"Eit jangan melawan perempuan, apalagi ibu-ibu. Kamu lahir dari siapa. Kamu paham nggak surga ada dimana", teriak Bu Kades emosi sambil memegang perut.
Tiba - Tiba Pak Kades muncul."Oke sayang, baik sayang. Kita tutup", menenangkan istrinya yang sudah tantrum skala 8/10.
Bersama perangkat desa akhirnya Jamban Cantik disegel dan ditutup. Antrean warga dibubarkan bersamaan dengan pidato Pak Kades mengenai pentingnya hidup kembali ke alam.
"Tidak semua yang moderen itu sesuai dengan hidup dan budaya kita, orang desa. Jadi marilah kembali ke alam, kembali bekerja agar kita makmur. Â Gemah ripah loh jinawi. Toto tenteram Kerta Raharjo", urai Pak Kades diikuti tepuk tangan warga.
Kami mahasiswa  KKN hanya bisa bengong menyaksikan jamban umum biasa ikutan sepi dan warga kembali buang hajat di sungai.
"Apa kabar Bro nilai  KKN kita?", rekan saya Rino menjerit, tangisnya tertahan.
"Tenang... Nanti kita rayu Bu Kades tapi minimal C lah."
"Kok Bu Kades, bukannya Pak Kades pembimbing lapangan."
"Pengambil keputusan memang lelaki tapi lelaki nggak mau salah mengambil keptutsan. Jadi diserahkan ke perempuan. See?" Saya melirik Pak Kades yang makin kehilangan arah di depan warganya.
Meski saya terlihat kuat di luar tapi rasanya ingin menggaruk aspal membayangkan transkrip nilai mirip rantai carbon karena dipenuhi nilai C.
***