Kalah perang, itulah yang saya rasakan meski saat ini berstatus sebagai mahasiswa baru teknik kampus negeri di Sumatra. Kampus hijau yang hanya 5 menit berkendara dari rumah dinas bapak.
"Kamu harus pulang, kamu nggak bisa urus diri. Kuliah, kita lihat saja nanti. Swasta pun tak apa", kalimat terakhir ibu di ujung telepon. Sebelum akhirnya bapak menjemput saya dari kota hujan.
Saat seluruh mahasiswa di Indonesia sedang melakukan demontrasi besar besaran menginginkan reformasi negeri ini. Saya tergolek di ranjang rumah sakit sembari menggulung mimpi besar tentang kehidupan dan cita-cita. Dokter menyarankan cuti kuliah agar bisa fokus ke pengobatan.
***
"Apa kabar Dan", lelaki berkulit gelap berambut ikal tersenyum lalu mengulurkan tangan.
"Nggak lupa kan?", cengengesan khas yang membuat ikut tertawa.
"Hah nggak lah. mana mungkin lupa Toni catur kan?"
Kami tertawa berderai bersama seperti saat duduk di bangku sekolah dasar. Saat SD saya dan Toni sempat punya gank belajar bersama yang terdiri dari empat orang dan Toni yang istimewa. Bukan hanya pandai di pelajaran , Toni piawai memainkan biduk catur hingga ia menjuarai lomba catur tingkat nasional dan beritanya tertulis di surat kabar nasional. Tapi sejak lulus SMP saya tak pernah mendengar kabarnya lagi.
"Kamu SMA 9 kan?"
"Yoi!"
"Kamu kemana aja. Yoga sekarang di Jogja , Bayu Bogor", ujarku singkat mengabarkan gank kami saat SD.