"Bangsa yang suka bohong demi menutupi malu atau menyelamatkan gengsi bukan tanah-tumbuh yang baik untuk sains dan teknlogi karena dunia pembohongan langsung frontal melawan rasionalitas yang menjadi modal dan dasar utama bagi pengembangan sains dan teknologi."____Y.B. Mangunwijaya, dalam Pasca-Indonesia Pasca-Einstein
Bahasa politik, dengan segala kerumitan dan nuansanya, sering kali menjadi medan pertempuran kata-kata yang sarat makna tersembunyi. Di tengah hiruk-pikuk retorika politik yang kerap kali membingungkan, kata "nebeng" muncul sebagai salah satu contoh menarik bagaimana bahasa bisa digunakan untuk menyampaikan pesan yang melampaui makna literalnya.
Secara harfiah, "nebeng" berarti menumpang atau ikut serta dalam perjalanan orang lain. Namun, dalam konteks politik, kata ini memperoleh dimensi metaforis yang kaya dan beragam. "Nebeng" bisa menggambarkan tindakan oportunis seorang politisi yang mencoba meraih keuntungan dengan menempel pada popularitas atau keberhasilan orang lain. Dalam hal ini, "nebeng" berkonotasi negatif, menyiratkan kurangnya integritas dan kemandirian.
Di sisi lain, "nebeng" juga bisa bermakna positif, menggambarkan kolaborasi dan sinergi antar berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama. Misalnya, sebuah partai politik kecil mungkin "nebeng" pada partai yang lebih besar untuk mendapatkan akses ke sumber daya dan pengaruh yang lebih luas. Dalam hal ini, "nebeng" menjadi strategi pragmatis yang memungkinkan pihak yang lebih lemah untuk ikut berperan dalam panggung politik.
Namun, "nebeng" juga bisa menimbulkan ambiguitas dan perdebatan. Batasan antara kolaborasi yang sah dan oportunisme yang merugikan sering kali kabur. Seorang politisi yang awalnya "nebeng" pada gerakan sosial tertentu mungkin kemudian dituduh memanfaatkan gerakan tersebut untuk kepentingan pribadi. Dalam situasi seperti ini, interpretasi terhadap kata "nebeng" menjadi sangat subjektif dan bergantung pada perspektif masing-masing pihak.
Fenomena "nebeng" dalam politik menyoroti pentingnya kepekaan terhadap nuansa bahasa. Kata-kata yang tampaknya sederhana bisa mengandung makna yang kompleks dan multitafsir. Sebagai masyarakat yang kritis, kita perlu belajar membaca di antara baris-baris retorika politik, memahami konteks dan motif di balik setiap kata yang diucapkan. Hanya dengan demikian kita bisa membedakan antara "nebeng" yang membangun dan "nebeng" yang merusak, serta membuat keputusan politik yang tepat berdasarkan informasi yang jernih dan objektif.
Dalam esai sederhana ini, kita akan mengeksplorasi lebih jauh makna metaforis "nebeng" dalam berbagai konteks politik, menganalisis dampaknya terhadap dinamika kekuasaan, dan membahas bagaimana kita bisa menavigasi labirin bahasa politik dengan lebih bijaksana.
Cermin Dinamika Kekuasaan
Penggunaan kata "nebeng" dalam politik secara gamblang mencerminkan adanya ketimpangan kekuasaan antara pihak-pihak yang terlibat. Kata ini sering kali digunakan untuk menggambarkan situasi di mana satu pihak, yang biasanya lebih kecil atau kurang berpengaruh, mencoba memanfaatkan sumber daya, popularitas, atau legitimasi pihak lain yang lebih besar atau lebih mapan.
Dalam konteks ini, "nebeng" dapat diartikan sebagai strategi yang digunakan oleh pihak yang lebih lemah untuk mendapatkan akses ke arena politik, memperoleh dukungan publik, atau mencapai tujuan tertentu. Namun, strategi ini juga menyiratkan ketergantungan dan kerentanan pihak yang "nebeng" terhadap pihak yang "ditumpangi".
Pihak yang lebih kuat, di sisi lain, dapat menggunakan "nebeng" sebagai alat untuk memperluas pengaruhnya, mengonsolidasikan dukungan, atau bahkan mengendalikan pihak yang lebih lemah. Mereka dapat memberikan atau menahan akses ke sumber daya dan kesempatan, tergantung pada sejauh mana pihak yang "nebeng" memenuhi kepentingan mereka.
Norman Fairclough, pakar Analisis Wacana Kritis, pernah menekankan pentingnya menganalisis bahasa dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas. Seturut prinsip-prinsip dalam pandangan keilmuannya, penggunaan kata "nebeng" dalam politik dapat dilihat sebagai bagian dari "wacana dominan" yang melegitimasi ketimpangan kekuasaan. Pihak yang lebih kuat menggunakan bahasa untuk mempertahankan posisi mereka, sementara pihak yang lebih lemah terpaksa menggunakan strategi "nebeng" untuk mendapatkan akses dan pengakuan.
Pakar lainnya, seperti Teun A. van Dijk yang berfokus pada 'bagaimana bahasa digunakan untuk membangun dan mempertahankan ideologi,' pun memiliki penekanan yang boleh jadi mirip. Dalam hal ini, penggunaan kata "nebeng" dapat dilihat sebagai cara untuk merepresentasikan hubungan kekuasaan yang tidak setara sebagai sesuatu yang alami atau bahkan menguntungkan bagi pihak yang lebih lemah. Dengan demikian, bahasa digunakan untuk menutupi ketidakadilan dan mempertahankan status quo.
Sementara itu, bagi Ruth Wodak, menganalisis 'bagaimana bahasa digunakan untuk menciptakan dan memelihara identitas sosial dan politik' adalah kerja yang sangat penting. Penggunaan kata "nebeng" dapat dilihat sebagai cara untuk mengkategorikan aktor politik ke dalam kelompok "kuat" dan "lemah", yang pada gilirannya mempengaruhi bagaimana mereka diperlakukan dan bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Hal ini dapat memperkuat stereotip dan prasangka, serta membatasi ruang gerak bagi pihak yang dianggap "lemah".
Dengan demikian, penggunaan kata "nebeng" dalam politik mengungkapkan adanya hubungan patron-klien yang kompleks, di mana pihak yang lebih kuat bertindak sebagai patron yang memberikan perlindungan dan manfaat, sementara pihak yang lebih lemah bertindak sebagai klien yang memberikan loyalitas dan dukungan. Dinamika ini dapat menciptakan situasi saling ketergantungan, tetapi juga dapat menimbulkan konflik dan eksploitasi jika salah satu pihak merasa dirugikan atau tidak puas dengan kesepakatan yang ada.
Oleh karena itu, penggunaan kata "nebeng" dalam politik tidak hanya mencerminkan realitas ketimpangan kekuasaan, tetapi juga menyoroti kompleksitas hubungan antara berbagai aktor politik dan bagaimana mereka bernegosiasi untuk mencapai tujuan masing-masing.
Dualisme Konteks
Apabila mengacu pada George Lakoff, linguis yang sangat dikenal luas melalui teori metafora konseptualnya, akan diperoleh penekanan bahwa makna "nebeng" dalam politik tidak hanya bersifat literal, tetapi juga metaforis. Metafora "nebeng" mengaktifkan skema konseptual perjalanan, di mana satu pihak "menumpang" pada pihak lain. Konotasi positif atau negatif dari metafora ini tergantung pada bagaimana kita memahami peran masing-masing pihak dalam perjalanan tersebut. Jika "nebeng" dilihat sebagai kerjasama yang saling menguntungkan, maka konotasinya positif. Namun, jika "nebeng" dilihat sebagai tindakan memanfaatkan atau mengeksploitasi, maka konotasinya negatif.
Berkaitan dengan konteks positif "Nebeng", setidaknya terdapat tiga kata kunci. Pertama, Kolaborasi dan Sinergi. "Nebeng" dapat dilihat positif ketika menggambarkan kerjasama yang saling menguntungkan antara dua atau lebih entitas politik. Misalnya, partai politik kecil yang "nebeng" pada partai yang lebih besar untuk bersama-sama memperjuangkan isu tertentu atau mencapai tujuan bersama. Dalam hal ini, "nebeng" mencerminkan strategi yang efektif untuk menggabungkan sumber daya dan pengaruh, sehingga menghasilkan dampak yang lebih besar daripada jika masing-masing pihak bertindak sendiri-sendiri.
Kedua, Pemberdayaan. Dalam beberapa kasus, "nebeng" dapat menjadi sarana bagi kelompok atau individu yang terpinggirkan untuk mendapatkan akses ke arena politik dan menyuarakan aspirasi mereka. Misalnya, seorang aktivis yang "nebeng" pada partai politik untuk memperjuangkan isu-isu sosial tertentu. Dalam situasi ini, "nebeng" dapat dilihat sebagai langkah strategis untuk mendapatkan platform dan dukungan yang diperlukan untuk mencapai perubahan sosial.
Ketiiga, Mentoring dan Pembelajaran. "Nebeng" juga dapat bermakna positif ketika menggambarkan proses belajar dan pengembangan kapasitas. Misalnya, seorang politisi muda yang "nebeng" pada politisi senior untuk mendapatkan bimbingan dan pengalaman. Dalam hal ini, "nebeng" menjadi sarana untuk transfer pengetahuan dan keterampilan, yang pada akhirnya akan memperkuat kualitas kepemimpinan politik.
Sementara itu, berkaitan dengan konteks negatif "Nebeng", setidaknya juga terdapat tiga kata kunci. Pertama, Oportunisme dan Eksploitasi. "Nebeng" dapat berkonotasi negatif ketika menggambarkan tindakan memanfaatkan pihak lain untuk keuntungan pribadi atau kelompok tanpa memberikan kontribusi yang seimbang. Misalnya, seorang politisi yang "nebeng" pada popularitas tokoh lain tanpa memiliki visi atau program yang jelas. Dalam situasi ini, "nebeng" dianggap sebagai tindakan oportunis yang merugikan kepentingan publik.
Kedua, Penyalahgunaan Kekuasaan. Dalam beberapa kasus, "nebeng" dapat menjadi alat bagi pihak yang berkuasa untuk mengendalikan atau memanipulasi pihak yang lebih lemah. Misalnya, seorang pejabat yang memberikan proyek kepada kroninya dengan imbalan dukungan politik. Dalam hal ini, "nebeng" menjadi bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang merusak prinsip-prinsip tata kelola yang baik.
Ketiga, Mengaburkan Akuntabilitas. "Nebeng" juga dapat menimbulkan masalah akuntabilitas, terutama ketika terjadi kesalahan atau kegagalan. Dalam situasi seperti ini, masing-masing pihak mungkin mencoba melempar tanggung jawab kepada pihak lain, sehingga sulit untuk menentukan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.
Secara keseluruhan, makna positif atau negatif dari kata "nebeng" dalam politik sangat bergantung pada konteks dan niat di balik tindakan tersebut. Penting bagi kita untuk mampu membedakan antara "nebeng" yang membangun dan "nebeng" yang merusak, sehingga kita dapat membuat penilaian yang lebih objektif terhadap dinamika politik yang terjadi.
Kepekaan terhadap Bahasa Kias
Kita perlu peka terhadap penggunaan bahasa kias. Leonard Talmy, bahasawan unggul lainnya, mengembangkan teori "tata bahasa kognitif" (cognitive grammar), yang menekankan bagaimana struktur bahasa mencerminkan cara kita memahami dunia. Dalam konteks "nebeng" dalam politik, kita dapat melihat bagaimana kata ini digunakan dalam berbagai konstruksi gramatikal untuk menyampaikan makna yang berbeda. Misalnya, kalimat aktif seperti "Partai A nebeng pada Partai B" cenderung menyiratkan bahwa Partai A mengambil inisiatif dan mungkin memiliki motif tersembunyi. Sebaliknya, kalimat pasif seperti "Partai A diberikan kesempatan untuk nebeng oleh Partai B" cenderung menyiratkan bahwa Partai B memiliki kontrol lebih besar dalam hubungan tersebut.
Melatih kepekaan terhadap penggunaan bahasa kias itu tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan oleh kita. Setidak-tidaknya, berikut beberapa tips yang penulis dapat sampaikan dalam esai ini.
Pertama, Pendidikan Literasi Media dan Kritis. Pendidikan formal dan informal mengenai literasi media dan berpikir kritis sangat penting. Ini melibatkan kemampuan untuk menganalisis pesan-pesan politik, mengidentifikasi bias, dan memahami bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk opini publik. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana bahasa digunakan dalam politik, kita dapat lebih peka terhadap nuansa makna dan konotasi kata-kata seperti "nebeng".
Kedua, Diskusi dan Debat Publik. Mendorong diskusi dan debat publik yang terbuka dan kritis tentang isu-isu politik dapat membantu masyarakat untuk mempertanyakan dan menganalisis penggunaan bahasa oleh para politisi dan media. Dalam forum-forum seperti ini, kita dapat belajar untuk mengenali bahasa kiasan, mempertanyakan motif di balik penggunaannya, dan mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu-isu politik yang kompleks.
Ketiga, Konsumsi Media yang Beragam. Mengonsumsi berita dan informasi dari berbagai sumber yang memiliki perspektif yang berbeda dapat membantu kita untuk melihat isu-isu politik dari berbagai sudut pandang. Ini juga dapat membantu kita untuk mengenali bagaimana bahasa kiasan digunakan oleh berbagai pihak untuk memajukan agenda mereka masing-masing.
Terakhir, Partisipasi Aktif dalam Proses Politik. Dengan terlibat langsung dalam proses politik, seperti mengikuti kampanye, menghadiri pertemuan publik, atau bergabung dengan organisasi masyarakat sipil, kita dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana bahasa digunakan dalam politik dan mengembangkan kemampuan untuk menganalisisnya secara kritis.
Penutup
Dalam dunia politik yang sarat dengan retorika dan permainan kata, kemampuan untuk memahami makna tersembunyi di balik bahasa kiasan menjadi semakin penting. Kata "nebeng", dengan segala nuansa dan kompleksitasnya, adalah contoh nyata bagaimana bahasa dapat digunakan untuk mencerminkan, membentuk, dan bahkan memanipulasi dinamika kekuasaan. Dengan mengembangkan kepekaan terhadap penggunaan bahasa kiasan seperti "nebeng", masyarakat dapat menjadi lebih kritis, informasional, dan terlibat dalam proses politik.
Kita perlu menyadari bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga senjata dalam pertarungan politik. Dengan memahami bagaimana bahasa digunakan, kita dapat melindungi diri dari manipulasi, membuat keputusan yang lebih baik, dan memperjuangkan perubahan sosial yang lebih adil dan inklusif.
Mari kita jadikan esai ini sebagai titik awal untuk menggali lebih dalam makna-makna tersembunyi di balik bahasa politik, dan bersama-sama membangun masyarakat yang lebih sadar dan berdaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H