Langkah kaki tertahan melewati bilik sederhana usai menikmati matahari terbit di Bukit Khayangan, Sungai Penuh, Kerinci Jambi. Di depannya kincir air berputar penuh semangat, setengah badannya di kanal berkubang dengan air.Â
Sudu-sudunya dihantam air silih berganti-ganti tiada henti. Mengingatkan proyek tugas akhir PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) masa kuliah.Â
Meski hanya konsep dan perencanaan semuanya tergambar di ingatan, bagaimana energi potensial menjadi energi kinetik lalu energi listrik. Listrik yang dihasilkan memang tidak sebesar PLTA tapi mampu memenuhi penerangan rumah tangga.
Poros kincir tak dihubungkan dengan generator tapi dimanfaatkan untuk memecah biji kopi. Teknologi sederhana ramah lingkungan yang memanfaatkan energi terbarukan. Seperti sinar matahari, air merupakan energi yang tidak akan pernah habis. Selama ekosistem sumber air terjaga, air akan terus mengalir menuruni bukit.Â
Gugusan Bukit Barisan di Sumatra kaya akan air terjun kecil yang dapat dimanfaatkan sebagai PLTMH, namun tingginya ketergantungan terhadap energi fosil membuat orang enggan memanfaatkan sumber daya alam ini secara maksimal.
Saya menyapa Haji Irwan Efendi pemilik kincir air. Pria berpenampilan sederhana mengawasi pekerja di bilik sebelah. Sesekali mengangkat karung berisi biji kopi untuk disangrai. Pria paruh baya memperkenalkan diri sebagai generasi ketiga kopi Nur, kopi bubuk terkenal asal Sungai Penuh.
"Nur, Nurcaya itu nama mamah saya. Penggilingan kopi ini warisan nenek moyang mamah, Darijamsani" ujar pria yang beken dengan nama Haji Pen kopi Nur.