Begitu melihat garis-garis di papan tulis hasil perhitungan suara saya kecewa. Ya kecewa sebagai warna negara karena suara saya tidak diperhitungkan sama sekali. Bayangkan jika kamu memilih nomor satu atau nomor tiga tapi nyatanya suara nomor 2 seratus persen. Siapa yang salah? Saya yang berbeda atau mereka yang tidak ingin ada perbedaan.
Saya tidak pernah membahas ini kepada siapapun hingga pemilu berikutnya yang ternyata tidak lima tahun kemudian tapi dua tahun kemudian. Waktu itu saya, Bapak dan Ibu membahas iklim politik Indonesia yang tidak selinier dulu. Begitu banyak pilihan partai sampai kartu suara lebih mirip iklan bari surat kabar dibandingkan kartu suara.
"Pak... Pilih apa?" Ibu membuka percakapan.
"Rahasia dong. Kan LUBER?" Jawab Bapak singkat.
"Kok Rahasia. Udah ngomong aja" , kata Ibu sambil tersenyum.
"Lihat saja hasilnya aku pilih yang menang." Jawab Bapak Pede.
"Halah... Dulu pas Bapak jadi panitia aku pilih nomor tiga eh nomor dua yang seratus persen."
"Hah ibu nomor tiga? Aku nomor satu lho tapi kenapa 100% persen?" Menatap Bapak.
"Ah itu beda jaman daripada nggak aman semua harus beringin." Bapak tersenyum.
"Tuh kan curang." Â Protes saya.
"Iya Bapak curang." Ibu ikutan protes.