukaan tanah. Menabur hawa dingin, kabut datang. Tampak seorang laki-laki bertelanjang dada, memakai celana pendek, dengan parang di pinggang.
Sorot matanya tajam bertatapan mata dengan Baran. Ayunan langkahnya mengikuti langkah Baran. Jalannya sangat cepat hingga mengeluarkan suara menderu, seperti lalat mengerubungi amis ikan.
Terbersit rasa takut di hati Baran, ia menjauh. Setengah berlari ia coba menghindar. Semakin lama semakin kencang. Baran benar-benar berlari kencang sekarang.
Karena kelelahan, Baran terjatuh di semak belukar. Orang itu terus berjalan cepat menghampirinya. Baran cuma bisa pasrah, menggantungkan harapan pada takdir. Baran terduduk dengan nafas tersengal.