Sudah empat puluh tahun lebih Haji Pen menjalani bisnis kopi yang diwariskan secara turun temurun. Dengan kapasitas produksi 500 kg biji kopi robusta sehari, Â kopi olahannya mensuplai pasar Jambi, Bengkulu, Sumatra Barat dan Pekanbaru.
"Dulu banyak yang seperti ini tapi banyak yang digantikan mesin dan tak jalan lagi."
Kenaikan harga BBM menyebabkan tingginya ongkos produksi. Berat bagi industri rumah tangga membeli bahan bakar industri yang harganya makin tinggi. Sudah harganya tak menentu begitu juga ketersediannya di pasaran .
Sejarah Kopi Nur
Bijksanalah Nurcaya dan keturunannya tetap mempertahankan kincir air hingga roda-roda usahanya tetap berputar sampai anak cucu.
Sejarah Kopi Nur berasal dari usaha keluarga yang didirikan tahun 1943 oleh Darijamsani, ibunda Nurcaya. Darijamsani berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat, merantau ke Kabupaten Kerinci bersama keluarganya.Â
Darijamsani menggunakan cara tradisional dalam memproduksi kopi bubuk, seperti penggunaan kincir air dan kemasan dari koran dan daun pisang. Kopi yang dihasilkan belum memiliki merek dagang dan penjualannya dilakukan secara konvensional di pasar-pasar setempat.
Perkembangan industri kopi Nur terjadi ketika Nurcaya, anak Darijamsani, mulai membantu ibunya dalam usaha kopi. Setelah Nurcaya menikah dengan Atin St. Rajo Medan pada tahun 1959, mereka mulai merintis usaha pengolahan kopi di Kota Sungai Penuh.Â
Pada awalnya, mereka memproduksi kopi bubuk tanpa merek dagang yang khusus. Pada tahun yang sama, mereka memperkenalkan merek "Nur" untuk membedakan produk mereka dengan jenis kopi bubuk lainnya.Â
Merek "Nur" diambil dari nama Nurcaya sebagai pemiliknya dan melambangkan harapan agar usaha kopi mereka berkualitas dan diridai oleh Tuhan.