Mohon tunggu...
Danang Satria Nugraha
Danang Satria Nugraha Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Universitas Sanata Dharma

Selain mengajarkan ilmu bahasa dan meneliti fenomenanya di ruang publik, penulis gemar mengamati pendidikan dan dinamikanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selain Literal, "Nebeng" Punya Makna Metaforis Lho!

26 September 2024   04:03 Diperbarui: 26 September 2024   06:46 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, Mengaburkan Akuntabilitas. "Nebeng" juga dapat menimbulkan masalah akuntabilitas, terutama ketika terjadi kesalahan atau kegagalan. Dalam situasi seperti ini, masing-masing pihak mungkin mencoba melempar tanggung jawab kepada pihak lain, sehingga sulit untuk menentukan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.

Secara keseluruhan, makna positif atau negatif dari kata "nebeng" dalam politik sangat bergantung pada konteks dan niat di balik tindakan tersebut. Penting bagi kita untuk mampu membedakan antara "nebeng" yang membangun dan "nebeng" yang merusak, sehingga kita dapat membuat penilaian yang lebih objektif terhadap dinamika politik yang terjadi.

Kepekaan terhadap Bahasa Kias
Kita perlu peka terhadap penggunaan bahasa kias. Leonard Talmy, bahasawan unggul lainnya, mengembangkan teori "tata bahasa kognitif" (cognitive grammar), yang menekankan bagaimana struktur bahasa mencerminkan cara kita memahami dunia. Dalam konteks "nebeng" dalam politik, kita dapat melihat bagaimana kata ini digunakan dalam berbagai konstruksi gramatikal untuk menyampaikan makna yang berbeda. Misalnya, kalimat aktif seperti "Partai A nebeng pada Partai B" cenderung menyiratkan bahwa Partai A mengambil inisiatif dan mungkin memiliki motif tersembunyi. Sebaliknya, kalimat pasif seperti "Partai A diberikan kesempatan untuk nebeng oleh Partai B" cenderung menyiratkan bahwa Partai B memiliki kontrol lebih besar dalam hubungan tersebut.

Melatih kepekaan terhadap penggunaan bahasa kias itu tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan oleh kita. Setidak-tidaknya, berikut beberapa tips yang penulis dapat sampaikan dalam esai ini.

Pertama, Pendidikan Literasi Media dan Kritis. Pendidikan formal dan informal mengenai literasi media dan berpikir kritis sangat penting. Ini melibatkan kemampuan untuk menganalisis pesan-pesan politik, mengidentifikasi bias, dan memahami bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk opini publik. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana bahasa digunakan dalam politik, kita dapat lebih peka terhadap nuansa makna dan konotasi kata-kata seperti "nebeng".

Kedua, Diskusi dan Debat Publik. Mendorong diskusi dan debat publik yang terbuka dan kritis tentang isu-isu politik dapat membantu masyarakat untuk mempertanyakan dan menganalisis penggunaan bahasa oleh para politisi dan media. Dalam forum-forum seperti ini, kita dapat belajar untuk mengenali bahasa kiasan, mempertanyakan motif di balik penggunaannya, dan mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu-isu politik yang kompleks.

Ketiga, Konsumsi Media yang Beragam. Mengonsumsi berita dan informasi dari berbagai sumber yang memiliki perspektif yang berbeda dapat membantu kita untuk melihat isu-isu politik dari berbagai sudut pandang. Ini juga dapat membantu kita untuk mengenali bagaimana bahasa kiasan digunakan oleh berbagai pihak untuk memajukan agenda mereka masing-masing.

Terakhir, Partisipasi Aktif dalam Proses Politik. Dengan terlibat langsung dalam proses politik, seperti mengikuti kampanye, menghadiri pertemuan publik, atau bergabung dengan organisasi masyarakat sipil, kita dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana bahasa digunakan dalam politik dan mengembangkan kemampuan untuk menganalisisnya secara kritis.

Penutup
Dalam dunia politik yang sarat dengan retorika dan permainan kata, kemampuan untuk memahami makna tersembunyi di balik bahasa kiasan menjadi semakin penting. Kata "nebeng", dengan segala nuansa dan kompleksitasnya, adalah contoh nyata bagaimana bahasa dapat digunakan untuk mencerminkan, membentuk, dan bahkan memanipulasi dinamika kekuasaan. Dengan mengembangkan kepekaan terhadap penggunaan bahasa kiasan seperti "nebeng", masyarakat dapat menjadi lebih kritis, informasional, dan terlibat dalam proses politik.

Kita perlu menyadari bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga senjata dalam pertarungan politik. Dengan memahami bagaimana bahasa digunakan, kita dapat melindungi diri dari manipulasi, membuat keputusan yang lebih baik, dan memperjuangkan perubahan sosial yang lebih adil dan inklusif.

Mari kita jadikan esai ini sebagai titik awal untuk menggali lebih dalam makna-makna tersembunyi di balik bahasa politik, dan bersama-sama membangun masyarakat yang lebih sadar dan berdaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun